Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pengurus Partai Dilarang Menjadi Jaksa Agung

Presiden tidak bisa lagi menunjuk pengurus parpol menjadi jaksa agung. Namun larangan itu tidak berlaku untuk anggota parpol.  

2 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengurus partai politik tidak bisa menjadi Jaksa Agung.

  • Syarat untuk calon jaksa agung ini didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi.

  • Larangan itu tidak berlaku untuk anggota parpol yang tidak menjadi pengurus.

JAKARTA – Komisi Kejaksaan menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi syarat pengangkatan jaksa agung yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Putusan Nomor 6/PUU-XXII/2024 itu dianggap dapat mendukung kejaksaan menegakkan hukum secara konsisten tanpa dibebani kepentingan politik. “Saya setuju jaksa agung tidak berasal dari pengurus partai politik,” ujar Ketua Komisi Kejaksaan, Pujiyono Suwadi, kemarin, 1 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Pujiyono, posisi jaksa agung sebaiknya diprioritaskan kepada seseorang yang berlatar belakang jaksa atau jaksa karier aktif. Apalagi masih banyak jaksa profesional dan berintegritas yang layak dicalonkan menjadi jaksa agung. “Jaksa agung dari luar latar belakang jaksa bisa menimbulkan kecemburuan di lingkup internal Korps Adhyaksa,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden memang memiliki hak prerogatif untuk memilih jaksa agung. Namun, setelah ada putusan MK, kata Pujiyono, presiden perlu mempertimbangkan siapa jaksa aktif yang layak menjabat jaksa agung. “Kalau jaksa agung, ya, memang keputusan presiden, keputusan politik, ya,” kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tersebut.

Pemohon Jovi Andrea Bachtiar (kiri) membacakan pokok-pokok permohonan uji materiil aturan mengenai syarat pengangkatan jaksa agung sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan, di Ruang Sidang Panel Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 1 Februari 2024. Dok. Humas MK/Panji

MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang diajukan seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar. Dalam amar putusan, MK mengubah norma Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 dengan menambahkan syarat, yakni figur yang akan diangkat menjadi jaksa agung bukan pengurus partai politik, kecuali telah berhenti sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat. 

Adapun Jovi dalam gugatannya berharap agar—selain bukan pengurus parpol—calon jaksa agung juga bukan anggota parpol atau seseorang yang belum lima tahun keluar dari anggota parpol. Namun MK tidak dapat mengabulkan semua petitum Jovi karena majelis konstitusi menilai ada perbedaan tugas, fungsi, dan kewenangan antara pengurus parpol dan anggota parpol.

Meski menilai putusan MK itu masih kurang berani, Pujiyono tetap mengapresiasi. Paling tidak, putusan itu menutup peluang bagi politikus yang tidak memiliki latar belakang jaksa ikut bersaing dalam memperebutkan posisi jaksa agung. 

Dalam Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 hanya terdapat enam syarat untuk figur yang bisa diangkat sebagai jaksa agung. Dari enam syarat itu, tidak ada penegasan tentang jaksa agung harus berasal dari jaksa karier atau yang masih aktif dan belum masuk usia pensiun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan putusan MK akan memperkuat independensi kejaksaan sebagai aparat penegak hukum. Selain itu, insan Korps Adhyaksa mendapat kesempatan lebih luas untuk berkarier sampai di posisi tertinggi, yaitu jaksa agung. “Harapan dan kesempatan itu semoga akan memberi motivasi (para jaksa) dalam berkinerja lebih baik dan bermanfaat untuk kepentingan penegakan hukum,” kata Ketut dalam keterangan tertulis.

Jabatan jaksa agung dari parpol sempat menuai kontroversi ketika Presiden Joko Widodo menunjuk Muhammad Prasetyo mengisi posisi tersebut pada 2014. Prasetyo adalah eks jaksa yang kemudian bergabung dengan Partai NasDem. Sebelum ditunjuk menjadi jaksa agung, ia menjadi anggota DPR. 

Selain Prasetyo, Baharuddin Lopa dan Marzuki Darusman tercatat sebagai jaksa agung yang memiliki latar belakang partai politik. Marzuki, yang merupakan politikus Partai Golkar, mengisi jabatan itu pada 1999-2001. Sedangkan Lopa yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan menjadi jaksa agung pada 6 Juni-3 Juli 2001.

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan masih ada celah kepentingan politik meski jaksa agung bukan berasal dari partai politik. Sebab, bisa saja seorang jaksa agung yang bukan politikus justru terafiliasi atau didukung oleh partai politik tertentu. Konsep patron-klien yang disinggung dalam pertimbangan Jovi Andrea pun bisa terjadi di mana saja. “Kalau dia karier aparatur sipil negara, harus dekat dengan kelompok yang menang,” ucap Ujang.

Suasana rapat kerja Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung soal Pemilu 2024, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 16 November 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur menilai putusan MK perihal syarat terbaru jaksa agung sudah baik. Menurut catatannya, selama ini tidak ada jarak waktu bagi calon jaksa agung untuk melepas pengaruh dari partai politik. Dia melihat pola seperti itu terindikasi memiliki kepentingan untuk alat politik. Adanya putusan ini pun bisa membatasi presiden agar tidak sembarangan memilih jaksa agung. “Tentu kita mendorong jaksa agung yang memang dipilih secara terbuka, secara sistem merit (berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja) yang baik,” katanya.

Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menuturkan salah satu cara menjaga independensi kejaksaan adalah memilih jaksa agung dari kalangan profesional. Minimal dari orang yang berpengalaman di bidang hukum, lebih baik jika diangkat dari jaksa karier yang aktif.

Dia melihat bahwa tren jaksa agung selama ini dari kalangan pensiunan jaksa. “Saya kira sekarang banyak jaksa yang bagus dan pantas menjadi jaksa agung, ya, jaksa karier,” ujar Fachrizal.

Beban tanggung jawab seorang jaksa agung, menurut Pasal 18 UU Kejaksaan, adalah sebagai penuntut umum tertinggi dan pengacara negara di Indonesia. Atas kuasa khusus atau karena kedudukan dan jabatannya, ia bertindak sebagai jaksa pengacara negara di bidang perdata dan tata usaha negara serta ketatanegaraan di semua lingkungan peradilan.

Walaupun mengapresiasi putusan MK Nomor 6/PUU-XXII/2024, Fachrizal masih melihat ada celah atas penafsiran bahwa jaksa agung bisa dijabat oleh siapa pun, kecuali pengurus partai politik. Karena itu perlu ada perbaikan lagi dalam UU Kejaksaan untuk mengatur pemilihan jaksa agung. “Paling tidak prosedurnya dibikin susah,” ujarnya. Dia membandingkan bagaimana ketatnya seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang pemilihannya turut diawasi DPR.

M. FAIZ ZAKI | LINDA NOVI TRIANITA 

 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus