Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Memeras, Dengan Kue Tart

Anwar & Syaiun memeras dengan model baru & tertangkap di Probolinggo. Caranya, mereka naik motor, berlagak kesenggol mobil colt, lalu memeras si pengemudi dengan modal kuitansi palsu kue tart untuk Kodim.(krim)

5 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI pemerasan gaya baru yang sungguh autentik. Bukan dengan pistol atau dengan penculikan. Modalnya boleh dikata sama sekali tak menakutkan: sebuah sepeda motor, selembar kuitansi pembelian kue ulang tahun, dan dua tiga lembar uang palsu bikinan sendiri. Pelakunya, Anwar dan Syaiun, dua pekan lalu tertangkap di Probolinggo, Jawa Timur. Mereka mengaku telah beroperasi di berbagai kota, antara lain Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan juga kota kecil macam Pasuruan dan Sidoarjo (Jawa Timur). Dari itu diduga puluhan korban sudah kena peras, dengan hasil puluhan juta rupiah. Saat tertangkap di Probolinggo itu saja kantung saku mereka berisi uang tunai Rp 1,6 juta lebih. "Sedang kami lacak, jangan-jangan ada anggota komplotan yang lain," ujar Kapolres Probolinggo, Letkol Soeseno, pekan lalu. Modus operandi Anwar, 46, dan Syaiun, 30 -- dua lelaki bertubuh besar dan kekar itu -- memang unik. Misalnya ketika mereka memeras Wong Wie Sen, pemilik toko yang tinggal di Maron Kidul, pinggir Kota Probolinggo, yang menyebabkan mereka tertangkap. Pada 19 Maret lalu, lepas magrib Wong mengendarai mobil coltnya untuk urusan bisnis. Sampai di tengah kota, sebuah sepeda motor tiba-tiba mencegatnya. Si pengendara sepeda motor, yang tak lain Anwar dan Syaiun berboncengan, petentang-petenteng sambil memaki bahwa mereka telah kena srempet mobil Wong. "Kami memang tak apa-apa. Tapi kue tart untuk ulang tahun keluarga Kodim berantakan. Lihat, nih kalau tak percaya," kata Anwar seperti diceritakan Wong. Lalu ia mendekati korban dan menyodorkan selembar kuitansi pembelian empat buah kue tart senilai Rp 60 ribu. "Saya langsung pucat dan gemetaran," tutur Wong. Sebab, tampang dan gaya kedua pemeras itu memang meyakinkan sebagai anggota ABRI. Maka, meski selama perjalanan ia merasa tak menyenggol apa-apa, daripada urusan menjadi panjang, ia buru-buru menyodorkan uang Rp 60 ribu, sebagai pengganti kue tart. Tapi, baru beberapa puluh meter Wie Sen melaju, sepeda motor menyusul. Dengan wajah yang lebih beringas, keduanya menyodorkan balik uang Rp 60 ribu yang tadi. Minta tambah? Oh, tidak. Ini dia: dua lembar puluhan ribu rupiah dari enam lembar itu, sudah diganti dengan uang palsu. Dan langsung mereka menuduh pemilik toko itu sebagai pembuat uang palsu. Bisa dibayangkan, betapa Wong terkejut setengah mati. Lalu, dengan sia-sia, ia mencoba mengelak. Uang palsu itu mungkin saja berasal dari pembeli yang berbelanja di tokonya. Yah, mana mau kedua orang itu percaya? Sebagai jalan tengah, korban menyerahkan semua uang yang ada di dompetnya, Rp 80 ribu. Tapi kedua pemeras minta Rp 100 ribu lagi. Karena memang sudah ketakutan, Wong terpaksa meminjam dari temannya di Probolinggo -- untuk pulang ke rumah, jauh jaraknya. Tapi celaka (meski kemudian ini menyelamatkan Wong), Anwar dan Syaiun memaksa ikut korban pulang ke rumah, untuk melakukan penggeledahan. Tentu saja di rumah itu tak selembar uang palsu pun ditemukan. Toh, Anwar minta diberi uang tutup mulut dalam jumlah jutaan rupiah. Di saat Wie Sen dan keluarganya kebingungan dan ketakutan itulah, tahu-tahu muncul petugas dari Polres Probolinggo. Anwar dan Syaiun, yang tak bisa menunjukkan identitas sebagai anggota ABRI, kontan dirangket. Ini berkat kenalan Wong yang dipinjami uang Rp 100 ribu tadi. Kebetulan, famili kenalan itu, Desember lalu, juga pernah kena kompas Rp 30 ribu dengan modus yang sama. Kenalan itu menghubungi polisi. "Hari itu, kami memang sial. Terlalu serakah," ujar Syaiun, asal Tasikmalaya yang mengaku tak tamat SD. Temannya, Anwar, mengaku bekas karyawan Bea Cukai di Medan, yang dipecat pada 1977 lalu. Selain uang lebih dari Rp 1,6 juta, kuitansi kue tart, dan sepeda motor, dari kedua tersangka juga disita seperangkat alat dan cat pewarna uang palsu. Untuk barang bukti bila mereka diajukan ke pengadilan. Agaknya jenis kejahatan sudah sedemikian bermacam-ragam. Dari mana mereka belajar?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus