Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Merobah peninggalan 130 tahun

Herzien inlandsch reglement (hir) merupakan pembaharuan dari inlandsch reglement (ir) yang diundangkan tahun 1849 akan diganti dengan hukum acara pidana yang baru. ruu-nya selesai dibuat tahun 1968. (hk)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Hukum Acara Pidana yang baru nanti diusahakan adanya jaminan hukum dan kepastian hukum yang jelas bagi seseorang yang dikenakan tindakan hkum oleh aparat penegak bukum. --Pidato Presiden di muka DPR, 16 Agustus 1979. KAPAN? Jaksa Agung Ali Said SH dua bulan yang lalu pernah berjanji: Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana yang baru akan diajukan ke DPR "sesudah Lebaran". Nah. Presiden sudah bicara, dan Jaksa Agung sudah berjanji. Akan lahir sesuatu yang bersejarah: suatu Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nasional akan segera mengganti UU lama bikinan kolonial. Jadi anda jangan ragu dan bertanya benar nih, RUU-nya sudah siap? Tapi toh pertanyaan demikian tak terelakkan. Sebab, suatu UU yang "berhak-asasi manusia," pengganti hukum acara buatan penjajah, memang sudah sejak lama jadi janji yang lebih indah daripada kenyataannya. Ingat saja sejumlah ucapan yang diperdengarkan kepada para anggota Komisi III/DPR. Dalam suatu rapat kerja, Juni 1972, Menteri Kehakiman waktu itu, Prof. Oemar Seno Adji (sekarang Ketua Mahkamah Agung), berjanji tahun itu juga RUU yang mengatur hukum acara perkara pidana dapat dibahas para wakil rakyat. Eh, tidak jadi. Dua tahun kemudian, Juni 1974, janji yang sama diulang Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja (sekarang Menteri Luar Negeri) dua bulan setelah hari itu, katanya, RUU sudah akan diserahkan ke DPR melalui Presiden. Meleset lagi. Maka tak ada yang bisa diucapkan lagi oleh Ketua Komisi III, waktu itu Cosmas Batubara (yang kini Menteri Muda), selain bahwa semua pihak hanya bisa "kaok-kaok saja" tanpa mampu melahirkan UU Hukum Acara dan Hukum Pidana Nasional. Padahal hukum acara yang diatur oleh undang-undang lama yang sekarang berlaku, HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau dalam bahasa kita disebut RIB (Reglemen Indonesia yang Dibaharui), sudah dianggap ketinggalan zaman: hukum yang dibuat lebih 130 tahun yang lalu oleh penjajah tersebut tak layak lagi bagi bangsa yang sudah lebih 30 tahun merdeka. Memang, bangsa yang merdeka memerlukan hukum buatannya sendiri. Apa lagi ahli hukum dan Ketua Umum Peradin (organisasi advokat) S. Tasrif, misalnya pernah menyebut: "Keadaan dunia hukum kita masih merupakan rimba belukar." Sementara upaya menyianginya sangat lambat. Baik halhal yang menyangkut urusan pidana, maupun yang perdata, yang sehari-hari kelihatan di gedung pengadilan. Di sana misalnya, hakim kelihatan sangat "rajin" asyik memberondongi terdakwa dengan berbagai pertanyaan. Sementara jaksa, penuntut umum yang punya kewajiban membuktikan tuduhannya, boleh duduk bersandar pasif. Dan terdakwa pun hatinya ciut. Dan pembela, yang disewa maupun prodeo, kelihatan mukanya kecut. Sebab lawannya bukan lagi jaksa, tetapi hakim--yang memegang aturan main. Bukankah, dalam kata-kata Tasrif, keadaan itu menunjukkan "wasit yang ikut main lapangan"? Sebuah seminar tentang Hak-hak Asasi Manusia di Bandung, 1967, tak kurang pula mengecam prlakuan para penegak hukum di sini terhadap para pesakitan. Tersangka, katanya, tidak layak dipaksa memberi keterangan yang memheratkan dirinya. Tapi itu--ada juga yang bilang--bukan salahnya HIR yang "kolonialistis" itu. UU tersebut, menurut ahli hukum pidana dari Yogya, Nyonya Muljatno SH, memang sudah tua. Tapi di negeri asalnya, Belanda, toh pada pokoknya masih memadai: bukankah di sana hak asasi manusia cukup terjamin? Yang buruk bagi kita di sini, kata bekas hakim yang mengadili perkara Sum Kuning ini, adalah "pelaksanaannya yang tidak tertib." Penahanan juga semrawut. Kadang dalam bentuk menyekap tersangka secara berlarut-larut -- tanpa dipertimbangkan apa pula dosa si korban. Atau bahkan, penangkapan yang semena-mena oleh berbagai tangan. Artinya, tak uma polisi dan jaksa. Sementara itu yang sudah diatur oleh perundang-undangan pun, seperti tata cara pemeriksaan saksi, prakteknya bisa macam-macam. HIR atau RIB mengatur bahwa, hakim seharusnya memeriksa saksi lebih dulu sebelum mulai dengan terdakwa. Namun, yang menonjol mulai kasus pengadilan Tengku Hafas (wartawan Nusantara yang diadili 1971) sampai perkara Sawito belakangan ini, hakim selalu memulai pemeriksaan dengan terdakwa. ALASANNYA -- yang tak bisa diterima para ahli di luar pengadilan--ialah karena kebiasaan sudah demikian. Lalu bagaimana dengan hukum acara yang masih berlaku? Ada pula dalihnya: bukankah RIB itu hanya berlaku sebagai "pedoman" belaka? Memang betul. Ada undang-undang (UU Darurat No. 1/1951), yang,menyatakan "RIB seberapa mungkinarus diambil sebagai pedoman tentang acara pidana sipil ...." Jadi, konon, hukum acara itu boleh dipakai, boleh tidak. Sehingga sering anggota Komisi III/DPR beberapa kali minta pemerintah agar kata "pedoman" dicabut saja. Tapi ketika itu Prof. Oemar Seno Adji menjawab, lebih kurang tidak usah dicabut, toh tahun itu juga (1972) UU Hukum Acara Pidana yan baru bakal muncul. Ternyata meleset. Juga dua tahun berikutnya. Tapi kini, dari pernyataan Presiden Soeharto dan janji Jaksa Agung Ali Said SH, dalam bulan Syawal ini (Insya Allah) "angin segar" bisa diharap mulai bertiup. RUU-nya sendiri sudah banyak diketahui orang. Komentar-komentar pun agaknya sudah boleh diperdengarkan menjelang pembahasannya di DPR. Bukankah rakyat juga yang bakal "menikmatinya"? Apalagi persoalannya cukup serius. Itu dapat dilihat dari lamanya ikhtiar memperbaharui undang-undang yang bermula di tahun 1848 ini. Hanya 23 bulan setelah turun perintah Raja Belanda, 5 April 1848, RUU Inlandsch Reglement telah diterima dan diumumkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di sini. Rancangannya disusun oleh tim Jhr. Mr. Wichers yang sengaja dikirim ke mari oleh raja membantu sang Gubernur Jenderal. Tak sampai « tahun berikutnya, 29 September 1849, IR sudah dicanangkan sebagai undang-undang. Dalam waktu- singkat "hukum kapal", ramuan hukum Belanda kuno dengan hukum Romawi yang berlaku di pusat VOC, digantikan dengan yang baru. Begitu cerita penyusun buku RIB, pensiunan polisi M. Karjadi. Undang-undang "buatan" Wichers tersebut ternyata awet. Hampir seratus tahun kemudian, 1941, barulah dirasakan perlu pembaharuan. Yaitu acara penuntutan bagi golongan Eropa (Raad van Justitie) dan Bumiputera (Landraad). Kemudian, pada tahun yang sama IR diperbaharui menjadi Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau disebut Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB). Perbedaan kedua hukum acara untuk Bumiputera dan Eropa, masih tetap dipertahankan - karena tujuan pembaharuan tersebut memang bukan untuk mencapai kesatuan Hukum Acara Pidana. Kemudian, dengan UU Darurat No. 1/1951, dengan berbagai perubahan & tambahan RIB dipakai sebagai pedoman Hukum Acara Pidana. Namun, asal tahu saja, beberapa ketentuan yang menyangkut hak asasi serta jaminan bagi seseorang yang tersangkut perkara pidana --yang dulu diberlakukan bagi kulit putih--tidak lagi tercantum sebagai pedoman. Misalnya Hakim Komisaris yang diperlukan sebagai lembaga pengontrol penahanan. Juga tidak ada aturan tentang bantuan hukum dan hak berhubungan dengan keluarga selama tersangka dalam tahanan. Ketinggalan dan kekurangan hukum acara pidana cukup menimbulkan kekisruhan: penangkapan dan penahanan semena-mena atau proses peradilan yang dianggap semrawut. Pokoknya, begitu penjelasan RUU Hukum Acara Pidana, yang diperlukan sekarang sebuah UU Hukum Acara Pidana Nasional "yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945." Hanya, untuk menyusunnya, kenyataannya tak bisa secepat yang dilakukan Wichers dkk. Menurut Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Hadi Purnomo SH, penyusunan RUU sudah dimulai 12 tahun yang lalu. Tahun pertama, dalam Seminar, Hukum ke II di Semarang, persoalannya juga sudah diseminarkan: Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan prasaran para ahli hukum seperti Ny. Nani Razak advokat) dan para pembahas Kadarusman (bekas Jaksa Agung dan Sekjen Dept. Kehakiman), Surjadi (bekas Ketua Mahkamah Agung) dan lain-lain, menurut Hadi Purnomo, merupakan "partisipasi pihak ahli hukum non lembaga resmi" dalam rangka penyusunan RUU. Naskah RUU pertama selesai dibuat akhir 1968. Berbagai pihak resmi diundang untuk meneliti. Yaitu dari kalangan kepolisian, kejaksaan, Departemen Kehakiman sendiri, sampai ABRI. "Semua anggota tim bekerja sukarela tanpa imbalan uang atau apapun, satu rupiah pun tidak, paling-paling jamuan kue-kue," kata Hadi Purnomo. Hasilnya? Itulah, tim yang dipimpin Menteri Kehakiman, waktu itu Prof. ocmar Seno Adji, baru dapat menyelesaikan tugasnya 5 tahun kemudian. Ketika Mochtar Kusumaatmadja menjadi Menteri Kehakiman, 1974, RUU sebenarnya sudah dikirim ke Sekretariat Kabinet. Dari situ, menurut Hadi Purnomo, RUU masih "digarap" lagi sampai 1977. Menurut kalangan Komisi III, sesungguhnya, RUU sudah siap masuk DPR-beberapa anggota telah membaca rancangannya -- ketika Mochtar masih menjadi Menteri Kehakiman. "Yang saya tahu," kata seorang anggota Komisi III, "rancangannya dari segi kepentingan hak asasi manusia lebih baik daripada yang sekarang kita lihat." Itulah sebabnya, lanjutnya, setelah beberapa "perisiwa" muncul RUU perlu waktu untuk dirubah di sana-sini. Hadi Purnomo membantah hal itu. Kelambatan, katanya, memang ada hubungannya dengan "revisi dan revisi lagi." Tapi, lanjutnya, "bukan karena ada perbedaan prinsipiil."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus