Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggulung Gelanggang Judi Batam

Aparat Markas Besar Kepolisian terjun ke Batam dan menyegel puluhan tempat judi berkedok gelanggang permainan. Pemiliknya berancang-ancang memperkarakan penutupan itu.

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN itu digelar di sebuah rumah makan di kawa­san Nagoya, Batam. Di sana, Kamis malam dua pekan lalu, kurang-lebih pukul 20.00, sekitar 20 polisi berpakaian sipil membahas strategi operasi rahasia: penggerebekan tempat-tempat perjudian di Batam. Tak terlihat keletihan di wajah mereka. Padahal aparat dari Markas Besar Polri itu baru mendarat beberapa jam sebelumnya di kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau itu.

Pukul 23.00 pertemuan selesai. Beberapa saat kemudian, mereka dengan cepat bergegas mendatangi Hotel Formosa, yang berada sekitar satu kilometer dari lokasi rapat. Sasarannya lantai satu hotel tersebut, yang malam itu hiruk-pikuk oleh pengunjung. "Kami masuk ke ruangan besar penuh mesin permainan dan berpencar menempati pos yang sudah ditugaskan," kata seorang polisi yang ikut dalam penyergapan.

Di sana para polisi berpakaian sipil itu bersiaga di titik-titik penting: dekat kasir penukaran uang, kamar mandi, dan pintu masuk. Sebagian lagi memainkan perannya sebagai "konsumen", ikut larut di mesin-mesin permainan yang berhadiah uang itu.

Polisi memang sudah mensinyalir Sky Zone 88, demikian tempat itu dinamakan, adalah gelanggang perjudian yang berkedok permainan ketangkasan. Di Batam, tempat semacam ini terbilang banyak. "Malam itu setidaknya ada seratus orang asyik berjudi lewat permainan di Sky Zone," ujar sumber Tempo. Untuk bisa masuk ke arena mesin judi itu, setiap pengunjung mesti membeli koin senilai Rp 2.000. Lewat tebakan di layar monitor yang mereka mainkan, jika jitu, akan keluar kupon. Kupon itulah yang kemudian ditukarkan uang.

Para pengunjung Sky Zone baru terperangah ketika Komisaris Besar Napoleon Bonaparte, Kepala Sub-Direktorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, berdiri di tengah ruangan dan meminta ­pengunjung menghentikan kegiatan. "Mohon untuk tidak meninggalkan tempat. Berdasar surat perintah, tempat ini akan kami geledah," teriak Napoleon. Beberapa pengunjung mencoba lari, tapi ditangkap petugas.

Malam itu juga polisi mencokok salah satu pemilik tempat itu, Joni. Juga dicokok 30 karyawan Sky Zone dan lima pengunjung. Mereka langsung diperiksa di Polres Kota Barelang, Batam. Sekitar 200 mesin judi langsung disegel.

Esok malamnya, polisi melakukan operasi serupa. Kurang dari sepekan, 79 tempat judi yang di Batam dikenal dengan nama "gelper" (gelanggang permainan) diserbu aparat Mabes Polri ini. Mereka yang tertangkap tangan digelandang ke kantor polisi. Satu pabrik perakit mesin judi juga langsung ditutup. "Semua sampai kini dalam status quo," kata Napoleon kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Polisi memboyong Joni ke Jakarta. Ia dijebloskan ke tahanan Badan Reserse Kriminal. Polisi menjadikannya tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 303 KUHP tentang larangan perjudian. Empat penjudi, Syahrul (41 tahun), Deni Umar (32), Perngadi (49), dan Misli (38), juga dijadikan tersangka. Mereka tidak ditahan karena polisi beralasan ancaman hukum untuk mereka kurang dari lima tahun.

l l l

Perjudian di Batam sesungguhnya memang tak pernah berhenti. Sejumlah kawasan di sana sejak dulu dikenal sebagai pusat judi. Misalnya Tering Bay Resort. Di sini sebuah kasino mewah pernah berdiri. Di dalamnya tersedia beragam jenis judi: baccarat, jack pot, roulette, craps, ji sie kie, black jack, dan poker. Tapi, tatkala Sutanto pada 2005 menjadi Kapolri dan memerintahkan perang terhadap perjudian, judi di pulau ini—seperti juga di sejumlah daerah lain—langsung tiarap. Lokasi perjudian menjadi senyap.

Namun, tiga tahun belakangan ini perjudian di Batam menggeliat kembali. Wali Kota Batam Ahmad Dahlan menolak jika pihaknya disebut melegalisasi perjudian. Pemerintah, katanya, hanya mengeluarkan izin permainan dan hiburan. Jumlahnya 64 perizinan. Jika Mabes Polri menemukan 79 lokasi, ujar Ahmad, sisanya pasti ilegal. "Kalau ada yang menyimpang, silakan tindak," ujarnya.

Gelanggang permainan memang menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah Batam. Untuk mendapat izin ini, pengusaha wajib membayar jutaan rupiah, dan izin itu harus diperpanjang setiap tahun. Menurut sumber Tempo, setiap bulan dana retribusi yang dikutip dari setiap mesin permainan Rp 100 ribu. Di Batam jumlah mesin permainan ini sekitar 8.000 unit. "Jadi, pendapatan daerah dari mesin gelper ini saja sebulan Rp 800 juta," kata sumber Tempo ini. Pemda mengeluarkan izin gelanggang permainan berdasar Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang pariwisata.

Masyarakat Batam sebenarnya sudah memprotes hadirnya permainan judi yang berkedok gelanggang permainan itu. Ketua Majelis Ulama Indonesia Kepulauan Riau Azhari Abbas menyatakan pihaknya sudah berkali-kali meminta arena permainan seperti itu ditutup. Ketua Gerakan Brantas Korupsi (Gebrak) Batam Uba Ingan Sigalingging, curiga kelambanan aparat kepolisian Batam menutup tempat perjudian itu lantaran para bandar judi berkongkalikong dengan mereka. Kecurigaan yang sama dilontarkan anggota DPRD Batam dari Partai Amanat Nasional, Yudi Kurnain. "Sebab, tidak ada aparat yang tegas menyebut permainan itu judi."

Juru bicara Polda Kepulauan Riau, Ajun Komisaris Besar Hartono, membantah jika pihaknya disebut berkongkalikong atau melindungi para bandar judi. Sikap kepolisian Riau, ujarnya, sejurus dengan tindakan Markas Besar Kepolisian. Tapi saat ditanya kenapa puluhan polisi dari Markas Besar Polri yang turun tangan menutup arena permainan itu, Hartono tak menjawab.

Para pengusaha arena permainan tampaknya akan melawan atas penyegelan yang dilakukan aparat itu. Salah seorang pengusaha arena permainan, Ansia, misalnya, menolak jika tempat usahanya disebut bisnis haram. "Selain menjual hiburan, kami ini menyediakan lapangan kerja," katanya. Para pengusaha itu kini juga bersiap untuk memperkarakan Mabes Polri, yang sudah menutup tempat usaha mereka.

Napoleon tak gentar oleh ancaman para pengusaha Batam itu. Menurut dia, timnya, yang sudah melakukan penyelidikan sejak Agustus silam, menemukan bukti bahwa tempat permainan yang mereka sergap itu menggelar perjudian. Unsur perjudian seperti disyaratkan Pasal 303 KUHP, kata Napoleon, semua sudah terpenuhi. Permainan di sana bukan berdasarkan keahlian, melainkan bertumpu pada keberuntungan. Lalu ada kamuflase hadiah yang sebenarnya uang. "Jadi, faktanya jelas. Ini judi yang harus ditindak," kata Napoleon.

Sandy Indra Pratama, Rumbadi Dalle (Batam)


Putusan Pembuat Lubang

PENGGEREBEKAN terhadap gelanggang permainan sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Batam. Dua tahun silam, di bawah pimpinan Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pernah melakukan hal serupa. Saat itu, 14 Maret 2009, tim Carlo, antara lain, menutup arena perjudian Scorpion, menangkap tersangka pemiliknya, Kian Sang alias Asan, dan 13 orang lain yang terlibat praktek haram tersebut. "Saat itu polisi dan jaksa menyatakan berkas lengkap," ujar Kepala Unit I Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, Ajun Komisaris Besar Susilowadi, Selasa pekan lalu.

Berkas yang sudah dinyatakan lengkap kemudian diserahkan ke Pengadilan Negeri Batam. Namun putusan hakim jauh dari harapan polisi. Pada 25 Maret 2010, ke-14 tersangka itu divonis bebas oleh majelis hakim. Jaksa langsung mengajukan permohonan kasasi. Tapi kasasi itu, Juli lalu, ditolak Mahkamah Agung.

Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan penegak hukum tidak bisa membuktikan adanya praktek perjudian. Alasan hakim, alat bukti berupa uang tidak ditemukan. Selain itu, permainan yang ada di gelanggang tersebut sudah mendapatkan izin dari pemerintah daerah. "Putusan itu membuat lubang," ujar Kepala Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, Komisaris Besar Napoleon Bonaparte. Maksud Napoleon, putusan itu akan dipakai para pengelola dan penjudi yang ditangkap sebagai senjata untuk menyatakan yang mereka lakukan tak melanggar hukum.

Napoleon menyatakan sudah memperkirakan putusan kasus Asan akan dijadikan senjata para tersangka dan para pengelola gelanggang permainan yang ia tutup itu untuk "melawan" polisi. Tapi, menurut Napoleon, kali ini para tersangka akan gigit jari dan tak mungkin lolos dari jerat hukum. Itu, ujarnya, karena timnya yang terjun ke Batam menemukan bukti adanya penukaran uang dari kupon permainan ketangkasan di gelanggang permainan. Penukaran uang itu dilakukan di sebuah tempat yang terpisah dari lokasi permainan. "Jadi, kali ini jelas unsur perjudiannya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus