Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Hukum Acara Pidana yang baru nanti diusahakan adanya
jaminan hukum dan kepastian hukum yang jelas bagi seseorang yang
dikenakan tindakan hkum oleh aparat penegak bukum.
--Pidato Presiden di muka DPR, 16 Agustus 1979.
KAPAN?
Jaksa Agung Ali Said SH dua bulan yang lalu pernah berjanji:
Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana yang baru akan
diajukan ke DPR "sesudah Lebaran".
Nah. Presiden sudah bicara, dan Jaksa Agung sudah berjanji. Akan
lahir sesuatu yang bersejarah: suatu Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Nasional akan segera mengganti UU lama bikinan kolonial.
Jadi anda jangan ragu dan bertanya benar nih, RUU-nya sudah
siap?
Tapi toh pertanyaan demikian tak terelakkan. Sebab, suatu UU
yang "berhak-asasi manusia," pengganti hukum acara buatan
penjajah, memang sudah sejak lama jadi janji yang lebih indah
daripada kenyataannya.
Ingat saja sejumlah ucapan yang diperdengarkan kepada para
anggota Komisi III/DPR. Dalam suatu rapat kerja, Juni 1972,
Menteri Kehakiman waktu itu, Prof. Oemar Seno Adji (sekarang
Ketua Mahkamah Agung), berjanji tahun itu juga RUU yang mengatur
hukum acara perkara pidana dapat dibahas para wakil rakyat. Eh,
tidak jadi. Dua tahun kemudian, Juni 1974, janji yang sama
diulang Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja (sekarang
Menteri Luar Negeri) dua bulan setelah hari itu, katanya, RUU
sudah akan diserahkan ke DPR melalui Presiden. Meleset lagi.
Maka tak ada yang bisa diucapkan lagi oleh Ketua Komisi III,
waktu itu Cosmas Batubara (yang kini Menteri Muda), selain bahwa
semua pihak hanya bisa "kaok-kaok saja" tanpa mampu melahirkan
UU Hukum Acara dan Hukum Pidana Nasional.
Padahal hukum acara yang diatur oleh undang-undang lama yang
sekarang berlaku, HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau dalam
bahasa kita disebut RIB (Reglemen Indonesia yang Dibaharui),
sudah dianggap ketinggalan zaman: hukum yang dibuat lebih 130
tahun yang lalu oleh penjajah tersebut tak layak lagi bagi
bangsa yang sudah lebih 30 tahun merdeka.
Memang, bangsa yang merdeka memerlukan hukum buatannya sendiri.
Apa lagi ahli hukum dan Ketua Umum Peradin (organisasi advokat)
S. Tasrif, misalnya pernah menyebut: "Keadaan dunia hukum kita
masih merupakan rimba belukar." Sementara upaya menyianginya
sangat lambat. Baik halhal yang menyangkut urusan pidana, maupun
yang perdata, yang sehari-hari kelihatan di gedung pengadilan.
Di sana misalnya, hakim kelihatan sangat "rajin" asyik
memberondongi terdakwa dengan berbagai pertanyaan. Sementara
jaksa, penuntut umum yang punya kewajiban membuktikan
tuduhannya, boleh duduk bersandar pasif. Dan terdakwa pun
hatinya ciut. Dan pembela, yang disewa maupun prodeo, kelihatan
mukanya kecut. Sebab lawannya bukan lagi jaksa, tetapi
hakim--yang memegang aturan main. Bukankah, dalam kata-kata
Tasrif, keadaan itu menunjukkan "wasit yang ikut main lapangan"?
Sebuah seminar tentang Hak-hak Asasi Manusia di Bandung, 1967,
tak kurang pula mengecam prlakuan para penegak hukum di sini
terhadap para pesakitan. Tersangka, katanya, tidak layak
dipaksa memberi keterangan yang memheratkan dirinya.
Tapi itu--ada juga yang bilang--bukan salahnya HIR yang
"kolonialistis" itu. UU tersebut, menurut ahli hukum pidana dari
Yogya, Nyonya Muljatno SH, memang sudah tua. Tapi di negeri
asalnya, Belanda, toh pada pokoknya masih memadai: bukankah di
sana hak asasi manusia cukup terjamin? Yang buruk bagi kita di
sini, kata bekas hakim yang mengadili perkara Sum Kuning ini,
adalah "pelaksanaannya yang tidak tertib."
Penahanan juga semrawut. Kadang dalam bentuk menyekap tersangka
secara berlarut-larut -- tanpa dipertimbangkan apa pula dosa si
korban. Atau bahkan, penangkapan yang semena-mena oleh berbagai
tangan. Artinya, tak uma polisi dan jaksa.
Sementara itu yang sudah diatur oleh perundang-undangan pun,
seperti tata cara pemeriksaan saksi, prakteknya bisa
macam-macam. HIR atau RIB mengatur bahwa, hakim seharusnya
memeriksa saksi lebih dulu sebelum mulai dengan terdakwa. Namun,
yang menonjol mulai kasus pengadilan Tengku Hafas (wartawan
Nusantara yang diadili 1971) sampai perkara Sawito belakangan
ini, hakim selalu memulai pemeriksaan dengan terdakwa.
ALASANNYA -- yang tak bisa diterima para ahli di luar
pengadilan--ialah karena kebiasaan sudah demikian. Lalu
bagaimana dengan hukum acara yang masih berlaku? Ada pula
dalihnya: bukankah RIB itu hanya berlaku sebagai "pedoman"
belaka?
Memang betul. Ada undang-undang (UU Darurat No. 1/1951),
yang,menyatakan "RIB seberapa mungkinarus diambil sebagai
pedoman tentang acara pidana sipil ...." Jadi, konon, hukum
acara itu boleh dipakai, boleh tidak. Sehingga sering anggota
Komisi III/DPR beberapa kali minta pemerintah agar kata
"pedoman" dicabut saja. Tapi ketika itu Prof. Oemar Seno Adji
menjawab, lebih kurang tidak usah dicabut, toh tahun itu juga
(1972) UU Hukum Acara Pidana yan baru bakal muncul.
Ternyata meleset. Juga dua tahun berikutnya. Tapi kini, dari
pernyataan Presiden Soeharto dan janji Jaksa Agung Ali Said SH,
dalam bulan Syawal ini (Insya Allah) "angin segar" bisa diharap
mulai bertiup. RUU-nya sendiri sudah banyak diketahui orang.
Komentar-komentar pun agaknya sudah boleh diperdengarkan
menjelang pembahasannya di DPR. Bukankah rakyat juga yang bakal
"menikmatinya"?
Apalagi persoalannya cukup serius. Itu dapat dilihat dari
lamanya ikhtiar memperbaharui undang-undang yang bermula di
tahun 1848 ini.
Hanya 23 bulan setelah turun perintah Raja Belanda, 5 April
1848, RUU Inlandsch Reglement telah diterima dan diumumkan oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di sini. Rancangannya disusun
oleh tim Jhr. Mr. Wichers yang sengaja dikirim ke mari oleh raja
membantu sang Gubernur Jenderal. Tak sampai « tahun berikutnya,
29 September 1849, IR sudah dicanangkan sebagai undang-undang.
Dalam waktu- singkat "hukum kapal", ramuan hukum Belanda kuno
dengan hukum Romawi yang berlaku di pusat VOC, digantikan
dengan yang baru. Begitu cerita penyusun buku RIB, pensiunan
polisi M. Karjadi.
Undang-undang "buatan" Wichers tersebut ternyata awet. Hampir
seratus tahun kemudian, 1941, barulah dirasakan perlu
pembaharuan. Yaitu acara penuntutan bagi golongan Eropa (Raad
van Justitie) dan Bumiputera (Landraad). Kemudian, pada tahun
yang sama IR diperbaharui menjadi Herzien Inlandsch Reglement
(HIR) atau disebut Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB).
Perbedaan kedua hukum acara untuk Bumiputera dan Eropa, masih
tetap dipertahankan - karena tujuan pembaharuan tersebut memang
bukan untuk mencapai kesatuan Hukum Acara Pidana.
Kemudian, dengan UU Darurat No. 1/1951, dengan berbagai
perubahan & tambahan RIB dipakai sebagai pedoman Hukum Acara
Pidana. Namun, asal tahu saja, beberapa ketentuan yang
menyangkut hak asasi serta jaminan bagi seseorang yang
tersangkut perkara pidana --yang dulu diberlakukan bagi kulit
putih--tidak lagi tercantum sebagai pedoman. Misalnya Hakim
Komisaris yang diperlukan sebagai lembaga pengontrol penahanan.
Juga tidak ada aturan tentang bantuan hukum dan hak berhubungan
dengan keluarga selama tersangka dalam tahanan.
Ketinggalan dan kekurangan hukum acara pidana cukup menimbulkan
kekisruhan: penangkapan dan penahanan semena-mena atau proses
peradilan yang dianggap semrawut. Pokoknya, begitu penjelasan
RUU Hukum Acara Pidana, yang diperlukan sekarang sebuah UU Hukum
Acara Pidana Nasional "yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945."
Hanya, untuk menyusunnya, kenyataannya tak bisa secepat yang
dilakukan Wichers dkk. Menurut Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Hadi Purnomo SH,
penyusunan RUU sudah dimulai 12 tahun yang lalu. Tahun pertama,
dalam Seminar, Hukum ke II di Semarang, persoalannya juga sudah
diseminarkan: Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan prasaran para ahli hukum seperti Ny. Nani Razak
advokat) dan para pembahas Kadarusman (bekas Jaksa Agung dan
Sekjen Dept. Kehakiman), Surjadi (bekas Ketua Mahkamah Agung)
dan lain-lain, menurut Hadi Purnomo, merupakan "partisipasi
pihak ahli hukum non lembaga resmi" dalam rangka penyusunan RUU.
Naskah RUU pertama selesai dibuat akhir 1968. Berbagai pihak
resmi diundang untuk meneliti. Yaitu dari kalangan kepolisian,
kejaksaan, Departemen Kehakiman sendiri, sampai ABRI.
"Semua anggota tim bekerja sukarela tanpa imbalan uang atau
apapun, satu rupiah pun tidak, paling-paling jamuan kue-kue,"
kata Hadi Purnomo.
Hasilnya? Itulah, tim yang dipimpin Menteri Kehakiman, waktu itu
Prof. ocmar Seno Adji, baru dapat menyelesaikan tugasnya 5 tahun
kemudian. Ketika Mochtar Kusumaatmadja menjadi Menteri
Kehakiman, 1974, RUU sebenarnya sudah dikirim ke Sekretariat
Kabinet. Dari situ, menurut Hadi Purnomo, RUU masih "digarap"
lagi sampai 1977.
Menurut kalangan Komisi III, sesungguhnya, RUU sudah siap masuk
DPR-beberapa anggota telah membaca rancangannya -- ketika
Mochtar masih menjadi Menteri Kehakiman. "Yang saya tahu," kata
seorang anggota Komisi III, "rancangannya dari segi kepentingan
hak asasi manusia lebih baik daripada yang sekarang kita lihat."
Itulah sebabnya, lanjutnya, setelah beberapa "perisiwa" muncul
RUU perlu waktu untuk dirubah di sana-sini.
Hadi Purnomo membantah hal itu. Kelambatan, katanya, memang ada
hubungannya dengan "revisi dan revisi lagi." Tapi, lanjutnya,
"bukan karena ada perbedaan prinsipiil."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo