Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta Jakarta - Ketua DPP Partai Hanura Benny Ramdhani mengatakan Mahkamah Konstitusi atau MK keliru menafsirkan pekerjaan lain anggota DPD dalam Pasal 128 huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini menyebutkan seorang anggota DPD tidak boleh memiliki pekerjaan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"MK secara ceroboh, keliru seribu persen menafsir (dan) secara sepihak," ujar Benny di rumah Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang, Kuningan, Jakarta pada Selasa, 24 Juli 2018.
MK mengabulkan permohonan terhadap pengujian Pasal 128 huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945. Dalam putusan itu, disebutkan bahwa anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik karena akan menyebabkan representasi ganda.
Keputusan MK itu mengacu pada Pasal 22D UUD 1945 yang mana anggota DPD merupakan representasi daerah, sedangkan partai politik telah memiliki representasi di DPR.
Jika ada pengurus partai yang menjadi anggota DPD, ia akan menjadi representasi daerah sekaligus partai politik. Representasi ganda semacam ini, menurut hakim MK, Anwar Usman, menyebabkan produk legislasi bakal semata-mata berada di tangan pengurus partai.
Benny berpendapat posisi sebagai pengurus partai tak termasuk dalam frasa pekerjaan lain yang dimaksud MK. Menurut dia, frasa pekerjaan lain ini lebih tepat diartikan pada profesi pekerjaan yang dibayar.
"Pekerjaan yang karena keahliannya dia kemudian dibayar atau mendapatkan upah atas pekerjaannya," kata Wakil Ketua Komite I DPD RI ini.
Benny pun mencontohkan beberapa profesi itu antara lain bisa sebagai dokter, advokat, atau notaris. Menurut dia, jabatan pengurus partai tidak termasuk ke contoh pekerjaan.
"Setiap orang yang ada di kepengurusan partai itu adalah pengabdian dan tidak ada pengurus partai yang dibayar oleh partai," ucapnya.
Simak juga:
Menurut Benny, dengan putusan seperti ini MK telah melahirkan norma baru atas interpretasinya. Hal ini, kata dia, membuat MK seakan-akan melahirkan norma baru yang menjadi kewenangan legislatif.
"MK telah keluar dari kewenangnya yang disebut dengan ultra petita, mengambil suatu keputusan di luar kewenangan," tuturnya.
SYAFIUL HADI | INDRI MAULIDAR