Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi menahan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id Diananta Putra Sumedi.
Sempat ikut membagikan tautan berita, narasumber mendadak balik badan.
Dewan Pers memutuskan tanggung jawab pemberitaan juga dipikul pihak Kumparan.
AWALNYA Diananta Putra Sumedi mewawancarai Ketua Majelis Umat Kaharingan Sukirman dan sejumlah tokoh di kantor pengacara Bujino Adrianus Salan di Banjarmasin pada Jumat siang, 8 November 2019. Mereka sedang meriung di sana untuk mematangkan rencana pengaduan dugaan penyerobotan lahan adat di tiga desa di Kabupaten Kotabaru ke Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bujino, Diananta mewawancarai satu demi satu peserta pertemuan. Ia juga melihat Pemimpin Redaksi Banjarhits.id itu bertanya kepada Sukirman. “Dia mewawancarai Sukirman di luar ruangan pertemuan,” kata Bujino pada Kamis, 7 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil wawancara itu diturunkan dalam berita berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” di Banjarhits.id dan di Kumparan.com, mitra Banjarhits.id dalam program Kumparan 1001 Media Online, pada Jumat malam, pukul 19.00 waktu setempat. Pengujung artikel mengutip ucapan Sukirman soal potensi konflik antara suku Dayak dan Bugis akibat penyerobotan tersebut.
Artikel tersebut segera menyebar dan mendapat berbagai tanggapan. “Ramai di hari itu. Banyak orang Dayak yang merasa dibela,” ujar Bujino, yang juga menjabat Ketua Dewan Pengurus Daerah Forum Intelektual Dayak Nasional (FIDN) Kalimantan Selatan.
Esok siangnya, Sukirman dan para tokoh tersebut berkumpul kembali dalam acara silaturahmi FIDN. Diananta juga datang untuk meliput. Dalam laporan kronologi yang disampaikan kepada Dewan Pers, Diananta menyebutkan Sukirman tak menyampaikan protes dalam pertemuan itu. Bujino mengatakan Sukirman malah memberi tanggapan bagus terhadap artikel yang ditulis Diananta. “Dia ikut membagikan tulisan itu ke media sosial,” kata Bujino. Seusai acara, Diananta menulis artikel baru berjudul “Dayak se-Kalimantan Akan Duduki Tanah Sengketa di Kotabaru”.
Arah angin mendadak berubah. Sukirman melaporkan artikel berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” ke polisi pada pertengahan November 2019. Sukirman menganggap Diananta keliru mengutip ucapannya. Ia khawatir artikel itu akan memicu konflik antarsuku di Kalimantan Selatan. Sukirman tak merespons panggilan telepon dan permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 9 Mei lalu.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Selatan memproses pengaduan Sukirman. Penyidik memeriksa Diananta pada bulan itu. Dalam pemeriksaan kedua pada 28 April lalu, polisi menetapkan Diananta sebagai tersangka penyebar ujaran kebencian. Ia dituduh melanggar Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hingga enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Polisi menahan Diananta setelah dia menjalani pemeriksaan ketiga pada Senin sore, 4 Mei lalu. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Selatan Komisaris Besar Mochamad Rifai beralasan Diananta ditahan karena penyidik khawatir dia akan membuat berita “negatif” lain.
Yang membuat posisi Diananta sulit: ia tak merekam pembicaraan dengan Sukirman. Sementara itu, polisi mengumpulkan sejumlah bukti dan keterangan saksi. “Ada keterangan dari ahli pers yang menyatakan berita di Banjarhits bukan produk jurnalistik,” ucap Rifai, Rabu, 6 Mei lalu.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya menyayangkan penahanan Diananta. Ia kaget proses ini berlanjut ke penahanan wartawan karena Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers tak menyebutkan sedikit pun soal konsekuensi pidana. “Ini tiba-tiba kok menjadi tersangka,” ujarnya.
PT Jhonlin Agro Raya mengadukan Banjarhits dan Kumparan ke Dewan Pers pada 11 November 2019. Mereka menganggap tiga artikel Banjarhits di Kumparan soal sengketa lahan di Kabupaten Kotabaru adalah informasi bohong dan mengandung fitnah. Wartawan Banjarhits juga dianggap tak berupaya meminta konfirmasi kepada PT Jhonlin.
Dewan Pers memeriksa para pihak pada 9 Januari lalu. Dewan Pers memutuskan artikel tersebut melanggar kode etik pada 5 Februari 2020. Berita Banjarhits di Kumparan dianggap tak berimbang dan membuat opini yang menghakimi. Tulisan itu juga disebut mengandung prasangka atas perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Namun Dewan Pers tak menimpakan kesalahan itu kepada Banjarhits saja. Dewan Pers menyatakan Kumparan adalah penanggung jawab ketiga artikel itu. “Notabene yang bertanggung jawab adalah Kumparan,” kata Agung.
Komisaris Besar Mochamad Rifai mengatakan salah satu pertimbangan penyidik memidanakan Diananta adalah Banjarhits tidak memiliki badan hukum. Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Pers mewajibkan perusahaan pers mendaftar ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Banjarhits bukan perusahaan pers,” ujarnya.
Polisi mendapatkan penjelasan tersebut dari Ketua Komisi Kompetensi Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat Kamsul Hasan. Namun, menurut Agung, Dewan Pers tak pernah merekomendasikan Kamsul sebagai ahli Dewan Pers ke Polda Kalimantan Selatan.
Mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta saat diperiksa di Polda Kalimantan Selatan/TEMPO/Fakhri Hermansyah
Kamsul membenarkan informasi ini. “Sudah saya jelaskan keterangan ahli itu tidak mewakili Dewan Pers karena surat penunjukan dari Dewan Pers belum turun,” katanya dalam pesan WhatsApp pada Jumat, 8 Mei lalu.
Menurut Rifai, penyidik juga mendapatkan informasi penayangan berita Banjarhits tidak melewati proses redaksi di Kumparan. Rifai mengatakan Kumparan tak bertanggung jawab terhadap berita yang dibuat Banjarhits. “Itu tercantum dalam perjanjian antara Banjarhits dan Kumparan,” ucap Rifai.
Salinan kontrak antara Kumparan dan salah satu mitra mereka yang diperoleh Tempo mencantumkan soal tanggung jawab tersebut dalam dua pasal. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan Kumparan tak bertanggung jawab terhadap konten pemberitaan, baik yang ditayangkan di situs mitra maupun di Kumparan. Pasal 9 ayat 5 menyebutkan Kumparan terbebas dari somasi, proses hukum, dan ganti rugi yang diterima mitra.
Dewan Pers menyoroti isi kontrak tersebut dalam Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Mereka merekomendasikan Kumparan mengubah pasal soal tanggung jawab berita di dalam perjanjian kerja sama dengan para mitra, situs berita lokal yang digandeng dalam Program Kumparan 1001 Media Online sebagai pengisi kanal di Kumparan.
Redaksi Banjarhits terdiri atas empat orang. Mereka menerima sejumlah fasilitas, seperti laptop dan uang operasional Rp 8 juta tiap bulan, dari Kumparan. Meski dikelola mandiri, pasal 10 ayat 6 perjanjian kerja sama itu menyebutkan Kumparan dapat mengambil alih operasional dan menggunakan nama perusahaan mitra.
Yang membuat posisi Diananta makin sulit: setelah dia dilaporkan ke polisi dan Dewan Pers, Kumparan menghapus berita yang dipersoalkan dari situsnya. Padahal penghapusan berita tak bisa sembarangan—perlu ada penjelasan di halaman yang beritanya dihapus. Kumparan juga memutus kontrak dengan Banjarhits pada Januari lalu.
Pemimpin Redaksi Kumparan Arifin Asydhad tak merespons panggilan telepon dan permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 9 Mei lalu. Seorang petinggi Kumparan menjelaskan duduk perkara kasus Diananta lewat sambungan telepon pada Jumat, 8 Mei, tapi menolak namanya disebut dan pembicaraannya dikutip.
Pengacara PT Jhonlin saat melapor ke Dewan Pers, Amran Alimuddin, mengatakan kliennya memang mengadukan pemberitaan tersebut. PT Jhonlin dan kuasa hukum dua kali mengikuti pertemuan di Dewan Pers. Ia menolak mengomentari lagi perkara tersebut karena tak lagi menjadi kuasa hukum PT Jhonlin setelah Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi.
Sebanyak 48 wartawan Banjarmasin bersama Aliansi Jurnalis Independen Balikpapan dan Forum Intelektual Dayak Nasional mengajukan diri sebagai penjamin Diananta. Mereka menyerahkan surat penangguhan penahanan itu pada Jumat sore, 8 Mei. Mereka juga menggalang dana untuk membiayai keluarga Diananta di Banyuwangi, Jawa Timur. “Dia hidup sebatang kara di sini,” kata Bujino Adrianus Salan.
MUSTAFA SILALAHI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo