Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Inspektur Jenderal Teddy Minahasa menganggap kasus sabu yang menjeratnya hanya konspirasi dan rekayasa. Dalam pleidoinya, eks Kapolda Sumatera Barat itu mengatakan banyak kejanggalan yang tujuannya hanya untuk menghancurkan karier dan membunuh karakter serta berdampak pada keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dalam proses hukum yang saya alami ini terjadi banyak sekali kejanggalan dan un-procedural yang dilakukan sejak proses penyidikan dan penuntutan dengan memanfaatkan para terdakwa lainnya yang mengarah kepada sebuah konspirasi dan rekayasa," ujar Teddy saat membacakan pleidoinya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis, 13 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teddy menyampaikan awal penetapannya sebagai tersangka yang tidak sesuai prosedur. Dia merasa telah dibidik untuk dijatuhkan melalui kasus peredaran lima kilogram sabu.
Lalu hasil ekstrak pesan WhatsApp dari handphone-nya melanggar Pasal 6 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Alasannya proses digital forensik tidak dilalui menurut prosedur yang benar dan menghasilkan bukti yang tidak utuh.
Dia menganggap ahli digital forensik Polda Metro Jaya tidak bekerja sesuai standar karena bukti pesan WhatsApp yang ditunjukkan sejak penyidikan dan persidangan tidak utuh.
"Ini artinya bahwa konstruksi berpikir ahli digital forensik dan petugas laboratorium forensik adalah sesuai dengan 'pesanan', karena seharusnya hasil laboratorium digital forensik disajikan secara utuh," kata Teddy Minahasa.
Selanjutnya Teddy Minahasa ungkap kejanggalan lain dalam kasusnya...
Teddy Minahasa Ungkap Kejanggalan lain
Kejanggalan lain adalah rilis soal dirinya yang dinyatakan positif metamfetamina atau sabu pada 14 Oktober 2022. Lalu akhirnya diralat oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, karena itu hasil bius tindakan medis di Rumah Sakit Medistra, Jakarta.
Dua saksi penyidik dari Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, kata Teddy Minahasa, sempat menyatakan penyidikan tidak objektif. Karena tidak berdasarkan pada hasil digital forensik yang utuh.
Selain itu, handphone milik Teddy tidak pernah disinkronisasi dengan tersangka lainnya. Dasar pemeriksaan terhadap dirinya justru dari tangkapan layar milik tersangka lainnya.
Kalau ditunjukkan hasil ekstrasi yang utuh, Teddy merasa itu akan menguntungkannya.
"Artinya, saya sengaja dibikin rugi. Yang lebih parah lagi, setelah para ahli IT menjelaskan bahwa foto tangkapan layar adalah tidak sah, tetapi Jaksa Penuntut Umum masih juga menggunakannya dalam proses penuntutan," tuturnya.
Teddy Minahasa juga menganggap penyajian data hasil ekstrak handphone-nya dikorupsi. Karena ahli digital forensik Polda Metro Jaya menuturkan data dari handphone Teddy hanya mampu menghasilkan 60 persen saja percakapan WhatsApp dengan Ajun Komisaris Besar Polisi Dody Prawiranegara.
Sedangkan 40 persen sisanya tidak dijelaskan dalam berita acara soal alasan tidak mampu dihasilkan. Padahal ada 979 pesan, tapi hanya 88 persen saja yang ditampilkan.
"Sehingga menjadi tanda tanya besar, apa sebenarnya tujuan penyidik tidak menyajikan percakapan saya secara utuh?" ujar Teddy Minahasa.
Teddy dituding menjadi dalang peredaran lima kilogram sabu dari Polres Bukittinggi yang sudah ditukar dengan tawas. Dia mengklaim sebenarnya ingin menjebak Linda Pujiastuti alias Anita Cepu dengan teknik undercover buy karena sakit hati telah dibohongi.
Dia dianggap bersalah sebagaimana Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa menuntut hukuman mati untuk Teddy Minahasa kepada Majelis Hakim.
Pilihan Editor: Anggap Kasus Sabu Tukar Tawas Rekayasa, Teddy Minahasa: Kehormatan Saya Tercabik oleh Buzzer