Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELESAI sudah tugas Tim Lima yang dipimpin Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S. Setelah ngebut bekerja selama sepekan, Kamis 1 Oktober pekan lalu mereka bersiap menyerahkan tiga nama pesanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama-nama ini bakal duduk sebagai pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Komisi (KPK), menggantikan Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, dan Chandra Hamzah, yang kini berstatus tersangka.
Tadinya, Presiden diharapkan mengumumkan tiga nama tersebut sehari setelah Tim Lima menyerahkannya. Tapi bencana di Padang membuyarkan agenda ini. Kamis pekan lalu, setibanya dari Amerika Serikat—usai mengikuti pertemuan G-20—Presiden langsung terbang ke Padang untuk menengok korban bencana gempa.
Kepada wartawan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, salah satu anggota Tim Lima, menyatakan tiga nama itu belum diberikan ke Presiden. Tapi Tempo mendapat informasi tiga nama itu sudah ada di tangan Presiden beberapa menit sebelum SBY naik pesawat yang menerbangkannya ke Padang.
Inilah tiga nama itu yang disebutkan sumber Tempo: Tumpak Hatorangan Panggabean, 66 tahun, Mas Achmad Santosa, 53, dan Waluyo 53. ”Ketiga nama ini sudah fixed dari Tim Lima,” ujar sumber tersebut kepada Tempo pada Sabtu petang pekan lalu.
Dia menambahkan bahwa memang ada ganjalan, yakni usia Tumpak yang sudah lewat dari 65—batas tertinggi pimpinan Komisi menurut Undang-Undang KPK. Namun, begitulah sumber ini menuturkan, Andi Mattalata ngotot mencalonkan Tumpak. Alasannya, Tumpak, yang bekas pimpinan KPK itu, mewakili keinginan internal Komisi, yakni ada ”orang dalam” KPK pada trio pelaksana tugas tersebut. Anggota lain akhirnya menerima usul Andi.
Soal umur diharapkan tak jadi kendala, lantaran tugas ketiga pelaksana itu toh bersifat sementara. ”Kalau ditolak, masih ada cadangan, juga dari kalangan internal KPK,” sumber Tempo menambahkan.
Tumpak menolak berkomentar perihal dirinya yang terpilih. Kendati demikian, ia mengakui, Senin pekan lalu dia dihubungi seorang anggota tim. Bagaimana kalau benar terpilih? ”Saya tak mau berandai-andai,” katanya singkat. Mas Achmad Santosa juga menolak memberikan komentar.
Tiga nama ini memang bukan orang baru, baik di Komisi Pemberantasan Korupsi maupun di bidang penegakan hukum negeri ini. Waluyo pernah menjabat Deputi Pencegahan di KPK. Dia, antara lain, yang menyusun sistem kerja di KPK. Waluyo juga pernah masuk 10 besar calon pimpinan Komisi periode 2007-2001. Setelah gagal dalam fit and proper test di DPR, dia pindah ke Pertamina, menjabat Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia.
Adapun Mas Achmad Santosa, bekas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, pernah menjadi koordinator tim pembaruan kejaksaan.
Sabtu pekan lalu, sempat beredar berita Presiden akan menggelar rapat terbatas, termasuk dengan Tim Lima, untuk memutuskan soal pelaksana tugas itu. Tapi, hingga sore, pertemuan batal. Dihubungi wartawan Tempo Munawwaroh, Sabtu sore pekan lalu, Andi Mattalata menyatakan hingga kini belum ada jadwal pertemuan dengan Presiden. ”Kami menunggu waktu,” katanya.
DITUNJUK lewat keputusan presiden pada Rabu 23 September lalu, Tim Lima diberi waktu sepekan untuk menemukan nama pengganti tiga pimpinan KPK yang kini nonaktif tersebut.
Sebelumnya, pada 15 September lalu, Kepolisian menetapkan Chandra dan Bibit menjadi tersangka penyalahgunaan wewenang. Chandra dipersalahkan lantaran mengeluarkan surat cekal untuk pemilik PT Masaro Radiocom, Anggoro Widjojo. Bibit dipersalahkan lantaran mengeluarkan surat cekal untuk Joko S. Tjandra, bos Grup Mulia.
Menurut polisi, yang dilakukan keduanya melanggar hukum lantaran tidak diputuskan secara kolektif. ”Padahal, memang demikianlah wewenang kami di KPK, yang diputuskan lewat SK Ketua KPK,” kata Bibit. Sebelumnya, polisi telah menetapkan Antasari Azhar sebagai tersangka lantaran terkait kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran.
Dengan alasan ada kekosongan tiga pimpinan KPK, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4/2009 tentang Perubahan Atas UU KPK, Rabu dua pekan lalu. Perpu ini menjadi dasar pengangkatan tiga pejabat pelaksana tugas pimpinan KPK itu.
Memburu dan menjaring tiga nama pelaksana tugas ternyata bukan soal mudah bagi Tim Lima. ”Mereka takut dikriminalisasi,” kata Todung. Dia mengakui ada ratusan nama yang diusulkan oleh masyarakat ke Tim Lima. Selasa malam pekan lalu, nama itu sudah mengerucut menjadi sepuluh. Di antaranya Teten Masduki dan guru besar hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.
Teten mengakui soal ini. Menurut bekas Koordinator Indonesia Corruption Watch ini, yang menghubungi dirinya adalah Adnan Buyung Nasution. Sebelum Buyung, ia juga bertemu dengan Todung dan Ruki.
Kepada ketiganya, yang menemui dia secara terpisah, Teten menolak dicalonkan menjadi pelaksana tugas. ”Karena saya menolak Perpu itu,” ujarnya. Teten tidak kaget jika yang masuk kemudian orang-orang bekas KPK. Buyung, Todung, dan Ruki, ujarnya, mempunyai pikiran yang sama, yakni paling aman adalah memilih ”orang dalam.” ”Ini untuk menghindari KPK dari peluang intervensi,” ujar Teten.
Hikmahanto juga menolak masuk KPK. Dia mengaku dikontak Todung lalu Adnan Buyung. ”Pak Widodo juga ikut berbicara,” katanya. Hikmahanto menolak karena tak setuju dengan keluarnya Perpu dan tindakan polisi yang memeriksa Chandra dan Bibit. ”Saya tidak bersedia dikriminalisasi,” katanya.
Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas sempat pula disebut-sebut sebagai kandidat kuat untuk pelaksana tugas itu. ”Saya tidak pernah dikontak,” kata Erry. Sumber Tempo menyebutkan, nama Erry tidak masuk karena sebelumnya ia sempat memberikan syarat, hanya bersedia jika posisinya menggantikan Antasari. Benar? ”Yang jelas, saya menolak Perpu,” kata Erry.
Penolakan serupa disampaikan Amin Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK. Sumber Tempo mengatakan, Amin mengajukan syarat. Dia mau masuk asalkan status tersangka Chandra dan Bibit dicabut. Amin, yang biasanya gampang dikontak, tak bisa dimintai konfirmasi. Pesan pendek yang dikirim juga tak dibalasnya.
BELUM jelas kapan Presiden bakal mengumumkan tiga nama ini. Yang pasti, Adnan Buyung meyakinkan nama yang mereka sodorkan akan diterima. ”Kalau menolak, tidak logis dan tak etis,” katanya.
Bagi Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), ketiga penjabat baru pilihan Buyung dan kawan-kawan merupakan simbol legalisasi atas kriminalisasi polisi terhadap KPK. ICW, kata Emerson, karena menolak Perpu pada akhirnya menolak tiga nama terpilih. ”Prosesnya tidak transparan dan akuntabel.” Komentar yang sama dinyatakan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar. ”Bukan orangnya yang saya persoalkan, tapi penunjukannya yang tidak tepat,” paparnya.
Menurut Andi Mattalata, yang diputuskan Presiden tepat. Perpu, katanya, juga untuk menghindari stagnasi keputusan pimpinan jika terjadi perbedaan pendapat antara Mochammad Jasin dan Haryono Umar, dua pimpinan KPK yang tersisa. Faktanya, menurut Andi, penetapan tersangka Chandra dan Bibit telah menimbulkan demoralisasi yang luar biasa di dalam KPK. ”Mereka jadi enggak percaya diri,” katanya.
Kondisi ini tak dibantah Jasin. Dia membenarkan bahwa semua keputusan strategis KPK harus disetop sementara untuk menghindari persoalan legalitas putusan. ”Daripada beradu argumentasi,” kata Jasin ketika ditemui Tempo di ruang kerjanya, Jumat lalu. Jasin dan Haryono boleh jadi tak ”PD, percaya diri” setelah kehilangan kolega-koleganya.
Anne L. Handayani, Anton Apriyanto, Akbar Tri Kurniawan, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo