Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus kekerasan pada anak kembali muncul. Kasus terbaru menimpa putri seorang selebgram asal Malang.
Kekerasan seperti ini bisa menimbulkan efek trauma mendalam.
Karena itu, DPR diminta segera mengesahkan RUU Pengasuhan Anak yang dinilai bisa mencegah kekerasan pada anak terus berulang.
JAGAT media sosial diramaikan oleh aksi kekerasan terhadap anak oleh pengasuhnya. Hal itu menimpa putri sulung selebgram berinisial AP alias EA asal Kota Malang, Jawa Timur, yang dianiaya oleh pengasuhnya berinisial IPS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IPS menganiaya CA—putri sulung AP—hingga mengalami lebam di bagian wajah dan mata kirinya. Awalnya IPS berdalih CA terjatuh di kamar mandi. Namun aksi IPS menganiaya CA itu terekam jelas dalam CCTV.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Resor Kota Malang pun telah menetapkan IPS sebagai tersangka dalam kasus ini. IPS dijerat dengan Pasal 80 ayat 1 subsider ayat 2 subsider Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak. “Dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Malang Komisaris Danang Yudanto, Sabtu pekan lalu.
Danang menyatakan IPS melakukan penganiayaan karena korban menolak obat yang dia berikan untuk menyembuhkan luka cakar. Selain rasa kesal, ada beberapa faktor lain yang menjadi pendorong peristiwa penganiayaan tersebut. "Tersangka mengaku saat itu ada salah satu anggota keluarga yang sakit. Namun itu tidak bisa dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap anak," katanya.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Nahar, menyatakan pihaknya telah melakukan koordinasi dan akan terus memantau proses penanganan yang sedang berjalan untuk memastikan kepentingan terbaik bagi anak korban.
Nahar mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Malang serta Polres Malang. Hal itu dilakukan untuk memastikan korban mendapatkan hak-haknya, termasuk pemulihan fisik dan psikis. “Kami telah terhubung dengan keluarga korban untuk melakukan kunjungan dan memberikan pemulihan trauma kepada korban melalui pendampingan psikolog. Pendampingan ini akan dilakukan dengan menyesuaikan kesiapan keluarga dan tetap menghormati ruang dan privasi keluarga korban,” kata Nahar melalui keterangan resminya, Senin, 1 April 2024.
Tersangka penganiaya balita berinisial IPS berusia 27 tahun (tengah) saat dibawa petugas di Mapolresta Malang Kota, Jawa Timur, 30 Maret 2024. ANTARA/Vicki Febrianto
Psikolog anak dan keluarga dari Klinik PION Clinician, Astrid WEN, mengatakan peristiwa penganiayaan seperti itu akan membekas dan menimbulkan efek trauma mendalam bagi sang anak. Meskipun luka fisiknya sembuh, menurut dia, psikologis korban akan terganggu karena peristiwa tersebut. “Trauma psikologisnya itu bisa jangka pendek dan jangka panjang,” kata Astrid saat dihubungi, Selasa, 2 April lalu.
Menurut Astrid, dampak trauma itu akan sangat berpengaruh terhadap fase pertumbuhan anak ke depannya jika tak ditangani dengan baik. Karena itu, dia menyatakan perlu penanganan intensif untuk pemulihan psikologis si anak setelah pengobatan secara fisik. Pemulihan itu, menurut dia, membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan sampai bertahun-tahun.
Orang tua dan orang-orang terdekat si anak, menurut Astrid, memiliki peran penting dalam menghilangkan efek kekerasan tersebut. Dia menyarankan orang tua yang anaknya mengalami trauma akibat kekerasan menghabiskan lebih banyak waktu luang untuk memberikan rasa nyaman dan aman. “Menghilangkan trauma itu tidak bisa diukur. Tergantung bagaimana dinamikanya,” kata Astrid.
Tak hanya efek penyembuhan trauma anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai perlu ada langkah preventif agar peristiwa kekerasan terhadap anak tak terus terjadi. Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menilai UU Perlindungan Anak masih belum memiliki norma yang mengatur soal bagaimana sebaiknya pola pengasuhan anak. Karena itu, Jasra meminta Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengasuhan Anak.
“Mari melakukan langkah konkret, preventif, dengan bersama-sama mendorong pengesahan RUU Pengasuhan Anak agar ada respons yang sama di mana pun anak berada,” kata Jasra saat dihubungi secara terpisah.
Jasra mengatakan RUU Pengasuhan Anak ini bisa berperan penting dalam mencegah peristiwa kekerasan terhadap anak. Selain mengatur bagaimana pola asuh yang baik terhadap anak oleh orang tua, rancangan aturan itu mengatur tanggung jawab orang di sekitar anak untuk ikut serta melindungi saat terjadi kekerasan. “Misalnya, kejadian kekerasan di ranah privat, kita sebagai tetangga tahu dan ingin sekali melaporkan. Tapi, ketika tidak ada RUU Pengasuhan Anak, itu semua akan mustahil terjadi. Karena tidak ada mandat yang diberikan kepada kita semua,” katanya.
Berdasarkan catatan KPAI, Jasra mengatakan, kluster kekerasan di ranah privat, seperti yang terjadi di Malang, terus meningkat setiap tahun. Sepanjang 2023 saja, menurut data KPAI, terdapat 933 kasus kekerasan terhadap anak, baik yang dilaporkan maupun berdasarkan pemantauan. Dari jumlah itu, sebagian besar terjadi di ranah privat.
Kasus Kekerasan Anak
Menurut data KPAI, kekerasan seksual pada anak menjadi kasus tertinggi, yakni 566 kasus pada 2023. Selanjutnya kekerasan fisik dan psikis mencapai 271 kasus, perlakuan salah dan penelantaran 46 kasus, serta eksploitasi anak secara ekonomi dan atau seksual 50 kasus. “Harus ada upaya luar biasa melapisi, untuk mencegah, mengurangi, dan mempercepat penanganan yang tepat. Dan itu tidak mungkin bila tidak berwujud payung kebijakan dengan RUU Pengasuhan Anak,” kata Jasra.
Kasus Kekerasan Anak
Jasra mengatakan RUU Pengasuhan Anak ini sudah diperjuangkan KPAI sejak 20 tahun lalu. Namun hingga kini DPR belum juga mengesahkannya meskipun sudah masuk Program Legislasi Nasional. “Keberadaan undang-undang ini penting karena, untuk melakukan intervensi di dalam keluarga, dibutuhkan payung hukum kebijakan yang komprehensif, termasuk ketika ada kekerasan, sehingga petugas dapat segera menindaklanjuti kondisi pengasuhan anak yang terancam,” katanya.
Dengan adanya regulasi soal pengasuhan anak, pengasuhan anak bukan lagi tanggung jawab mutlak orang tua. Ketika anak berada di luar kendali orang tua, siapa saja bisa menjaga keamanan anak, termasuk mengatur soal lembaga-lembaga penyalur asisten rumah tangga yang akan menjadi pengasuh. “Ketika anak terlepas dari pengasuhan orang tuanya, agar ada perwakilan yang dimandatkan, memiliki kompetensi, terakreditasi, tepercaya, dan profesional,” katanya.
Staf Ahli Hubungan Kelembagaan Kementerian PPPA Rini Handayani pun meminta DPR segera mengesahkan RUU Pengasuhan Anak ini. Dia menilai banyak peraturan perlindungan anak yang belum tertulis dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. “Memang sangat diperlukan karena banyak gap yang masih belum tertuang dalam UU Perlindungan Anak,” ujarnya, seperti dikutip Antara.
Rini menambahkan, PP Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak, belum cukup memayungi mekanisme pengasuhan yang aman bagi anak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo