Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mimpi itu masih sering datang

Korban penumpang tampomas ii yang hidup masih terkenang kejadian mengerikan ketika tenggelamnya km. tampomas ii. (hk)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJADIAN mengerikan itu memang sudah lama berlalu. Tapi "kami masih sering mimpi dan istri saya masih sering menangis kalau malam," ujar H. Mochamad Yunus, seorang pedagang ikan asin di Tanjungpriok, Jakarta, yang ikut menumpang KM Tampomas II ketika terjadi kecelakaan mengerikan itu. "Tak terasa sudah hampir dua tahun yang lalu, ya," ucap Yunus, 48 tahun, seperti mencoba mengingat kembali pengalaman pahit itu. Tangannya serta merta gemetar ketika ia memulai kembali cerita yang sudah dua tahun mengganggu hidupnya. Waktu itu, ia bersama istri dan empat anaknya--tertua 13 tahun dan yang terkecil 1 bulan--pulang kampung ke Bone Sulawesi Selatan. "Sebelum kapal berangkat saya rasanya sudah mendapat firasat. Seandainya keberangkatan kapal ketika itu ditunda, saya sudah memutuskan untuk membatalkan pulang kampung tahun itu," ujarnya seperti menyesali diri. Ia tidak ingat persis tanggal kejadian. Tapi seingatnya ketika kapal itu terbakar siang hari, ia terjun ke laut menggandeng istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Setelah tujuh jam terapung-apung di perairan Masalembo, Yunus ditolong oleh kapal Istana VI. Ia tidak tahu lagi di mana anak istrinya. Belakangan ia bertemu dengan istri dan seorang anak perempuannya berumur 8 uhun. Tapi tiga anaknya yang lain hilang, termasuk bayinya. Satu-satunya mayat yang kemudian dikenali sebagai anaknya adalah bayi itu. Dan anak bungsunya itu dikuburkannya di Ujungpandang. Dua anaknya yang lain tidak bisa dipastikannya hidup atau mati, sampai sekarang. Salah satu di antaranya Supardi anaknya yang tertua. "Ia keiihatannya waktu itu masih hidup dan terapung-apung," ujar Yunus. Sebab itu, Yunus dan istrinya masih mengharapkan anaknya itu kembali sampai saat ini. Ia berharap anak itu sekarang tengah dipelihara di pulau-pulau antara Sulawesi dan Jawa itu. Supardi pulalah yang sering muncul dalan- mimpi kedua suami istri itu. "Kalau saya tidak lari ke agama, otak saya sudah miring," ujar Yunus. Ia sudah mendapatkan santunan atas kematian keluarganya itu. Nasib yang dialami Yunus memang pahit, tapi lebih getir lagi hidup Drs. Rusdin Abdurachim. Sembilan anggota keluarganya lenyap ditelan laut Masalembo itu. Mereka yang hilang itu terdiri dari istri Rusdin, tiga orang anaknya, dua cucu, dua iparnya, berikut dua anak kedua iparnya itu. Tak seorang pun yang berhasil ditemukan jenasahnya. Rusdin sekarang hidup menduda. Pegawai kantor Gubernur Sul-Sel itu masih terhibur dengan lima anaknya yang tidak ikut menumpang kapal naas itu. Tapi "saya masih mengharapkan mereka kembali," ujarnya. Harapan itu disebabkan ia tidak pernah melihat mayat keluarganya itu. "Kalau mereka mati, saya tidak lihat mayatnya, kalau mereka hidup entah di mana. Entahlah, saya hidup di dua alternatif yang kabur," kata Rusdin lagi. Toh ia sudah menerima asuransi sebanyak Rp 2,5 juta dari Pelni atas musibahnya itu. Satu-satunya yang disesalkan Rusdin kini, biasanya istri - dan anak-anaknya tidak naik kapal laut ke Jakarta tapi dengan pesawat udara. Cuma karena ada tawaran gratis dari temannya di Pelni ketika itu yang mempromosikan kapal baru itu, Rusdin mengizinkan sebagian keluarganya berangkat. Waktu kejadian itu saya sedih sekali, setelah saya kembali ke agama baru saya menemukan diri saya kembali," kata Rusdin. Tak hanya Rusdin bernasib begitu. Puluhan bahkan ratusan lainnya kehilangan orang yang dikasihinya. Atau kehilangan kepala keluarga yang menghidupinya. Ketika sidang Tampomas dimulai Agustus lalu, banyak keluarga korban yang menghadiri sidang. Di antara mereka ada yang hilang ingatan karena kejadian itu. Toh, Yunus dan Rusdin tidak protes atas pengumuman Jaksa Agung Ismail Saleh tentang tidak akan disidangkannya, perkara tenggelamnya kapal Tampomas. "Kalau bisa ya diselesaikan secara tuntas," kata Yunus berharap. Rusdin lebih halus lagi, "kalau pemerintah menganggap tidak usah disidangkan, tentu ada dasar-dasarnya," kata Rusdin. Tapi tidak semua orang bersikap seperti itu, tentunya. "Menuruti ajaran Kristen, saya sudah merelakan kematian kakak saya dan istrinya," kata Nyonya Lucky Tetelepta. Kedua kerabatnya itu juga hilang dalam musibah itu. Seorang anak almarhum menjadi yatim piatu. "Tapi secara hukum perkara itu harus diselesaikan sampai tuntas," lanjut Nyonya Lucky.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus