Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG itu, sudah sejam lebih Aib membersihkan ruangan dalam rumahnya. Namun abu halus masih tampak menempel di sudut-sudut ruangan dan furnitur yang susah terjangkau tangan. Padahal, saban hari sepulang kerja, Aib rutin membersihkan rumahnya. "Kalau tidak, kami bisa batuk dan gatal-gatal ketika tidur," kata Aib di Desa Talise, Panau, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Rabu pekan lalu.
Aib bukan satu-satunya orang yang dibikin repot oleh abu. Di Desa Talise, tak kurang dari 60 keluarga bernasib sama dengan dia. Bertahun-tahun mereka kesulitan mengusir abu kiriman Pembangkit Listrik Tenaga Uap Panau, yang dikelola PT Pusaka Jaya Palu Power. Abu yang sepanjang hari menyelimuti desa itu merupakan sisa pembakaran batu bara di area PLTU.
Aib dan warga Desa Talise lainnya berharap abu akan segera hilang dari desanya. Harapan itu kali ini mereka gantungkan pada pengadilan. Sejak Agustus lalu, Pengadilan Negeri Palu menyidangkan perkara dugaan pencemaran lingkungan oleh PLTU Panau. "Sudah memasuki sidang keempat," ujar Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Muhammad Yunus, Selasa pekan lalu.
Kementerian Lingkungan Hidup sebenarnya sudah memperkarakan PT Pusaka Jaya pada akhir 2013. Kementerian menemukan indikasi kuat bahwa perusahaan tersebut mencemari lingkungan karena sembarangan membuang limbah. Namun, selama 2014, berkas perkara kasus ini sempat bolak-balik dari Kementerian ke Kejaksaan Agung.
Dalam perkara ini, tiga orang dari PT Pusaka Jaya menjadi terdakwa. Mereka adalah Direktur Utama Wahyuni, Kuasa Direksi Albert Wu, dan Penanggung Jawab Urusan Lingkungan Hidup Soeharti Sutono. Ketiganya dijerat dengan Pasal 104 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Hukuman maksimalnya tiga tahun penjara dan denda Rp 3 miliar," kata Muhammad.
PEMBUANGAN limbah sembarangan oleh PLTU Panau pertama kali terungkap pada 2012, ketika Kementerian Lingkungan Hidup menjalankan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper). Program tahunan itu menyematkan peringkat hitam kepada PT Pusaka Jaya.
Perusahaan yang berdiri pada 2007 itu mendapat banyak catatan buruk dalam pengendalian pencemaran dan pengelolaan limbah mereka. Pusaka Jaya, misalnya, tidak memiliki izin membuang limbah cair dan alat ukur debit limbah. Perusahaan ini juga ketahuan membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di tempat terbuka. Padahal, menurut Muhammad, limbah B3 seharusnya ditimbun dan dikelola di tempat khusus agar tak tersebar ke permukiman penduduk. "Ini dibiarkan saja. Ketika ada angin kencang, limbah B3 berbentuk abu itu beterbangan ke permukiman," ujar Muhammad.
Sebelum diperkarakan ke pengadilan, pada Desember 2013, PT Pusaka Jaya mendapat sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Perusahaan diminta memperbaiki catatan buruk pada rapor pengendalian lingkungan mereka. Mengacu pada laporan Proper, ada belasan perbaikan yang harus dilakukan PT Pusaka Jaya, dari pembuatan tempat penampungan limbah B3 hingga pelaporan tiga bulanan ke pemerintah Sulawesi Tengah.
Ternyata sanksi administrasi tak pernah dipenuhi PT Pusaka Jaya. Sewaktu memeriksa kompleks PLTU pada April 2014, Kementerian menemukan tumpukan limbah setinggi sekitar empat meter di lahan belakang kompleks PLTU. Sisa pembakaran batu bara ditumpuk begitu saja di lahan terbuka seluas 5.000 meter persegi yang berdekatan dengan bibir sungai. "Wujudnya seperti bedak berwarna abu-abu," kata Muhammad. Untuk menyamarkan, gunungan limbah itu di atasnya ditutupi lapisan pasir.
Berdasarkan pengujian sampel di laboratorium Kementerian, tumpukan limbah itu tergolong berbahaya karena mengandung arsenik dan merkuri. Bila terpapar ke tubuh manusia, kedua zat tersebut bisa memicu beragam penyakit berat bahkan kematian. Menurut perhitungan terakhir Kementerian pada 2014, total berat tumpukan limbah itu mencapai 72 ribu ton.
Posisi tumpukan limbah beracun juga tak jauh dari permukiman warga. Dari rumah terdekat, jaraknya hanya sekitar 100 meter. Itulah kenapa debu mudah terbang ke arah permukiman ketika angin kencang berembus. "Ketika angin makin kencang, makin banyak debu di rumah kami," ucap Aib, yang tinggal dekat kompleks PLTU.
Menilai pengelola PLTU tak menunjukkan iktikad baik, Kementerian membawa mereka ke ranah pidana. Setelah berkas perkaranya lengkap pada 19 Mei 2015, kasus ini mulai disidangkan pada 10 Agustus lalu.
Menurut surat dakwaan jaksa, penumpukan limbah berbahaya di belakang PLTU yang dekat permukiman merupakan keputusan Wahyuni sebagai Direktur Utama Pusaka Jaya. Terdakwa pula yang mengatur bagaimana limbah berbahaya itu dibuang. Semua itu dilakukan Wahyuni sejak 2007.
Dakwaan jaksa menyebutkan Wahyuni tak hanya menentukan satu tempat pembuangan limbah berbahaya. Selain di lahan belakang PLTU, tempat pembuangan limbah tanpa izin berada di dekat gudang batu bara PLTU Panau, di penampungan tangki bahan bakar solar, dan di sekitar area produksi. Khusus di lokasi pembuangan dekat tangki bahan bakar dan area produksi, limbah dimasukkan ke karung.
Dua terdakwa lain, Albert Wu dan Soeharti Sutono, menurut jaksa, tak ikut menentukan lokasi pembuangan. Namun mereka harus bertanggung jawab karena menjadi petugas lapangan yang mengawasi pelaksanaan perintah Wahyuni. Albert, misalnya, menyetujui penumpukan limbah di sekitar lokasi produksi ketika Plant Manager PLTU Nasrul Zain mengajukan permohonan pembuangan limbah.
Kuasa hukum terdakwa, Abdurrachman M. Kasim, memprotes keras langkah pemerintah menyeret kliennya ke pengadilan. Menurut dia, penuntutan perkara ini berpotensi mengganggu operasi PLTU Manau, yang memasok 25 megawatt listrik untuk warga Palu. "Kalau PLTU itu sampai enggak ada, gelaplah Palu nanti," ujar Abdurrachman.
Menurut Abdurrachman, Pusaka Jaya juga telah berupaya memperbaiki pengelolaan limbah, sesuai dengan teguran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Ada 16 teguran. Satu per satu kami coba perbaiki," katanya. Misalnya, perusahaan sedang mengurus izin pembuangan limbah di lahan baru dan membeli mesin untuk mengolah limbah batu bara jadi batako. Masalahnya, birokrasi yang berbelit-belit membuat upaya perbaikan itu berjalan di tempat. "Jadi berilah kami kesempatan," ujar Abdurrachman.
Istman M.P., Amar Burase (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo