Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dampak Putusan Bebas Pegi Setiawan

Putusan bebas Pegi Setiawan dinilai bisa berdampak terhadap delapan terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky. 

10 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Putusan bebas Pegi Setiawan bisa berdampak terhadap delapan terpidana lainnya.

  • Putusan itu dinilai meruntuhkan konstruksi perkara yang dibuat polisi.

  • Bisakah delapan terpidana itu kembali menghirup udara bebas?

DELAPAN terpidana kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudiana alias Vina dan Eky mengajukan peninjauan kembali (PK) kedua ke Mahkamah Agung. Langkah itu mereka ambil setelah Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan praperadilan seorang tersangka baru kasus ini, Pegi Setiawan, pada Senin, 8 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua tim kuasa hukum enam terpidana, Jutek Bongso, mengatakan putusan praperadilan Pegi membuat seluruh konstruksi perkara yang ditudingkan aparat penegak hukum kepada kliennya berubah. Menurut Jutek, putusan praperadilan Pegi sangat menguatkan PK kedua yang akan diajukan oleh para terpidana.“Sangat membantu putusan praperadilan Pegi ini. Pegi kan tidak terlepas. Dia satu kesatuan,” ujar Jutek kepada Tempo, Selasa, 9 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, Jutek tak bisa memastikan kapan mereka akan mengajukan PK kedua itu. Dia menyatakan tim kuasa hukum sedang melengkapi bukti-bukti baru yang bisa memperkuat PK. “Dari fakta-fakta yang kami temukan ini, tolong menjadi perhatianlah, khususnya Mahkamah Agung nanti, karena ini ada nasib enam terpidana yang kalau tidak ditolong, mereka ini kan seumur hidup ada di penjara,” tutur Jutek.  

Keenam terpidana yang diwakili Jutek adalah Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Rivaldi, dan Aditya Wardana. Dua terpidana lainnya, Saka Tatal dan Sudirman, telah mengajukan PK kedua pada Senin lalu. 

Pengacara Sudirman dan Saka Tatal, Titin Prialianti, mengatakan sudah menyerahkan berbagai bukti baru atau novum ke Mahkamah Agung. Titin berharap majelis hakim dapat mempelajari seluruh novum dan pertimbangan hukum yang disampaikan dalam memori PK kedua kliennya. “Semoga hakim PK sanggup menyatakan tidak pernah ada pembunuhan dan pemerkosaan dengan sadis seperti yang tertuang dalam putusan terdahulu dan meyakini para terpidana yang sudah divonis bukanlah pelaku peristiwa tersebut,” ujarnya. 

PN Bandung membebaskan Pegi Setiawan karena menganggap tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Barat melakukan pelanggaran prosedur. Pelanggaran itu dilakukan sejak awal polisi memasukkan nama Pegi dalam daftar pencarian orang (DPO). 

Hakim tunggal Eman Sulaiman menyatakan penetapan status pencarian terhadap Pegi, yang diterbitkan pada 15 September 2016, tidak didasarkan pada pemanggilan tersangka. Penyidik hanya sempat mencari Pegi di rumah ibu kandungnya. Itu pun tanpa membawa surat panggilan. “Tidak ada satu pun bukti surat panggilan kepada pemohon sehingga yang bersangkutan tidak mengetahui dirinya dalam DPO,” katanya.

Eman juga menyatakan penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Pegi menyalahi prosedur. Pasalnya, penyidik tak memeriksa Pegi lebih dulu. Mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014, Eman menyatakan penyidik seharusnya memeriksa lebih dulu seseorang sebelum menetapkannya sebagai tersangka. Selain itu, tim hukum Polda Jawa Barat tak bisa menunjukkan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Pegi sebagai tersangka.

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai putusan praperadilan itu bisa berdampak terhadap delapan terpidana kasus pembunuhan Eky dan Vina Cirebon lainnya. Setidaknya, menurut dia, putusan itu mematahkan narasi yang dibangun polisi sejak awal bahwa Pegi adalah otak pembunuhan berencana terhadap sejoli tersebut delapan tahun lalu. 

Selain itu, kata Reza, putusan ini memunculkan keraguan bahwa delapan terpidana tersebut merupakan pelaku pembunuhan berencana terhadap Vina dan Eky. Pasalnya, menurut dia, interaksi setiap terpidana (selaku eksekutor) dengan Pegi (selaku mastermind atau otak kejahatan) ternyata tidak terbukti pernah ada. “Bagaimana otoritas penegakan hukum dapat mempertahankan tesis bahwa kedelapan terpidana itu adalah kaki tangan Pegi?" kata Reza.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pun berpendapat sama. Putusan praperadilan Pegi, menurut dia, dapat berpengaruh pada status hukum delapan terpidana lainnya jika terdapat keterkaitan antara dasar putusan praperadilan dan peristiwa secara keseluruhan. Dia menyatakan putusan ini juga bisa menjadi alat bukti bagi terpidana lain untuk mengajukan PK ke Mahkamah Agung. “Maka putusan praperadilan ini bisa menjadi bukti baru bagi putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,” tutur Abdul. 

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menjelaskan, PK kedua yang diajukan oleh delapan terpidana itu sah secara hukum. Menurut dia, hal itu sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang menyatakan PK bisa diajukan dua kali dengan syarat ada dua putusan berkekuatan hukum tetap yang bertentangan satu dengan yang lain. 

Selain diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung, PK kedua diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Putusan MK itu membolehkan mengajukan PK lebih dari satu kali. Karena itu, dia menilai putusan praperadilan Pegi dapat membuka peluang bagi para terpidana lain untuk mengajukan PK kedua ke MA.

Chudry menilai, jika para terpidana kembali mengajukan PK, peluang PK tersebut dapat dikabulkan sangat besar. Dia menyebutkan keyakinan itu didasarkan pada poin-poin pertimbangan hakim saat membuat putusan praperadilan Pegi yang berbeda dengan putusan sebelumnya pada 2016. “Hakim menyatakan bahwa penetapan DPO dalam perkara pertama yang lama itu tidak sesuai dengan prosedur. Itu kuat, ya. PK yang kedua kali itu besar kemungkinan dikabulkan,” katanya.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Yusuf Warsyim, pun berpendapat sama. “Ini tentu punya implikasi terhadap putusan pengadilan tersebut (putusan pengadilan pada 2016),” ujar Yusuf saat dihubungi terpisah. 

Kompolnas, kata Yusuf, meminta penyidik Polda Jawa Barat menganalisis dan mengevaluasi penanganan kasus tersebut sebelum mengambil tindakan hukum lebih lanjut. Yusuf mengatakan Polda Jawa Barat harus meminta pendapat dari ahli hukum pidana. Dia menyatakan Kompolnas sudah menyarankan sejumlah ahli hukum pidana tersohor kepada Polda Jawa Barat. "Kami sarankan evaluasi yang dilakukan jangan terburu-buru, apalagi saat mau membuat surat perintah penyidikan atau sprindik yang baru,” ujar Yusuf. 

Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, memiliki pendapat berbeda. Dia mengatakan putusan praperadilan Pegi tidak berdampak langsung terhadap status hukum delapan terpidana lain. Pasalnya, kata Mudzakkir, praperadilan hanya menguji keabsahan penetapan tersangka dan sama sekali tidak membahas pokok perkara. Dia menyebutkan praperadilan hanya memeriksa tahapan awal proses penyelidikan. 

Suasana sidang praperadilan yang dilayangkan Pegi Setiawan dengan agenda jawaban dari Polda Jawa Barat di Pengadilan Negeri Bandung, 2 Juli 2027. TEMPO/Prima mulia

Mudzakkir menilai putusan ini juga tidak berpengaruh langsung terhadap peninjauan kembali atau revisi yang kemungkinan diajukan oleh delapan terpidana lainnya. “Putusan itu (praperadilan Pegi) tidak berpengaruh apa pun terhadap putusan-putusan sebelumnya,” ujarnya. 

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Djuhandani menyatakan akan mengevaluasi penyidik yang menangani kasus ini. Dia pun mengatakan menghormati putusan praperadilan terhadap Pegi Setiawan. “Pada prinsipnya, kita tetap tunduk ya apa pun putusannya,” ucap Djuhan. 

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Barat Komisaris Besar Jules Abraham Abast tak membalas pesan yang Tempo layangkan soal langkah mereka setelah putusan praperadilan Pegi. Yang pasti, mereka telah melepaskan Pegi dari tahanan pada Senin malam lalu. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Advist Khoirunikmah, Ade Ridwan Yandwiputra, dan Ahmad Fikri berkontribusi dalam laporan ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus