Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selusinan lelaki berjaga-jaga di pos mungil di balik pagar besi setinggi sekitar tiga setengah meter. Mata mereka memandang tajam setiap orang dan kendaraan yang mendekati pintu masuk kompleks pengolahan kayu di Jalan Pandjaitan, Sorong Barat, Papua, itu. "Hanya orang dalam yang bisa masuk. Kami diperintah begitu," kata Jhon Tortet, salah seorang penjaga pos, di depan gerbang pabrik itu, Kamis pekan lalu, kepada Tempo. Menurut Jhon, perintah pengetatan pengamanan datang langsung dari sang pemilik pabrik: Brigadir Kepala Labora Sitorus.
Nama Labora, polisi pemilik rekening tambun dengan total transaksi Rp 1,5 triliun, pekan-pekan ini "meroket" kembali. Sejumlah pejabat di Jakarta dan Papua menyebutkan Labora "menghilang" ketika aparat hendak menjalankan putusan Mahkamah Agung yang menghukum dia 15 tahun penjara. Sejak 4 November 2014, Kejaksaan Negeri Sorong juga memasukkan nama Labora ke daftar pencarian orang (DPO).
Labora kini tak lagi terkurung di balik jeruji besi. Tapi, faktanya, dia juga tak bersembunyi di tempat sunyi atau kabur ke luar negeri. Sudah hampir sepuluh bulan Labora kembali tinggal di rumahnya yang jembar berlantai dua di kompleks pengolahan kayu di kawasan Tempat Garam itu. Usaha pengolahan kayu Labora yang sempat mati suri kini bergerak lagi. "Saya heran disebut DPO. Mereka semua tahu saya ada di sini," ucap Labora ketika ditemui Tempo, bersama beberapa wartawan lain, Kamis petang pekan lalu.
Meski sempat berbasa-basi menawarkan hidangan di atas meja, Labora tak sekali pun melempar senyum kepada para tamunya. Petang itu wajahnya tampak kusut. Kedua tangannya dibebat perban kecokelatan. "Saya tak bisa ke mana-mana lagi. Semua kebutuhan, dari makan sampai mandi, dilayani orang lain," ujar Labora, yang mengaku sudah lima bulan sakit karena stroke ringan. Di sekeliling sofa panjang yang diduduki Labora, para pengawalnya tampak memasang wajah garang.
Labora Sitorus, 53 tahun, lama dikenal sebagai polisi kaya dari Kepolisian Resor Raja Ampat, Papua Barat. Tumbuh dari hasil berjualan bahan kebutuhan pokok dan minuman keras, jejaring bisnis pria itu lalu merambah usaha pengolahan kayu dan penyaluran bahan bakar minyak.
Pada akhir Februari 2013, Labora tersandung masalah. Polisi Kehutanan Kota Sorong menyita 40 kontainer balok kayu milik PT Rotua, salah satu perusahaan Labora. Ketika mengirim kayu ke luar Sorong, Labora diduga hanya menggunakan surat izin muat Dinas Perdagangan Kota Sorong. Dia tak melengkapi kayunya dengan berbagai dokumen dari Kementerian Kehutanan.
Sebulan kemudian, tiga kapal pengangkut bahan bakar milik Labora pun ditangkap polisi. Labora, bersama dua direktur perusahaannya, Immanuel Mamaribo (PT Rotua) dan Jimmi Lagesang (PT Seno Adi Wijaya), dijadikan tersangka. Di samping dituduh menadah kayu hasil pembalakan liar, Labora disangka menjual bahan bakar tanpa izin.
Belakangan, polisi juga menjerat Labora dengan pasal pencucian uang. Dasarnya, antara lain, temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal ribuan transaksi mencurigakan di rekeningnya. Sepanjang 2007-2012, PPATK menghitung sekitar Rp 1,5 triliun uang yang keluar-masuk rekening Labora. Misalnya, Labora berkali-kali mengirim uang puluhan miliar rupiah ke rekening perusahaan sawit di Sumatera. Di bank, keterangan transaksi itu adalah pembelian minyak sawit mentah. Padahal Labora tak pernah berbisnis minyak goreng.
Tak mau terseret seorang diri, pertengahan Mei 2013, Labora terbang ke Jakarta untuk mengadu ke Komisi Kepolisian Nasional. Dia melaporkan setoran uang miliaran rupiah yang ia berikan kepada atasannya di kepolisian. Begitu keluar dari gedung Komisi Kepolisian, pada 19 Mei 2013, Labora diringkus tim gabungan Kepolisian Daerah Papua dan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Dua hari kemudian, Labora dipindahkan ke Rumah Tahanan Polda Papua. Dari balik jeruji, ia terus melawan. Labora mengutus Wolter Sitanggang, saudaranya, ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyerahkan daftar polisi penerima uang. Dokumen itu mencatat uang "entertainment" yang dikucurkan Labora sejak 1 Januari 2012 hingga 23 April 2013.
Dalam daftar itu, ada 265 transaksi uang untuk polisi: dari level kepolisian resor hingga Markas Besar Polri. Total sekitar Rp 10 miliar. Labora, misalnya, mencatat 18 kali setoran ke orang di Mabes Polri dengan nilai rata-rata Rp 60 juta per transaksi. Untuk Polda Papua, Labora mencatat 28 transaksi dengan nilai Rp 10-629 juta. Dia pun melampirkan sebagian bukti transaksi itu.
Pada 16 September 2013, Polda Papua berencana memindahkan Labora ke Sorong. Namun, setelah berjam-jam ditunggu penyidik, Labora menolak keluar dari ruang tahanan. Agar tak dipindahkan paksa, Labora menambah kunci gembok selnya. Baru keesokan harinya penyidik bisa membuka sel Labora. Pagi itu, Labora diterbangkan ke Sorong.
Di Sorong, Labora tak langsung ditahan di sel. Dia "diinapkan" di sebuah poliklinik—dengan alasan berobat. Labora akhirnya menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Sorong. Tapi dia bebas bolak-balik LP-klinik dengan alasan berobat.
Persidangan kasus Labora di Pengadilan Negeri Sorong berlangsung sejak awal Oktober 2013. Setiap kali sidang, keluarga dan pendukung Labora selalu memenuhi ruangan. Bila jaksa atau saksi menyudutkan Labora, mereka tak segan meneriakinya.
Pada sidang pembacaan pleidoi, 11 Februari 2014, pendukung Labora mengamuk. Mereka membanting apa saja yang ada di ruang sidang. Kursi pengunjung dan meja hakim jadi sasaran. Kaca ruang sidang pun pecah berantakan. Tak puas merusak ruang sidang, massa lalu "menculik" Labora. Kalah jumlah, polisi hanya bengong ketika Labora dibawa kabur massa. Sore harinya, Labora diantar pendukungnya ke poliklinik tempat ia berobat.
Pada 17 Februari 2014, majelis hakim Pengadilan Negeri Sorong memvonis Labora dua tahun penjara. Majelis hakim yang dipimpin Martinus Bala membebaskan Labora dari tuduhan pencucian uang. Kecewa terhadap putusan ringan itu, jaksa mengajukan permohonan banding.
Pengadilan Tinggi Papua menambah hukuman atas Labora menjadi delapan tahun penjara pada 2 Mei 2014. Kali ini giliran Labora yang tak terima. Dia pun mengajukan permohonan kasasi. Karena jaksa pun turut mengajukan permohonan kasasi, masa penahanan Labora yang semestinya berakhir pada 17 Mei diperpanjang hingga 24 Agustus 2014.
Pada 17 September 2014, majelis kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar menolak permohonan kasasi Labora. Majelis kasasi malah memperberat hukuman Labora menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Menurut hakim kasasi, Labora terbukti melakukan pencucian uang, di samping terlibat pembalakan hutan dan perdagangan BBM ilegal.
Setelah menerima petikan putusan kasasi pada 21 Oktober 2014, tim Kejaksaan Negeri Sorong mendatangi LP Sorong. Mereka berniat mengeksekusi Labora. "Ternyata, sesampai kami di LP, Labora sudah tidak ada," kata Kepala Kejaksaan Negeri Sorong Damrah Muin, Rabu pekan lalu. Jaksa pun melayangkan tiga surat panggilan ke alamat Labora. Karena ketiga panggilan eksekusi itu tak digubris, pada 4 November 2014, Kejaksaan Negeri Sorong menyatakan Labora buron.
Ketika didatangi jaksa dan polisi di rumahnya, Labora menunjukkan selembar surat "pembebasan" yang dia peroleh dari Lembaga Pemasyarakatan Sorong pada 24 Agustus 2014. Surat itu berupa "berita acara pengeluaran tahanan karena bebas demi hukum", yang diteken Pelaksana Harian Kepala LP Sorong Isak Wanggai. Surat itulah yang menjadi "senjata sakti" Labora menolak dieksekusi.
Untuk menelisik asal-usul surat itu, pekan lalu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menurunkan tim ke Sorong. Kesimpulannya, "Surat itu cacat secara prosedur dan tak punya kekuatan hukum," kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan Handoyo Sudrajat.
Menurut Handoyo, surat itu cacat prosedur karena, antara lain, tak ditembuskan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat. Surat itu juga hanya diteken seorang pelaksana harian kepala LP. Sedangkan pejabat yang berwenang, yakni Kepala LP Sorong saat itu, Salamuddin Bogra, tak meneken surat tersebut.
Salamuddin, yang kini menjabat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Bulukumba, Sulawesi Selatan, membantah terlibat dalam penerbitan surat "pembebasan" Labora. Dia mengaku hanya mengeluarkan surat izin berobat untuk Labora pada Maret 2014. Atas rekomendasi dokter, Salamuddin mengeluarkan surat izin berobat yang berlaku mulai 17 Maret hingga 21 April 2014. Surat itu ditembuskan ke pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. Ternyata, setelah masa izin berobat itu berakhir, Labora tak kembali lagi ke LP.
Menjelang habisnya masa penahanan Labora pada 23 Agustus 2014, menurut Handoyo, Lembaga Pemasyarakatan Sorong memang menyiapkan draf surat pelepasan dia. Namun, sore hari sebelum masa penahanan berakhir, LP menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung bahwa masa penahanan Labora diperpanjang sampai 24 September 2014. LP Sorong pun tak jadi mengeluarkan surat pelepasan itu.
Kalaupun surat "bebas" itu jadi terbit, menurut Handoyo, dengan keluarnya pemberitahuan dari MA, surat "bebas" otomatis tak berlaku lagi. Handoyo pun memastikan surat yang dipegang Labora bukan draf surat resmi yang kemudian bocor. "Formatnya saja beda," ujarnya. Handoyo menduga Isak merancang dan meneken sendiri surat asli tapi palsu itu.
Meski surat bebas yang dikantongi tak sakti lagi, sampai akhir pekan lalu Labora belum menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Pendukungnya malah terkesan menantang aparat. Freddy Fakdawer, adik angkat dan orang kepercayaan Labora, mengatakan ratusan karyawan Labora tak akan membiarkan siapa pun "menyentuh" majikannya itu. Bila aparat memaksa mengeksekusi Labora, "Kami siap mati untuk dia," kata Freddy.
Jajang Jamaludin (Jakarta), Jerry Omona (Sorong)
Labora Sitorus: Kepala LP dan Kejaksaan Pernah ke Sini
Brigadir Kepala Labora Sitorus berkukuh menolak menjalani hukuman. Padahal Mahkamah Agung telah memvonis dia bersalah menampung kayu hasil pembalakan liar, menjual bahan bakar tanpa izin, dan melakukan pencucian uang hasil kejahatan. Polisi dengan harta melimpah ini pun terus mengklaim sebagai korban para petinggi yang ia sebut telah merampok hartanya. Kamis petang pekan lalu, Labora menerima Jerry Omona dari Tempo, beserta beberapa wartawan lain, di rumahnya di Tempat Garam, Sorong Barat, Papua.
Bagaimana Anda bisa memperoleh surat pembebasan dari lembaga pemasyarakatan?
Surat itu diberikan kepada saya karena masa penahanan saya dianggap selesai. Saya tidak merasa bersalah dalam hal ini. Jadi, kalau mau, yang menandatangani surat itu yang harus dipidana, bukan saya. Ada yang bilang surat itu tidak ada nomornya. Lihat sendiri, kan, ini ada nomornya? Jadi siapa yang bilang surat ini tidak sah. Mereka sendiri yang membuat ini jadi masalah.
Setelah surat itu dinyatakan tak berlaku, Anda akan menyerahkan diri?
Menyerahkan diri dalam hal apa? Saya salah apa? Tidak ada pembicaraan begitu dengan kejaksaan. Itu mereka ketemu saya hanya silaturahmi karena saya sakit. Nanti, katanya, akan dipertimbangkan, begitu. Jadi, buktikan dulu saya punya kesalahan apa, baru saya bisa dibawa. Kalau tidak ada kesalahan, jangan bawa saya.
Faktanya, kejaksaan masih memasukkan nama Anda ke daftar pencarian orang (DPO)....
Lihat sendiri bahwa saya ada di sini. Jadi, menurut saya, DPO yang dikeluarkan itu sama saja dengan pembohongan publik. Mereka sudah tahu saya ada di sini, kenapa harus ada DPO, kenapa tidak langsung tangkap saja? Dulu Kalapas (Kepala Lembaga Pemasyarakatan) yang lama itu hampir tiap hari selalu ada di sini. Dari kejaksaan pun pernah bertemu dengan saya di sini. Mengapa tidak langsung tangkap kalau saya dianggap bersalah? Ini kan aneh.
Kalau kejaksaan memaksa mengeksekusi, Anda akan melawan?
Kalau mau hukum rimba, saya mau bilang apa? Saya serahkan kepada masyarakat (pendukung) saya saja.
Anda pernah mencoba bernegosiasi dengan jaksa?
Ini aturan rimba. Sewaktu tuntutan, datanglah jaksa kepada saya. Dia mengatakan bahwa sebenarnya yang memberikan tuntutan kepada saya itu bukan jaksa. Jaksa bilang bahwa tuntutan itu datang dari atasan. "Maaf, Pak Sitorus," katanya, "kita ini anak buah saja. Ini perintah dari atasan, jadi Bapak harus menerima." Saya ini cuma korban, cuma tumbal. Ya, tumbal dari petinggi-petinggi itu. Tidak ada yang membantu saya saat ini. Mereka kan maunya hanya merampok.
Siapa itu?
Mereka melakukan kejahatan untuk menghilangkan kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Apa kejahatan sebelumnya? Ya itu, merampok harta PT Rotua sebanyak 119 kontainer dengan nilai Rp 24,7 miliar. Yang terjadi, mereka malah melelang dengan nilai Rp 6,5 miliar. Jadi Rp 18,2 miliar itu ke mana? Masuk sakunya mereka, kan, saku penegak hukum itu.
Status Anda di kepolisian bagaimana?
Saya masih polisi aktif. Pangkat saya bripka (brigadir kepala). Saya masih menerima gaji. Ini yang menjadi kesalahan selama ini. Saya bahkan tidak pernah menjalani sidang kode etik. Kalau dulu saya salah, seharusnya ada sidang kode etik atau kepolisian memecat saya. Tapi ini malah dibiarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo