Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MBOK Tinul, 35 tahun, mimpi buruk ada bayi mencakar wajahnya.
Bayi berumur tiga bulan itu, Muhammad Krida, anaknya sendiri.
Mbok Tinul gelagapan. Esok harinya, dari Desa Ngrajeg ia menuju
sebuah rumah di Kebonpolo, Magelang, Jawa Tengah. Ia meraung,
sebab anaknya yang ketujuh itu tak ada di sana. Ibu angkat si
anak, Tat alias Har bilang Krida sudah meninggal.
Padahal belum sebulan anak itu diserahkan. Bahkan disaksikan
lurah dan pamong Desa Ngrajeg lainnya, lengka, dengan berita
acara serah terima. Isinya menyebut, Tat bersama "suaminya" Mu
alias Mul, akan merawat anak angkatnya dengan baik. Tanpa syarat
itu, mbok Tinul dan suaminya Subani, 40 tahun, tak rela anaknya
diboyong meski mendapat uang terima kasih Rp 40 ribu.
Dikabari anaknya meninggal, mbok Tinul penasaran. Ia punya
firasat buruk, dan segera mengadu kepada kepala desanya. Polisi
akhirnya ikut turun tangan, karena mencium ada yang tak beres.
Betul juga. Pertengahan Oktober 1982, dua orang wanita, Kap dan
Sud tertangkap di terminal bis Semarang. Mereka menggendong bayi
laki-laki berumur tiga bulan dan bayi perempuan berumur 10 hari.
Sedianya kedua bayi itu hendak dibawa ke Jakarta untuk 'dijual'.
Disebut-sebut nama Yayasan Bunda Kasih di Jatinegara Timur dan
sebuah yayasan lagi di bilangan Cawang, keduanya di Jakarta
Timur. Kepada polisi mereka mengaku, "begitu sampai, sudah ada
yang menjemput." Ternyata yayasan itu, "tak terdaftar di
instansi kami," kata Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Timur,
Mochtar.
Setelah diusut bayi lelaki itu ternyata anak Siti Hindasah dari
Desa Drimas, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang. Bayi itu
hasil hubungan gelap. Si orok wanita adalah anak Sugiarti alias
Suwuh, 20 tahun, penduduk Kampung Bogeman Timur, Kotamadya
Magelang. Orok itu diberikan kepada Nyonya Botok, kini masih
buron, dengan persetujuan nenek si bayi dengan imbalan Rp 50
ribu. Dan seperti halnya bayi mBok Tinul, kedua bayi itu
akhirnya jatuh ke tangan Mu alias Mul, penduduk Ambarawa.
Kap dan Sud memang tak bekerja sendiri. Boleh dibilang ia cuma
kaki tangan. Bersama mereka, kini ada lima tersangka lain
ditangkap. Seorang di antaranya pria. Dua orang ditahan di
Koresta 971. Lainnya di Kores 972, keduanya di Magelang. Mereka
diduga tersangkut dalam perkara jual beli empat orang bayi.
Sayangnya, Mul dan Tat yang di duga otak bisnis bayi itu masih
buron. Ternyata mereka bukan suami-istri.
Tapi diharap keduanya tertangkap tak lama lagi, sebab
identitasnya sudah diketahui. "Bila otaknya sudah tertangkap,
baru kasus ini bisa tuntas," kata Letkol Pol. Kasbullah,
Komandan Resta 971.
Perkara jual beli bayi memang cukup menggelisahkan orang tua,
yang sudah telanjur menyerahkan anaknya. Sebab. kata Letkol.Pol.
Soebagyo Wiropati, Dan Res 972, "mereka sebetulnya tak bermaksud
menjual bayinya." Orang tua tak mampu itu, yang menjadi sasaran
pemburu bayi, dengan ikhlas menyerahkan bayi pada orang lain,
agar mendapat perawatan yang baik. Hanya masalahnya, menurut
Soebagyo, "oleh yang mengaku akan menjadi orang tua angkat, bayi
lalu diperjualbelikan"
Sebuah sumber di Magelang men butkan, bahwa "perdagangan" bayi
memang cukup menggiurkan. Sampai di Jakarta, kata sumber itu,
seorang bayi laki-laki bisa laku Rp 150 ribu . Dan entah
mengapa, bayi perempuan bisa lebih tinggi, Rp 200 ribu. Tak
heran bila si pemburu bayi, berani memberikan "uang terima
kasih" bagi orangtuanya sampai Rp 50 ribu. Ditambah pengeluaran
untuk para perantara--yang biasanya cukup banyak--biaya
seluruhnya paling tinggi Rp 100 ribu. Itu sudah termasuk ongkos
mengantar bayi sampai ke tempat tujuan.
Tak hanya di Magelang dan sekitarnya ada kasus jual beli bayi.
Tahun 1980 lalu, Abdullah dan istrinya Patri'in diganjar
masing-masing 18 bulan dan setahun penjara oleh Pengadilan
Negeri Pekalongan. Bersama Mudaiyah dan Kasturi, keduanya juga
dihukum setahun penjara karena terbukti memperjualbelikan bayi.
(TEMPO, 19 Januari 1980).
Tahun 1978, bayi dari suami istri Yap Bie Kang yang lenyap dari
Klinik Bersalin dr. Lie Sek Hong. Medan, diketahui telah
diperjualbelikan. Untung bayi itu akhirnya bisa ditemukan. Tapi
tahun lalu, kasus jual beli bayi ramai lagi di Medan. Nyonya
Martina yang tak mampu membayar ongkos persalinan, menyerahkan
bayinya pada seorang oknum polisi dengan imbalan Rp 350 ribu.
Ternyata bayi itu kemudian berpindah tangan beberapa kali.
Tentunya disertai perputaran sejumlah uang pula. Tapi sebegitu
jauh belum diketahui kaitan jual beli bayi itu dengan orang
tua-orang tua angkat di luar negeri--seperti yang pernah terjadi
di Jakarta dan Surabaya.
Umumnya kasus jual beli bayi memang mempunyai mata rantai yang
panjang. Tengok saja bayi mbok Tinul: Mu alias Mul mula-mula
menghubungi kakaknya sendiri, Nyonya Tar. Dia ini lalu mengontak
ipar Mu, Nyonya Kap --yang tertangkap di Semarang itu. Kap minta
bantuan Tat (yang mengaku istri Mul). Seterusnya ada Sus, Sit
dan Sur alias Ting. Nah, Ting inilah yang membujuk rayu Subani
hingga istrinya, mbok Tinul, merelakan anaknya. Syukurlah,
Muhammad Krida kini sudah kembali ke pangkuannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo