KEJADIAN mengerikan itu memang sudah lama berlalu. Tapi "kami
masih sering mimpi dan istri saya masih sering menangis kalau
malam," ujar H. Mochamad Yunus, seorang pedagang ikan asin di
Tanjungpriok, Jakarta, yang ikut menumpang KM Tampomas II ketika
terjadi kecelakaan mengerikan itu. "Tak terasa sudah hampir dua
tahun yang lalu, ya," ucap Yunus, 48 tahun, seperti mencoba
mengingat kembali pengalaman pahit itu.
Tangannya serta merta gemetar ketika ia memulai kembali cerita
yang sudah dua tahun mengganggu hidupnya. Waktu itu, ia bersama
istri dan empat anaknya--tertua 13 tahun dan yang terkecil 1
bulan--pulang kampung ke Bone Sulawesi Selatan. "Sebelum kapal
berangkat saya rasanya sudah mendapat firasat. Seandainya
keberangkatan kapal ketika itu ditunda, saya sudah memutuskan
untuk membatalkan pulang kampung tahun itu," ujarnya seperti
menyesali diri.
Ia tidak ingat persis tanggal kejadian. Tapi seingatnya ketika
kapal itu terbakar siang hari, ia terjun ke laut menggandeng
istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Setelah tujuh jam
terapung-apung di perairan Masalembo, Yunus ditolong oleh kapal
Istana VI. Ia tidak tahu lagi di mana anak istrinya. Belakangan
ia bertemu dengan istri dan seorang anak perempuannya berumur 8
uhun. Tapi tiga anaknya yang lain hilang, termasuk bayinya.
Satu-satunya mayat yang kemudian dikenali sebagai anaknya adalah
bayi itu. Dan anak bungsunya itu dikuburkannya di Ujungpandang.
Dua anaknya yang lain tidak bisa dipastikannya hidup atau mati,
sampai sekarang. Salah satu di antaranya Supardi anaknya yang
tertua. "Ia keiihatannya waktu itu masih hidup dan
terapung-apung," ujar Yunus. Sebab itu, Yunus dan istrinya masih
mengharapkan anaknya itu kembali sampai saat ini. Ia berharap
anak itu sekarang tengah dipelihara di pulau-pulau antara
Sulawesi dan Jawa itu. Supardi pulalah yang sering muncul dalan-
mimpi kedua suami istri itu. "Kalau saya tidak lari ke agama,
otak saya sudah miring," ujar Yunus. Ia sudah mendapatkan
santunan atas kematian keluarganya itu.
Nasib yang dialami Yunus memang pahit, tapi lebih getir lagi
hidup Drs. Rusdin Abdurachim. Sembilan anggota keluarganya
lenyap ditelan laut Masalembo itu. Mereka yang hilang itu
terdiri dari istri Rusdin, tiga orang anaknya, dua cucu, dua
iparnya, berikut dua anak kedua iparnya itu. Tak seorang pun
yang berhasil ditemukan jenasahnya.
Rusdin sekarang hidup menduda. Pegawai kantor Gubernur Sul-Sel
itu masih terhibur dengan lima anaknya yang tidak ikut menumpang
kapal naas itu. Tapi "saya masih mengharapkan mereka kembali,"
ujarnya. Harapan itu disebabkan ia tidak pernah melihat mayat
keluarganya itu. "Kalau mereka mati, saya tidak lihat mayatnya,
kalau mereka hidup entah di mana. Entahlah, saya hidup di dua
alternatif yang kabur," kata Rusdin lagi. Toh ia sudah menerima
asuransi sebanyak Rp 2,5 juta dari Pelni atas musibahnya itu.
Satu-satunya yang disesalkan Rusdin kini, biasanya istri - dan
anak-anaknya tidak naik kapal laut ke Jakarta tapi dengan
pesawat udara. Cuma karena ada tawaran gratis dari temannya di
Pelni ketika itu yang mempromosikan kapal baru itu, Rusdin
mengizinkan sebagian keluarganya berangkat. Waktu kejadian itu
saya sedih sekali, setelah saya kembali ke agama baru saya
menemukan diri saya kembali," kata Rusdin.
Tak hanya Rusdin bernasib begitu. Puluhan bahkan ratusan lainnya
kehilangan orang yang dikasihinya. Atau kehilangan kepala
keluarga yang menghidupinya. Ketika sidang Tampomas dimulai
Agustus lalu, banyak keluarga korban yang menghadiri sidang. Di
antara mereka ada yang hilang ingatan karena kejadian itu.
Toh, Yunus dan Rusdin tidak protes atas pengumuman Jaksa Agung
Ismail Saleh tentang tidak akan disidangkannya, perkara
tenggelamnya kapal Tampomas. "Kalau bisa ya diselesaikan secara
tuntas," kata Yunus berharap.
Rusdin lebih halus lagi, "kalau pemerintah menganggap tidak usah
disidangkan, tentu ada dasar-dasarnya," kata Rusdin.
Tapi tidak semua orang bersikap seperti itu, tentunya. "Menuruti
ajaran Kristen, saya sudah merelakan kematian kakak saya dan
istrinya," kata Nyonya Lucky Tetelepta. Kedua kerabatnya itu
juga hilang dalam musibah itu. Seorang anak almarhum menjadi
yatim piatu. "Tapi secara hukum perkara itu harus diselesaikan
sampai tuntas," lanjut Nyonya Lucky.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini