Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membengkak di Luar Skenario

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seruan lantang itu bukan datang dari jalanan, tempat para aktivis antikorupsi biasa berdemonstrasi, melainkan dari gedung Mahkamah Konstitusi. Jumat dua pekan lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengusulkan pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah. "Kecenderungan membebaskan koruptor di daerah makin merusak," kata Mahfud keras.

Usul Mahfud tak pelak memicu polemik. Kendati demikian, banyak pihak sepakat bahwa Pengadilan Tipikor daerah kini memang sedang "sakit parah". "Gejalanya", bebasnya 40 terdakwa korupsi di empat Pengadilan Tipikor daerah. "Pengadilan Tipikor telah jadi surga untuk para koruptor," kata peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz.

Saat ini pengadilan Tipikor telah berdiri di 33 provinsi. Kecuali Pengadilan Tipikor Jakarta yang berdiri sejak 2004, umur Pengadilan Tipikor di tempat lain belum genap satu tahun.

Pembengkakan jumlah Pengadilan Tipikor terjadi di luar skenario awal. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengadilan Tipikor hanya ada di Jakarta. Tapi, pada Desember 2006, Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan judicial review atas pasal 53 undang-undang tersebut. Mahkamah memerintahkan pembuatan undang-undang baru untuk memperkuat status Pengadilan Tipikor. Eh, lewat Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009, DPR dan pemerintah malah membentuk pengadilan antikorupsi di tiap kabupaten dan kota. "Itu kreasi pemerintah dan DPR," kata Mahfud. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin menolak tudingan Mahfud. "Rancang­an undang-undang itu inisiatif pemerintah. Kami tinggal membahasnya."

Ketika RUU Pengadilan Tipikor dibahas, para pegiat antikorupsi mewanti-wanti agar pemerintah dan DPR tidak memaksakan kehendak. "Ada banyak hal yang tidak dihitung pemerintah dan DPR," ujar Donal. Bila tiap pengadilan memiliki lima hakim ad hoc, misalnya, pemerintah harus mengangkat sekitar 2.600 hakim ad hoc. Itu untuk memenuhi kebutuhan hakim di 530 Pengadilan Tipikor. "Mencari hakim berkualitas sebanyak itu tidak mudah."

Belakangan, Komisi Yudisial juga mencium ketidakberesan dalam rekrutmen hakim. Menurut Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, sengkarut terjadi baik pada penugasan hakim karier maupun perekrutan hakim ad hoc. Hakim karier yang ditugaskan memang mengantongi sertifikat pelatihan hakim pidana korupsi. Tapi, menurut Suparman, Mahkamah Agung tak mengirim hakim terbaik mereka.

Pelamar kursi hakim ad hoc pun lebih banyak dari kalangan pencari kerja. Orang yang mumpuni dalam hal pemberantasan korupsi hanya sedikit yang mendaftar. Komisi Yudisial malah menerima laporan bahwa sejumlah hakim ad hoc pernah bermasalah hukum. Karena keterbatasan dana dan waktu, Mahkamah Agung tidak menelusuri rekam jejak calon hakim ad hoc. Padahal, dari pengalaman Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim agung, banyak calon yang gugur justru karena cacat rekam jejaknya. "Kemampuan bisa diasah, tapi integritas susah," ujar Suparman.

Penentuan komposisi majelis hakim Tipikor oleh ketua pengadilan setempat jadi masalah tersendiri. "Itu rawan dimainkan," kata mantan hakim Asep Iwan Iriawan. Menurut pengajar di sejumlah perguruan tinggi itu, pengacara yang nakal bisa bermain dengan ketua pengadilan agar menunjuk hakim yang juga bisa diajak main mata.

Meski sepakat bahwa Pengadilan Tipikor bermasalah, aktivis antikorupsi tak setuju dengan gagasan pembubaran. Mereka khawatir perkara korupsi kembali ditangani pengadilan umum. "Wajah peradilan umum masih sangat buruk," kata Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon Kurnia Palma. Seperti para aktivis antikorupsi lainnya, Alvon lebih setuju jumlah Pengadilan Tipikor diciutkan saja. Misalnya, hanya lima di kota besar.

Jajang Jamaludin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus