Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TATKALA suhu perbankan memanas menjelang pengumuman likuidasi bank yang direncanakan 27 Februari lalu?yang kemudian ditunda dua minggu?Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Niaga terlibat dalam perang iklan. Melalui tiga kali iklan di harian Suara Pembaruan dan Bisnis Indonesia dua pekan lalu, mereka saling menuding bahwa masing-masing telah dirugikan dalam kasus jual beli obligasi senilai Rp 85 miliar.
Obligasi itu diterbitkan oleh PT Panca Wiratama Sakti, sementara Bank Niaga bertindak selaku wali amanat, yang mewakili kepentingan pemegang obligasi. Selaku wali amanat, Bank Niaga menganggap BTN telah ingkar janji karena tak membayar bunga obligasi. Sebaliknya, BTN berpendapat justru Bank Niagalah yang melalaikan hak-hak BTN sebagai penanggung obligasi.
Sebetulnya, obligasi PT Panca Wiratama Sakti yang diterbitkan pada 15 Juni 1995 itu baru jatuh tempo pada tahun 2001. Dulu, penjualan obligasi gelombang ketiga senilai Rp 85 miliar dinilai amat berprospek. Sebab, surat berharga pasar modal itu digunakan untuk menutup sebagian biaya proyek pembangunan kawasan industri dan perumahan Tiga Raksa di Tangerang, Jawa Barat. Ada tujuh pembeli?perorangan dan perusahaan?yang memegang obligasi tersebut.
Ternyata krisis ekonomi menjungkirbalikkan semua investasi dan perkiraan. Tanpa kecuali, bisnis PT Panca Wiratama, milik pengusaha Jhony Wijaya, juga dihantam badai. Harga sahamnya di lantai bursa melorot sampai Rp 700 per unit. Bahkan bunga obligasi ke-13 sebesar Rp 7,6 miliar, yang jatuh tempo pada 27 Oktober 1998, pun tak terbayar oleh perusahaan itu. Menurut Kepala Divisi Jasa Investasi Bank Niaga, Teddy Punu, berdasarkan perjanjian perwalian amanat, bila penerbit obligasi (emiten) lalai memenuhi hak pemegang obligasi, jatuh tempo obligasi bisa dipercepat.
Karena itu pula pada rapat umum pemegang obligasi (RUPO), 15 Januari lalu?sesuai dengan perjanjian penanggungan obligasi?BTN selaku penanggung obligasi dinyatakan cedera janji. BTN diharuskan membayar nilai pokok surat utang itu sebesar Rp 85 miliar, bunga ke-13 sebesar Rp 7,6 miliar, dan denda sebesar Rp 8,2 juta sehari, selambat-lambatnya 4 Februari lalu.
Dihadapkan pada tuntutan itu, BTN tak gentar. Selain tak takut dengan somasi ketiga dari Bank Niaga?yang berbatas waktu toleransi sampai 26 Februari lalu?BTN melancarkan iklan tandingan lewat pengacara Denny Kailimang. Menurut Denny, tagihan Bank Niaga terhadap kliennya terlalu mendadak. Padahal, pada RUPO 15 Januari itu, BTN tak diberi kesempatan berbicara.
Denny menambahkan, kliennya tak bisa memenuhi kewajiban itu karena belum berhasil mengeksekusi aset emiten. "Sesuai dengan ketentuan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional, BTN tak bisa mengeluarkan uang sebanyak itu, maka harus mengeksekusi aset emiten dulu," papar Denny, yang meminta agar RUPO diulang.
Lagi pula, kata Denny, upaya BTN untuk mengeksekusi aset emiten terhambat gara-gara struktur kepemilikan saham dan kepengurusan perusahaan emiten telah berubah. Sebagian aset emiten juga disewakan kepada pihak lain, tapi wali amanat tak mengawasi dan tak melaporkan berbagai perubahan itu. Pendek kata, Denny menimpakan masalah obligasi itu pada kelalaian Bank Niaga.
Tentu saja Bank Niaga menganggap dalih BTN itu mengada-ada. Kuasa hukum Bank Niaga, Iswahjudi Karim, menyatakan bahwa BTN sudah diberi kesempatan berbicara pada RUPO tapi kesempatan itu tak digunakan. Adapun soal permintaan RUPO ulangan, menurut Iswahjudi, itu hanya bisa diajukan oleh pemegang minimal 20 persen obligasi, wali amanat, emiten, atau Badan Pengawas Pasar Modal. Jadi, itu tak termasuk BTN, yang merupakan pihak penanggung obligasi.
Sesuai dengan perjanjian penanggungan, kata Iswahjudi, tak benar bila dianggap bahwa penanggung baru-membayar obligasi dan bunga setelah mengeksekusi jaminan yang diserahkan emiten kepada penanggung. Dan mengamati gelagat sikap BTN, Iswahjudi menilai tiada cara menyelesaikan persoalan itu selain ke pengadilan.
Tapi tunggu dulu. "Komunikasi secara langsung saja belum terjadi, kok sudah menyatakan bahwa klien kami telah melakukan default (cedera janji)?" begitu Denny menangkis. Ia pun bersikeras bahwa kliennya tak mungkin membayar obligasi bila bukan dari hasil penjualan aset emiten. Masalah obligasi Panca Wiratama itu tampaknya harus dilihat sebagai kegagalan penanggung obligasi (BTN), sedangkan Bank Niaga terkena "getah"-nya. Kalau ditarik sampai ke pangkal, kegagalan itu sepenuhnya disebabkan oleh krisis moneter, yang menyebabkan dunia usaha nyaris tenggelam.
Happy Sulistyadi, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo