Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Serangan Balik Nurul Ghufron kepada Anggota Dewas KPK

Anggota Dewas KPK dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik ketika menjalankan tugas. Dianggap sebagai bentuk kriminalisasi.

25 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nurul Ghufron melaporkan Albertina Ho atas dugaan pelanggaran etik.

  • Anggota Dewas KPK yang sedang menjalankan fungsinya justru dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik.

  • Tindakan pelaporan itu bisa dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap anggota Dewas KPK.

WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron melaporkan anggota Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho, atas dugaan pelanggaran etik. Laporan itu disampaikan Ghufron kepada Dewan Pengawas KPK. Ia menuding Albertina telah menyalahgunakan wewenang karena meminta hasil analisis transaksi keuangan mantan jaksa KPK, Taufiq Ibnugroho. "Saya sebagai insan KPK memiliki kewajiban melaporkan apabila mengetahui ada dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh insan KPK," kata Ghufron, seperti dikutip Antara, kemarin, 24 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Ghufron, sebagai anggota Dewan Pengawas, Albertina tidak bisa meminta data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran etik. "Dewas, sebagai lembaga pengawasan KPK, bukan penegak hukum dan bukan dalam proses penegakan hukum (bukan penyidik)," katanya. "Sehingga tak berwenang meminta analisis transaksi keuangan tersebut."

Ghufron menegaskan, pelaporan itu sesuai dengan Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 3 Tahun 2021. "Sehingga laporan itu adalah pemenuhan kewajiban saya atas peraturan Dewas sendiri," ujarnya. "Mari hormati proses di Dewas dan saya pasrahkan pada mekanisme ketentuan di Dewas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Albertina menyatakan sudah mengetahui informasi bahwa ia dilaporkan Ghufron. Hanya, dia heran kenapa pelaporan itu cuma menyasar dirinya. Padahal, dalam pengambilan keputusan, Dewas KPK bersifat kolektif kolegial, yang artinya semua anggota terlibat. "Jadi saya dilaporkan dalam melaksanakan tugas sebagai anggota Dewas KPK," katanya.

Jaksa Taufiq Ibnugroho menjadi sorotan setelah dilaporkan ke Dewas atas dugaan menerima suap dan gratifikasi saat masih bertugas di komisi antirasuah. Dalam laporan itu, Taufiq disebut menerima uang Rp 3 miliar dari sejumlah pihak yang sedang beperkara di KPK. Hal itu tertuang dalam nota dinas Dewas KPK.

Albertina mengatakan, untuk menindaklanjuti laporan itu, Dewas berupaya mengumpulkan bukti-bukti. Salah satu upaya itu adalah berkoordinasi dengan PPATK. Tujuannya, memperjelas transaksi keuangan guna pembuktian dugaan adanya pelanggaran etik. "Karena saya yang ditunjuk sebagai PIC (person in charge) masalah etik, jadi saya yang dilaporkan," ujarnya.

 Albertina Ho di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 27 Maret 2024. Tempo/Imam Sukamto

Anggota Dewas KPK lain, Syamsuddin Haris, mempertanyakan tindakan Ghufron yang melaporkan Albertina hanya karena meminta data kepada PPATK. Padahal langkah itu sudah sering dilakukan Dewas setiap kali menerima laporan dugaan pelanggaran etik di lingkup internal lembaga antirasuah. "Dalam penanganan kasus etik, Dewas sudah berkali-kali berkoordinasi dengan PPATK dan tidak ada masalah," katanya. "Saya enggak tahu sekarang, kok, dipersoalkan oleh Pak NG."

Syamsuddin mencontohkan ketika Dewas mendapat laporan pelanggaran etik yang diarahkan kepada Firli Bahuri. Begitu juga dalam dugaan pungli di rumah tahanan KPK yang melibatkan puluhan pegawai. Semua laporan itu ditindaklanjuti Dewas dengan meminta hasil analisis transaksi keuangan dari PPATK.

Meski begitu, kata Syamsuddin, Dewas tetap menindaklanjuti laporan Ghufron tersebut. "Bu AH sudah memberikan klarifikasi dan kronologi kepada Dewas," ucapnya. "Intinya, Bu AH berkoordinasi dengan PPATK dalam rangka melaksanakan tugas karena beliau PIC masalah etik di Dewas."

Pelaporan Albertina ke Dewas KPK itu mendapat sorotan dari sejumlah pegiat antikorupsi. Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha mengatakan langkah yang dilakukan Ghufron itu sudah tidak masuk akal dan memberikan preseden buruk bagi institusi KPK. "Itu keterlaluan, memberikan contoh buruk," katanya. "Ini bentuk kriminalisasi terhadap upaya pemberantasan korupsi."

Praswad berpendapat, Dewas adalah bagian yang tak terpisahkan dari KPK. Penegasan itu tertuang dalam Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019. Pelaporan terhadap anggota Dewas tentu akan berimbas pada institusi KPK secara keseluruhan. Terlebih, kasus yang disoroti Ghufron hanya kasus jaksa Taufiq.

"Tindakan Ghufron yang seharusnya mendukung pembongkaran kasus korupsi malah mendudukkan diri seakan-akan menjadi pembela yang menolak pengungkapan kasus korupsi," tuturnya. "Perlu dicek, sebetulnya motif dan ketakutan apa yang disembunyikan Ghufron dalam pembongkaran kasus ini."

Praswad menambahkan, pelaporan anggota Dewas oleh pimpinan KPK atas dugaan pelanggaran etik merupakan sejarah baru di lembaga antirasuah. Apalagi pelaporan itu justru diarahkan kepada anggota Dewas yang sedang menyelidiki dugaan pelanggaran etik. "Melaporkan anggota Dewas KPK yang tengah menjalankan fungsinya tentu menghambat penegakan hukum," katanya.

Praswad menilai Ghufron sudah tidak layak dipertahankan KPK. Terlebih, saat ini Ghufron juga tengah diselidiki atas dugaan penyalahgunaan wewenang.

Ghufron dilaporkan ke Dewas pada Desember 2023. Ia diduga menggunakan pengaruh jabatannya untuk kepentingan pribadi. Ghufron ditengarai pernah menghubungi Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono untuk meminta bantuan agar keponakannya yang bertugas di Jakarta dipindahkan ke Malang, Jawa Timur. Diduga bahwa peristiwa ini terjadi saat KPK sedang mengusut dugaan korupsi di Kementerian Pertanian yang melibatkan Kasdi, Syahrul Yasin Limpo, dan Muhammad Hatta.

Wakil Ketua KPK Nurul Gufron memenuhi panggilan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung ACLC KPK, Jakarta, 27 Oktober 2023. Tempo/Imam Sukamto

Dugaan Pelanggaran Etik Jaksa Taufiq

Menyitir laporan majalah Tempo edisi 21 April 2024, Taufiq Ibnugroho diduga menerima uang dari sejumlah saksi dalam perkara korupsi yang menyeret Bupati Lampung Utara periode 2014-2019, Agung Ilmu Mangkunegara. Agung ditangkap pada Oktober 2019 atas tuduhan menerima suap dari berbagai proyek. Pengadilan menjatuhkan vonis 7 tahun penjara kepada Agung.

Belakangan, Agung mengajukan upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Upaya ini membuahkan hasil. Hukumannya dikurangi menjadi 5 tahun penjara. Agung menghirup udara bebas pada 22 Januari 2023.

Saat pemeriksaan kasus Agung masih berjalan, para saksi mengaku mendapat intimidasi dari jaksa KPK. Mereka ditengarai menyetorkan sejumlah uang agar tak ikut menjadi tersangka. Para saksi ini adalah pejabat dan pegawai urusan administratif di Kabupaten Lampung Utara.

Tak lama setelah dugaan suap itu mencuat, Taufiq tak lagi berdinas di komisi antirasuah. Jabatan terakhirnya di KPK adalah Ketua Satuan Tugas V Penuntutan. Taufiq adalah jaksa KPK yang punya rekam jejak cukup moncer dalam sejumlah perkara kakap. Ia turut mengawal persidangan perkara kartu tanda penduduk berbasis elektronik, suap terhadap Bupati Musi Banyuasin, serta kasus suap kepada hakim yang menangani sengketa kepemilikan perusahaan antara PT Asia Pacific Mining Resources dan CV Citra Lampia Mandiri.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebutkan Taufiq dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK pada 15 Januari 2023. Sejumlah saksi, pelapor, dan petunjuk laporan itu sudah didalami. Tim pemeriksa Dewas KPK bahkan berkunjung ke Lampung untuk menggali keterangan.

Setelah berbulan-bulan, perkara Taufiq ini tak berujung pada sidang etik. Alih-alih memberikan keputusan, Dewas justru mengeluarkan nota dinas untuk mengalihkan penanganan perkara itu kepada Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menilai pendelegasian Dewas KPK kepada Deputi Penindakan bermasalah secara administratif. Sebab, nota dinas itu hendaknya disampaikan kepada pimpinan KPK. Ia menduga penanganan kasus itu berjalan lambat karena adanya gesekan antara Dewas dan pimpinan KPK. "Itu terlihat dari sikap seorang pemimpin KPK yang tak mengetahui penanganan perkara ini," katanya.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Bagus Pribadi berkontribusi pada artikel ini.

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus