Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menduga-duga Gagasan Presiden

Presiden Suharto mengusahakan terbentuknya peradilan adminstrasi yang dapat menampung & menyelesaikan perkara-perkara: pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur negara & kepastian hukum bagi pegawai negeri. (hk)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAPOLEON Bonaparte bukan tauladan seorang demokrat yang benar, tapi ia tetap tak bisa mengubah semangat Revolusi Perancis. Di bawah dia rakyat Perancis tidak harus tertindas begitu saja, tanpa hak menggugat keadilan kembali, oleh sikap dan perbuatan pegawai negeri yang semena-mena. Sebab itu, setelah lama tergencet di bawah pemerintahan Louis XVI, rakyat diberi hak untuk menggugat pemerintah melalui suatu peradilan administrasi. Siapa tahu hal seperti itu bisa terjadi di Indonesia, dua abad kemudian. Belum lama ini, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, Presiden Suharto menyatakan: "akan diusahakan terbentuknya pengadilan administrasi, yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat/aparatur negara, maupun untuk memberikan kepastian hukum bagi setiap pegawai negeri." Pidato Presiden nampaknya berhubungan erat dengan keinginan terwujudnya "keadilan di lapangan hukum." Yaitu "agar azas pemerataan kesempatan memperoleh keadilan hukum juga harus kita pertegas pelaksanaannya." Bagaimana Caranya? Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi sebenarnya sudah ada sejak 1949. Sejak Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro masih menjabat Ketua Mahkamag Agung. Tapi macet. Hanya ada berbagai seminar sebagai kelanjutannya. Bila Presiden Suharto kini bicara peradilan administrasi, tentu karena kini telah siap 6 orang hakim (2 dari Jakarta dan seorang dari Denpasar, Surabaya, Sukabumi serta Medan) yang selama dua tahun belajar soal peradilan administrasi. Tentu saja para hakim itu belajar di Perancis, di l'Institute Internationale d'Administration Publique, tempat hakim luar negeri mempelajari pola hukum negeri itu seperti yang juga dianut Indonesia. Sayangnya, meski Presiden Suharto sendiri telah membuka masalah itu, namun kalangan Mahkamah Agung belum juga siap untuk menjelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan peradilan administrasi -- walau serba sedikit dan ala kadarnyapun. Bahkan pejabat pada Proyek Pengadilan Administrasi juga masih merasa perlu menutup permasalahan. Pejabat di sana ltanya menyatakan: "Seminar peradilan administrasi baru akan dilaksanakan bulan Nopember yang akan datang." Sebagai gambaran, boleh juga dikemukakan pendapat Hakim Benyamin Mangkudilaga SH dari Pengadilan Negeri Denpasar yang ikut serta belajar di Perancis. "Lewat peradilan administrasi rakyat akan diberi kesempatan untuk menggugat pegawai atau instansi pemerintah yang melakukan kesalahan." Seorang pegawai negeri juga boleh menggugat atasannya -- misalnya, yang menghambat kenaikan pangkat. Bahkan instansi pemerintah rendahan boleh bersengketa dengan jawatan yang lebih tinggi kedudukannya. Hanya: apakah segala sesuatunya sudah siap? Tampaknya belum. "Dalam peradilan administrasi diperlukan tenaga hakim yang tahu betul liku-liku administrasi negara," kata Benyamin. Dan 6 orang hakim yang baru saja pulang dari Perancis, tentu saja, belum mencukupi kebutuhan. Apalagi belum jelas soal hukum acara bersengketa dan organisasi peradilan administrasi itu sendiri. Juga masih merupakan persoalan, agaknya, perihal kedudukan peradilan itu sendiri. Kita sudah mengenal peradilan khusus di luar badan peradilan umum. Misalnya, ada PUPN (Panitia yang mengurus piutang negara) di bawah Departemen Keuangan, P4D dan P4P (yang mengurus sengketa perburuhan) di bawah Departemen Tenaga Kerja dan UPD (masalah perumahan) di bawah Departemen Dalam Negeri dan Sosial. Badan peradilan di atas lazimnya disebut "peradilan semu". Jadi di manakah letak peradilan administrasi kelak? Ada yang menunjuk Kantor BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara) yang mempunyai kemungkinan terdekat untuk mengurus persengketaan administrasi. Ada pula yang melihat hal itu sebagai urusan Menteri Aparatur Negara, Sumarlin, yang biasa mengurus ketidakberesan pegawai negeri. Agar Benar Terpisah Hakim Bismar Siregar, dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, melihat "hal itu bisa juga diurus oleh Departemen Dalam Negeri." Tapi Bismar sendiri kemudian mempertanyakan: "Bagaimana kalau yang tergugat Departemen Dalam Negeri atau pejabat pentingnya sendiri?" Memang repot. Baiknya, masih menurut Bismar Siregar, "pengadilan administrasi dimasukkan dalam lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung, sebelum 'jatuh' menjadi atau menambah peradilan semu yang telah ada." Berbagai fihak, sebenarnya, telah lama menghendaki agar peradilan-peradilan semu seperti di atas itu baiknya mengembalikan wewenangnya mengadili sesuatu perkara kepada badan peradilan umum. Yah, tentunya, agar lembaga peradilan bisa benar-benar terpisah dari kekuasaan lain yang bukan mengurus peradilan. Soalnya, praktek peradilan semu di bawah eksekutif itu terkenal bukan main semrawutnya. Ini tidak berarti bahwa peradilan umum, yang hakimnya di bawah pengawasan Mahkamah Agung namun sistim penggajiannya masih sebagai pegawai negeri di bawah Departemen Kehakiman, juga sudah berjalan semustinya. Memang bukan main repotnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus