Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Secercah Harapan bagi Pengkritik Pemerintah

MK memberikan sedikit angin segar bagi pengkritik pemerintah dengan mengabulkan sebagian uji pasal-pasal pencemaran nama.

22 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemohon Haris Azhar hadir dalam Sidang Pengucapan Putusan Uji Materi Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Maret 2024. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • MK mengabulkan sebagian gugatan uji materiil pasal-pasal pencemaran nama.

  • Pasal-pasal itu kerap digunakan untuk membungkam para pengkritik pemerintah.

  • Meskipun demikian, sebagian pihak menilai masih ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materiil soal pasal pencemaran nama disambut baik oleh berbagai kalangan. Meskipun gugatan itu hanya dikabulkan sebagian oleh MK, hal ini dinilai telah mempersulit upaya kriminalisasi terhadap masyarakat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gugatan itu diajukan oleh pendiri Yayasan Lokataru, Haris Azhar; eks Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti; Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo menghapus Pasal 14 dan 15 UU Peraturan Hukum Pidana. Selain itu, MK mengubah Pasal 310 KUHP dan menolak gugatan terhadap dua pasal dalam UU ITE. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 21 Maret 2024.

Hakim konstitusi Arsul Sani menyatakan MK menolak uji materiil terhadap Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 3 UU ITE karena Haris serta Fatia mengajukan undang-undang lama dengan Nomor 19 Tahun 2016. Padahal UU ITE itu telah digantikan dengan UU ITE Nomor 1 Tahun 2024. “Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 2016 telah kehilangan obyek, maka permohonan para pemohon terhadap pengujian pasal tersebut tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” kata Arsul.

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mengajukan uji materiil ini pada September tahun lalu, setelah mereka terseret ke meja hijau karena dituding mencemarkan nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka terjerat hukum karena membuat video yang membahas hasil penelitian keterlibatan sejumlah pejabat negara dalam pertambangan dan tragedi hak asasi manusia (HAM) di Papua. Video itu diunggah di kanal YouTube Haris. Beruntung bagi keduanya, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memberi vonis bebas pada 8 Januari lalu. 

Haris menilai penggunaan pasal-pasal ini berbahaya bagi demokrasi. Berkaca dari kasus yang menjeratnya, menurut Haris, aparat penegak hukum bisa menggunakan pasal-pasal itu meskipun materi yang disebarkan tidak berbau pencemaran nama. Menurut dia, pasal-pasal ini bahkan sudah ratusan kali dipakai dan menjerat banyak orang. "Setelah pasal ini dipakai, tidak pernah ada orang yang mengajukannya ke MK," katanya setelah mengikuti sidang putusan di MK. 

Senada dengan Haris, Fatia pun memuji putusan MK yang menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana tidak berkekuatan hukum mengikat. Menurut dia, kedua pasal tersebut berbahaya karena bisa memidanakan para pengkritik pemerintah dan pejabat publik. "Pasal 14 dan 15 ini hukumannya berat. Jadi itu berbahaya buat berekspresi, berkumpul, dan berdemonstrasi," kata Fatia. 

Dalam permohonannya, Haris dan Fatia menilai pasal-pasal tersebut telah menghambat dan mengkriminalisasi mereka sebagai pejuang hak asasi manusia serta pejuang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itu, menurut mereka, terbukti dari langkah aparat penegak hukum yang mendahulukan proses hukum terhadap mereka ketimbang menelusuri hasil penelitian yang mereka ungkap. Pasal-pasal tersebut, menurut mereka, menyediakan alat bagi aparat penegak hukum untuk tak mempertimbangkan apakah hal yang mereka ungkapkan adalah fakta atau fitnah.

Soal penolakan MK terhadap pasal UU ITE, Haris menyatakan sudah menduganya sejak awal. “Kami sudah menduga ketika pada awal tahun UU ITE yang baru dikeluarkan, konsekuensinya permohonan di MK menjadi tidak relevan diperiksa dan diputus,” kata Haris.

Tak hanya bagi para pengkritik pemerintah, Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim ikut menyambut baik putusan MK tersebut. Pasalnya, selama ini banyak jurnalis yang terjerat perkara pencemaran nama dengan menggunakan Pasal 14 dan 15 UU Peraturan Hukum Pidana. "Ini berita baik untuk komunitas pers," tuturnya seusai pembacaan putusan.

Pemohon Haris Azhar hadir dalam Sidang Pengucapan Putusan Uji Materi Pasal-pasal Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Maret 2024. TEMPO/Subekti

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin menyambut baik putusan MK tersebut karena selama ini masyarakat dibuat takut dan khawatir akan dijerat pidana dengan adanya pasal-pasal karet seperti itu. “Selama ini pasal-pasal itulah yang menghambat kebebasan berekspresi. Pasal ini dinilai sebagai pasal karet yang dianggap sebagai penyerang balik pengkritik,” katanya. 

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) mengungkapkan sepanjang 2023 sedikitnya ada 56 kasus pidana yang menggunakan pasal-pasal yang digugat di MK ini. Sebanyak 48 kasus menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, dua kasus menggunakan Pasal 45 ayat 3 UU ITE, tiga kasus menggunakan Pasal 14 dan 15 UU Peraturan Hukum Pidana, serta tiga kasus menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP. “Dalam beberapa kasus, juga banyak yang dilapis. Misalnya Pasal 14-15 atau 310/311 KUHP dengan UU ITE,” kata Direktur Eksekutif SAFENet Nenden Sekar Arum.

Nenden mengatakan, dengan adanya putusan MK yang mengabulkan pengubahan pasal-pasal pencemaran nama itu, diharapkan memberikan angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. “Hal ini perlu disambut baik, dan sesuatu yang cukup positif,” kata Nenden.

Namun Nenden menyatakan putusan tersebut masih harus dikawal. Alasannya, menurut dia, aparat penegak hukum kerap melanggar putusan MK dengan alasan tidak mengetahui adanya putusan tersebut. “Aparat penegak hukum itu kadang enggak tahu bahwa ada putusan MK itu. Ini pekerjaan rumahnya,” katanya.

Ketua YLBHI M. Isnur pun menilai implementasi putusan MK ini merupakan tanggung jawab pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut dia, pemerintah dan DPR harus memulai pembahasan untuk menghapus pasal-pasal yang mengadopsi nilai inkonstitusional itu. “Itu tugas pertama pemerintah dan DPR,” ucapnya.

Selain kepolisian dan kejaksaan, kata Isnur, lembaga peradilan sudah harus menghentikan seluruh proses hukum yang menggunakan pasal-pasal tersebut. Lembaga peradilan, menurut dia, bisa menyatakan gugatan yang menggunakan pasal itu tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO). “Yang menggunakan pasal-pasal ini harus dihentikan prosesnya,” kata Isnur.

Isnur menambahkan, putusan MK ini merupakan gambaran proses demokrasi yang sehat serta mampu menghindari strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau upaya pembungkaman terhadap masyarakat sipil. “Ini sinyal kuat dari MK agar pemerintah tidak lagi melakukan SLAPP,” ujarnya.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | IKHSAN RELIUBUN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter di desk Hukum dan Kriminal yang menulis isu seputar korupsi, kriminal, dan hukum.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus