Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAPOLEON Bonaparte bukan tauladan seorang demokrat yang benar,
tapi ia tetap tak bisa mengubah semangat Revolusi Perancis. Di
bawah dia rakyat Perancis tidak harus tertindas begitu saja,
tanpa hak menggugat keadilan kembali, oleh sikap dan perbuatan
pegawai negeri yang semena-mena. Sebab itu, setelah lama
tergencet di bawah pemerintahan Louis XVI, rakyat diberi hak
untuk menggugat pemerintah melalui suatu peradilan administrasi.
Siapa tahu hal seperti itu bisa terjadi di Indonesia, dua abad
kemudian. Belum lama ini, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus
lalu, Presiden Suharto menyatakan: "akan diusahakan terbentuknya
pengadilan administrasi, yang dapat menampung dan menyelesaikan
perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat/aparatur negara, maupun untuk
memberikan kepastian hukum bagi setiap pegawai negeri."
Pidato Presiden nampaknya berhubungan erat dengan keinginan
terwujudnya "keadilan di lapangan hukum." Yaitu "agar azas
pemerataan kesempatan memperoleh keadilan hukum juga harus kita
pertegas pelaksanaannya."
Bagaimana Caranya?
Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi
sebenarnya sudah ada sejak 1949. Sejak Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro masih menjabat Ketua Mahkamag Agung. Tapi macet.
Hanya ada berbagai seminar sebagai kelanjutannya.
Bila Presiden Suharto kini bicara peradilan administrasi, tentu
karena kini telah siap 6 orang hakim (2 dari Jakarta dan seorang
dari Denpasar, Surabaya, Sukabumi serta Medan) yang selama dua
tahun belajar soal peradilan administrasi. Tentu saja para hakim
itu belajar di Perancis, di l'Institute Internationale
d'Administration Publique, tempat hakim luar negeri mempelajari
pola hukum negeri itu seperti yang juga dianut Indonesia.
Sayangnya, meski Presiden Suharto sendiri telah membuka masalah
itu, namun kalangan Mahkamah Agung belum juga siap untuk
menjelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan peradilan
administrasi -- walau serba sedikit dan ala kadarnyapun. Bahkan
pejabat pada Proyek Pengadilan Administrasi juga masih merasa
perlu menutup permasalahan. Pejabat di sana ltanya menyatakan:
"Seminar peradilan administrasi baru akan dilaksanakan bulan
Nopember yang akan datang."
Sebagai gambaran, boleh juga dikemukakan pendapat Hakim Benyamin
Mangkudilaga SH dari Pengadilan Negeri Denpasar yang ikut serta
belajar di Perancis. "Lewat peradilan administrasi rakyat akan
diberi kesempatan untuk menggugat pegawai atau instansi
pemerintah yang melakukan kesalahan." Seorang pegawai negeri
juga boleh menggugat atasannya -- misalnya, yang menghambat
kenaikan pangkat. Bahkan instansi pemerintah rendahan boleh
bersengketa dengan jawatan yang lebih tinggi kedudukannya.
Hanya: apakah segala sesuatunya sudah siap? Tampaknya belum.
"Dalam peradilan administrasi diperlukan tenaga hakim yang tahu
betul liku-liku administrasi negara," kata Benyamin. Dan 6 orang
hakim yang baru saja pulang dari Perancis, tentu saja, belum
mencukupi kebutuhan. Apalagi belum jelas soal hukum acara
bersengketa dan organisasi peradilan administrasi itu sendiri.
Juga masih merupakan persoalan, agaknya, perihal kedudukan
peradilan itu sendiri. Kita sudah mengenal peradilan khusus di
luar badan peradilan umum. Misalnya, ada PUPN (Panitia yang
mengurus piutang negara) di bawah Departemen Keuangan, P4D dan
P4P (yang mengurus sengketa perburuhan) di bawah Departemen
Tenaga Kerja dan UPD (masalah perumahan) di bawah Departemen
Dalam Negeri dan Sosial. Badan peradilan di atas lazimnya
disebut "peradilan semu".
Jadi di manakah letak peradilan administrasi kelak? Ada yang
menunjuk Kantor BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara)
yang mempunyai kemungkinan terdekat untuk mengurus persengketaan
administrasi. Ada pula yang melihat hal itu sebagai urusan
Menteri Aparatur Negara, Sumarlin, yang biasa mengurus
ketidakberesan pegawai negeri.
Agar Benar Terpisah
Hakim Bismar Siregar, dari Pengadilan Negeri Jakarta
Utara-Timur, melihat "hal itu bisa juga diurus oleh Departemen
Dalam Negeri." Tapi Bismar sendiri kemudian mempertanyakan:
"Bagaimana kalau yang tergugat Departemen Dalam Negeri atau
pejabat pentingnya sendiri?" Memang repot.
Baiknya, masih menurut Bismar Siregar, "pengadilan administrasi
dimasukkan dalam lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah
Agung, sebelum 'jatuh' menjadi atau menambah peradilan semu yang
telah ada."
Berbagai fihak, sebenarnya, telah lama menghendaki agar
peradilan-peradilan semu seperti di atas itu baiknya
mengembalikan wewenangnya mengadili sesuatu perkara kepada badan
peradilan umum. Yah, tentunya, agar lembaga peradilan bisa
benar-benar terpisah dari kekuasaan lain yang bukan mengurus
peradilan.
Soalnya, praktek peradilan semu di bawah eksekutif itu terkenal
bukan main semrawutnya. Ini tidak berarti bahwa peradilan umum,
yang hakimnya di bawah pengawasan Mahkamah Agung namun sistim
penggajiannya masih sebagai pegawai negeri di bawah Departemen
Kehakiman, juga sudah berjalan semustinya. Memang bukan main
repotnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo