Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

STIP dan Kekerasan yang Terus Berulang

Kekerasan di STIP Jakarta kembali menelan korban jiwa. Kementerian Perhubungan diminta melakukan evaluasi secara menyeluruh.

9 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peristiwa tewasnya seorang taruna kembali terjadi di STIP Jakarta.

  • Mata rantai kekerasan yang terus terpelihara dinilai sebagai penyebabnya.

  • Kementerian Perhubungan diminta melakukan evaluasi secara menyeluruh.

TARUNA Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Putu Satria Ananta Rustika, 19 tahun, meninggal akibat penganiayaan yang dilakukan oleh seniornya pada Jumat, 3 Mei lalu. Kekerasan di sekolah kedinasan yang terletak di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, tersebut sudah terjadi berulang-ulang sehingga diperlukan evaluasi secara menyeluruh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menetapkan Tegar Rafi Sanjaya, 21 tahun, sebagai tersangka. Tegar, yang merupakan senior Putu, disebut sebagai pelaku pemukulan yang mengakibatkan taruna asal Bali itu tewas.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun demikian, pihak keluarga tak puas. Tumbur Aritonang, pengacara keluarga Putu, menyatakan memiliki bukti keterlibatan taruna lainnya. Bukti tersebut, menurut dia, adalah tangkapan layar grup percakapan dengan nama Taruna 66. 

Percakapan itu, menurut Tumbur, menggambarkan upaya untuk merekayasa seakan-akan Putu tewas karena serangan jantung. Bukti itu pun telah dia serahkan ke kepolisian. “Saya sudah ambil tangkapan layar berisi percakapannya,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa, 7 Mei lalu.

Menurut Tumbur, penganiayaan itu berawal saat kegiatan olahraga di STIP pada Jumat pagi. Putu saat itu masuk ke kelas karena hendak memanggil rekan-rekannya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Setelah memanggil teman-temannya dan turun ke lantai 2, dia bertemu dengan Tegar bersama para senior lainnya. Tegar cs kemudian mengajak Putu cs ke toilet.

Di dalam toilet, menurut Tumbur, Tegar menanyakan siapa yang paling kuat di antara para taruna tingkat satu itu. “Saya,” kata Tumbur menirukan jawaban Putu saat itu. Tegar kemudian memukul Putu hingga tumbang. “Pukulan kelima dia panik sendiri dan menyuruh juniornya ikut kegiatan,” kata Tumbur. 

Berdasarkan video yang diterima Tempo, terdapat video rekaman closed-circuit television (CCTV) berdurasi 22 detik yang memperlihatkan Putu digotong oleh lima siswa STIP keluar dari kamar mandi. Dalam video itu, Putu yang tidak berdaya masih menggunakan seragam olahraga berwarna oranye dan celana panjang berwarna hitam.

Kapolres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan menyatakan Tegar melakukan penganiayaan karena salah persepsi setelah melihat korban yang mengenakan baju olahraga masuk ke dalam kelas. Tak hanya Putu, menurut dia, terdapat empat korban penganiayaan lainnya dalam peristiwa itu. 

Setelah Putu terkapar, kata Gidion, Tegar sempat memasukkan tangannya ke dalam mulut juniornya itu. Tegar bermaksud menarik lidah Putu. “Justru itulah yang kemudian menutup saluran pernapasan sehingga korban meninggal,” tutur Gidion, Sabtu pekan lalu. 

Gidion menyatakan hasil autopsi menunjukkan terdapat memar pada mulut, lengan atas, dan dada jenazah Putu. Selain itu, ada luka lecet di bibir serta memar pada paru-paru dan perbendungan organ dalam. Soal pelaku, Gidion menyatakan penyidik sejauh ini baru menetapkan satu tersangka. Tegar dijerat dengan Pasal 338 juncto Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Tetapi Gidion tetap membuka peluang adanya tersangka lainnya. "Kalau pertanyaannya apakah terbuka peluang untuk tersangka lain, kami dalam konteks pengumpulan barang bukti dan melakukan penyidikan dengan hati-hati," kata dia kemarin.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi irit bicara soal peristiwa di STIP ini. Dia hanya menyatakan berbelasungkawa atas tewasnya Putu Satria Ananta Rustika dan pihaknya telah melakukan upaya hukum. "Kami sudah melakukan satu upaya penegakan hukum. Nanti Bu Adita (juru bicara Kemenhub Adita Irawati) akan menjelaskan," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu.

Kekerasan di STIP ini bukanlah kejadian pertama. Berdasarkan penelusuran Tempo, setidaknya telah terjadi lima kejadian serupa sejak 2008. Pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus menilai kekerasan di STIP terjadi karena permasalahan yang kompleks. Pertama, dia menilai adanya budaya senioritas yang tak sehat. “Karena masalah budaya senioritas tidak pernah dievaluasi dan diperbaiki,” kata Doni saat dihubungi kemarin.

Para senior, menurut Doni, merasa berhak menghukum adik tingkatnya bila dianggap melakukan kesalahan. Persoalannya, senior bukanlah pengasuh yang berwenang melakukan pengawasan dan memberikan hukuman.

Doni pun menyoroti soal pendidikan semi-militer di sekolah kedinasan yang terus dipelihara. Para pengasuh, menurut dia, memandang pendidikan seperti itu perlu untuk mengajarkan disiplin kepada para siswa. Padahal, menurut dia, konsep seperti itu sudah lama dikritik dan dianggap tak lagi relevan. 

Agar kekerasan tak terus terjadi, Doni menyarankan pihak STIP mengevaluasi kurikulum ala militer karena gagal membentuk taruna yang baik dan peduli bagi sesama, terutama pada adik tingkat sendiri. Dia juga menyarankan STIP Jakarta tidak menerima taruna baru selama tiga tahun untuk memutus kultur senioritas yang kebablasan. Untuk jangka pendek, Doni menyarankan STIP menambah kamera pengawas atau CCTV dan tenaga pengawas.

Pendapat berbeda diajukan Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru Feriansyah. Dia menilai pendidikan semi-militer bukan menjadi masalah utama kekerasan di sekolah kedinasan yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan tersebut. Dia menyatakan pendidikan seperti itu sudah ada bahkan sejak awal kemerdekaan Indonesia. 

Feri menilai pendidikan ala militer memiliki nilai positif karena bisa membentuk kedisiplinan tinggi dan melatih ketahanan fisik bagi para taruna. Yang menjadi masalah, menurut dia, konteks mendidik dengan keras malah diartikan secara berbeda yang akhirnya menimbulkan kekerasan fisik. “Sebenarnya baik, tapi tidak mengedepankan kekerasan,” ucapnya saat dihubungi secara terpisah.

Menurut Feri, masalah utamanya adalah kekerasan yang terpelihara secara turun-temurun. Para pelaku kekerasan, menurut dia, juga merupakan korban kultur tersebut. 

Meskipun demikian, Feri tak sepakat pelarangan menerima taruna baru sebagai solusi untuk memutus mata rantai kekerasan itu. Dia mengakui bahwa memutus mata rantai kekerasan bukanlah perkara mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Dia menyatakan penerapan sistem pendidikan yang baik akan bisa menghilangkan tradisi kekerasan secara sendirinya. Hal itu, menurut dia, terbukti ampuh pada satuan pendidikan lain seperti di perguruan tinggi. 

Pemotongan tiga generasi dengan tidak menerima siswa selama tiga tahun atau sampai menutup sekolah, menurut dia, belum diperlukan dan perlu dipertimbangkan secara matang. Alasannya, kebijakan itu bisa berdampak ke berbagai aspek, seperti keberadaan tenaga pengajar yang menjadi tidak memiliki kepastian. 

Jika Kementerian Perhubungan nantinya memutuskan STIP Jakarta harus mendapat hukuman tak boleh menerima taruna selama tiga tahun ke depan, menurut dia, harus ada jaminan bagi tenaga pengajar menjalani peralihan ke institusi pendidikan lain yang pasti. “Jangan emosional kita melihatnya. Kalau memang ada sanksi dengan dasar hukumnya, silakan saja,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Advist Khoirunikmah dan Han Revanda Putra berkontribusi dalam laporan ini. 

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus