Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Merongrong SDSB, merongrong ...

Tjioe giok nio, 34, koo tek djong, 31, ahmad sogol, 45, & oei ten ming, 35, diajukan ke pengadilan. mereka dituduh melanggar uu antisubversi karena menjalankan judi buntut yang membonceng peredaran ksob & tssb.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALI ini giliran judi buntut "ditembak" subversi. Tiga orang bandar judi buntut di Semarang, Nyonya Tjioe Giok Nio (34 tahun), Koo Tek Djong (31), dan Amat Sogol (45), pekan-pekan ini diseret ke pengadilan dengan tuduhan -- tak kepalang tanggung -- melanggar undang-undang antisubversi. Nasib serupa juga menimpa seorang bandar judi buntut di Yogyakarta, Oei Ten Ming alias Miming, 35 tahun, yang akan disidangkan pada pekan-pekan depan. Pada akhir Januari lalu Nyonya Nio, Djong, dan Sogol ditangkap petugas Tim Operasi 812 (tim pemberantas judi buntut) di rumah masing-masing. Mereka, secara terpisah, diduga sejak 1987 telah menjalankan "bisnis" judi buntut gelap, membonceng undian resmi KSOB dan TSSB -- dulunya Porkas -- yang kini berganti nama menjadi SDSB. Di persidangan pertama, Kamis pekan lalu, ketiga terdakwa hanya mengaku sebagai bandar "kelas teri". Sebab itu, mereka menyatakan tak mampu membayar jasa pengacara. "Saya tak punya uang," ucap Nyonya Nio, yang bertubuh kurus dan bersandal jepit di Pengadilan Negeri Semarang. Padahal, ketiga terdakwa yang diancam hukuman mati itu, menurut hukum acara, harus didampingi pembela. Maka, majelis hakim yang diketuai Soehoedi terpaksa menunda sidang selama seminggu untuk memberi kesempatan kepada mereka mencari pembela gratis. Tindakan pemerintah mensubversikan para bandar lotere buntut itu hanyalah tindak lanjut Instruksi Presiden 8 Desember silam. Pada waktu itu Presiden sudah mengklasifikasikan pengedaran lotere buntut -- sesuai dengan Keppres 133/1965 -- sebagai tindak pidana subversi, dan karenanya harus diberantas sampai tuntas. Kegiatan gelap lotere buntut ketika itu memang sudah mengganggu peredaran undian resmi SDSB -- yang sudah menjadi hajat nasional. Sejak masa Porkas, KSOB, dan TSSB, yang menghasilkan dana sampai Rp 110 milyar untuk kegiatan olahraga, para bandar buntut gelap selalu mencantolkan "bisnis"-nya pada undian resmi itu. Celakanya, di pasaran, para konsumen dari kelas bawah lebih menyukai lotere buntut, yang diundi berdasarkan dua angka terakhir dari nomor undian SDSB tadi. Tak seperti undian SDSB, yang berharga Rp 1.000 sampai Rp 5.000 kupon buntut gelap cukup dengan Rp 50 atau Rp 100 saja. Berdasarkan Instruksi Presiden itu, lewat Operasi 812 yang dikoordinasikan Jaksa Agung, sekitar 100 nama bandar judi buntut di seluruh Indonesia dipanggil kejaksaan tinggi masing-masing. Selain Kejaksaan Agung, Polri -- lewat Operasi Balak Candi -- juga melakukan operasi serupa. Nyonya Nio, Djong, dan Sogol termasuk di antara para bandar yang terjaring Operasi 812 itu. Sebulan setelah mereka, atau pada Februari lalu, markas judi buntut Miming di Jalan Brigjen. Katamso, Yogyakarta, juga digerebek petugas. Miming, yang awal April lalu menjadi WNI -- sebelumnya ia warga negara Taiwan -- diduga sejak 1987 telah menjadi bandar judi buntut gelap. Diperkirakan bahwa Miming, yang mempunyai daerah peredaran di Yogyakarta dan Jawa Tengah, beromset sekitar Rp 72 juta per minggu. "Bisnis" Miming, yang mengedarkan kupon putih bergambar stupa, semar, atau kobra seharga Rp 50 atau Rp 100, terbilang rapi. Para agen, misalnya, tak saling kenal dan tak berhubungan langsung dengan Miming. Mereka hanya bisa berkomunikasi dengan dua orang tangan kanan sang bandar. "Organisasi dan cara kerjanya memang rapi," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Soehardjo. Kendati begitu, tepatkah mereka dituduh subversi? Bekas Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno Adji, tetap berpendapat bahwa undang-undang subversi hanya bisa digunakan untuk kejahatan yang mempunyai political background, political motivation. "Dulu undang-undang itu pernah mau diterapkan dalam kasus suap sepak bola. Sekarang malah untuk tindak pidana ekonomi, bahkan judi buntut," katanya. Sementara itu, Prof. Padmo Wahjono menilai, sebaiknya pemerintah dan lembaga legislatif merumuskan kembali penafsiran delik subversi. "Sekarang ini pengertian subversi jadi meluas. Karena ancaman hukumannya amat berat, bisa digunakan untuk segala kasus, seperti kunci Inggris saja," kata Deputi BP-7 itu. Akibatnya, menurut Padmo, justru banyak terdakwa bisa lolos. "Terdakwanya sudah diancam subversi, tapi lolos juga. Kan orang jadi apatis atau skeptis. Tidak ada lagi senjata pamungkasnya," ujar Padmo. Dekan FH Undip Semarang, Dr. Muladi, menggangap para bandar buntut itu lebih tepat dijaring dengan pasal judi dalam KUHP atau Undang-Undang Perjudian Tahun 1974. Kelemahan undang-undang itu selama ini, menurut Muladi, hanyalah dalam hal vonis hakim. Dalam banyak kasus judi, hakim sering menghukum terdakwa hanya dengan hukuman di bawah 1 tahun penjara. "Kini apa tidak lebih baik jika undang-undang itu saja yang diefektifkan?" tanyanya. Sebaliknya, Jaksa Agung Sukarton menilai kegiatan judi buntut gelap sudah terhitung sabotase ekonomi yang merongrong perekonomian neara. "Titik berat pembangunan kan di bidang ekonomi. Siapa saja yang merongrong perekonomian negara, langsung ataupun tidak, bisa dikategorikan subversi," ujar Sukarton. Menurut Sukarton, subversi tidak harus untuk perkara yang berlatar belakang politik. Tapi termasuk juga untuk kejahatan di bidang ekonomi. Pihaknya, katanya, berwenang menggunakan undang-undang subversi untuk mengadili pelaku judi buntut itu, kendati Keppres 133/1965 dilahirkan di zaman Orla. "Kan peraturan perundang-undangan itu masih berlaku, jelas aturan itu masih mengikat," ujarnya. Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Soehardjo, juga menganggap tuduhan subversi terhadap bandar buntut sudah tepat. "Masyarakat kan sudah tahu, kehadiran SDSB itu merupakan politik pemerintah. Jika kemudian ada orang yang merongrongnya, dengan cara membonceng kehadiran SDSB, jelas sama dengan merongrong kebijaksanaan pemerintah," katanya.Happy S., Diah P. (Jakarta), Nanik I. (Semarang), Aries M. (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus