Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pembantaian Menjelang Magrib

Sri Suwahyuni, seorang ibu, tewas dibantai bersama kedua anaknya, Riska Yuniar & Hendra Kurnia di rumahnya, Manukan Tama, Surabaya. Pelakunya, Tonny Winarko, Hamka Jumadi & Aamir, ditahan. Motifnya: dendam.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUBAGIO, 31 tahun, pulang kantor agak terlambat, Selasa pekan lalu. Sopir Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Timur itu baru masuk rumahnya di Jalan Manukan Tama 15, di kawasan Tandes, Surabaya, sekitar pukul 7 malam. Lelaki asal Jatiroto, Lumajang, mendapati rumahnya gelap. Padahal, lampu tetangganya menyala. "Saya pikir mereka sedang pergi," kata Yubagio kepada TEMPO. Ia pun membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya. Ayah tiga anak ini langsung ke ruang tengah dan menyalakan lampu. Kemudian menuju ke kamar mandi untuk membasuh muka. Lampu kamar mandi dinyalakan. Dan sebuah pemandangan mengerikan hadir di depan mata: Sri Suwahyuni, istrinya, dan Riska Yuniar, anak keduanya, mati lunglai. Kepala Sri, 27 tahun, terbenam dalam bak air 1 m x 1,5 m, badan membungkuk dengan kaki masih menginjak lantai. Riska, 7 tahun, lebih menyedihkan. Masih memakai seragam sekolahnya di SD Karitas II Tandes, bocah itu terendam di bak hanya kakinya mencuat di permukaan air. Yubagio pun melolong-lolong. Belum sempat tetangga datang, ketika menyalakan lampu ruang tamu di depan, Yubagio melihat anak bungsunya, Hendra Kurnia, 3 tahun, tertelungkup tak bernyawa di lantai. Ketika jiran berdatangan, dan polisi sektor setempat menggeledah rumah, ketahuan bahwa uang Rp 400 ribu di lemari kamar Yubagio amblas. Isi lemari berantakan. Kalung dan gelang emas yang selalu dipakai istrinya juga dipreteli. "Ini perbuatan keji," ujar Kepala Kepolisian Kota Besar Surabaya Kolonel (Pol.) I Wayan Karya. Malam itu juga dia dan Kapolres Surabaya Utara Letkol. (Pol.) Indro Warsito mengkoordinasikan anak buah untuk mengejar pelaku. Polisi agak susah menemukan jejak pelaku. Sebab, TKP (tempat kejadian perkara) sudah diacak-acak penduduk sekitar yang berebut masuk ke rumah. Informasi digali dari Yubagio dan masyarakat sekitar. Sore itu, menurut info, dua orang bersepeda motor mondar-mandir di sekitar rumah Yubagio, di perumahan karyawan BPKP itu. Tapi, tentu sulit menemukan sebuah sepeda motor di kota besar seperti Surabaya. Apalagi, penduduk hanya menyebut ciri-ciri dan bukan nomor polisi kendaraan. Info berharga didapat polisi dari Yubagio. Tiga bulan lalu, keluarga Yubagio pernah didatangi Tonny Winarko alias Wiwin, 24 tahun, anak Abdulmanan, tetangga Yubagio semasih tinggal di Tambak Gringsing, di luar Kota Surabaya ke arah Gresik. Ketika pada 1986 Yubagio pindah rumah, Abdulmanan juga pindah dari Tambak Gringsing ke Manukan Krajan III/7 -- masih dekat ke Manukan Tama. Wiwin bercerita tentang pengalamannya sebagai perampok, sampai dua kali mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok. "Alasan dia, hasil menjambret lebih banyak," kata Yubagio. Wiwin sempat menunjukkan dompetnya yang sarat uang. Yubagio menasihati agar Wiwin mencari pekerjaan halal. Tapi anak muda itu malah merasa bangga jadi bajingan. "Dia bilang akan terus menggasak apa saja yang bisa dijambret," kata Yubagio. Dari penuturan Yubagio, polisi memeriksa rumah Abdulmanan. Di sana polisi menemukan sepeda motor yang cirinya seperti disebutkan saksi mata. Di mana Wiwin? Abdulmanan mengatakan anaknya, yang bekerja sebagai kelasi, berada di rumah seharian, dan baru saja kembali ke kapalnya, KM Sumber Maju, yang merapat di pelabuhan Gresik setelah mengangkut barang dari Kalimantan. Wiwin lalu ditemukan polisi di kapalnya. Bersama Wiwin, Hamka Jumadi, 19 tahun, juga kelasi di kapal itu, ikut diciduk. Wiwin, yang ternyata residivis untuk kejahatan penjambretan, malam itu disekap di Polwiltabes Surabaya. Di depan polisi, Hamka, yang berasal dari Ujungpandang, bicara tentang kejahatan Wiwin. Dia mengaku diajak Wiwin untuk merampok rumah Yubagio. Tapi ia menolak. Wiwin, kata Hamka, sempat mengancam, "Kalau lapor ke polisi, kau kubunuh." Ia menuturkan pada polisi, Wiwin "bekerja" dibantu Amir, juga kelasi KM Sumber Maju. Toh Hamka sempat datang ke rumah korban setelah Wiwin dan Amir keluar dari rumah naas itu. Hamka melihat mayat Sri dan anak-anaknya. Dari penuturan Hamka, malam itu juga Amir diciduk polisi di kompleks WTS Tambak Asri, di pinggir Surabaya. Amir, 22 tahun, asal Plaju, Sumatera Selatan, mengakui kebiadabannya pada polisi. Dalang dan otak perampokan dan pembunuhan, kata Amir, adalah Wiwin. Selasa itu, sejak siang hari rumah Yubagio sudah diintipnya dengan mengendarai sepeda motor. Ketika tahu Yubagio tak ada di rumahnya, Wiwin dan Amir datang. Sri, yang memang kenal Wiwin, dengan ramah membukakan pintu. Tak dinyana, ketika Sri berjalan menuju dapur, Wiwin menyergapnya dan menyeretnya ke kamar mandi, lalu membenamkan kepala wanita malang itu ke dalam bak. "Dia mati karena paru-parunya kemasukan air," kata Wayan Karya mengutip keterangan dokter. Amir lalu mencekik hingga mati Hendra Kurnia, anak bungsu Yubagio-Sri, yang meraung-raung melihat ibunya diserang. Mungkin untuk menghilangkan jejak, Riska Yuniar, yang baru kembali dari sekolah sore itu dihajar tengkuknya dengan kepalan Amir. Riska terjatuh. Amir membopong gadis kecil itu dan membenamkan kepalanya ke dalam bak mandi. Riska pun wafat menyusul ibu dan adiknya. Ketika mendenar pengakuan Amir, Wiwin tak bisa mengelak. Wiwin mengaku pembantaian itu terjadi menjelang magrib. Setelah melucuti kalung dan gelang, dua orang kawanan itu mengacak-acak lemari dan menyikat uang Rp 400 ribu. "Menurut pengakuan tersangka, pembunuhan itu dilakukan karena sakit hati dan dendam," ujar Wayan Karya. Apa sebabnya? Ada kabar, Wiwin sudah lama menaruh hati pada Sri Suwahyuni, istri teman bapaknya itu. Tapi, "Itu berita mengada-ada," sangkal Yubagio. Kini, ia hanya memiliki Novria Yuniarti, 5 tahun, yang ketika kejadian sedang ikut neneknya di Jatiroto. Ia selamat dari pembunuhan. Sebegitu kejamkah Wiwin? Abdulmanan, ayahnya, meragukan. "Anak itu pendiam dan tak pernah berkelahi," katanya. Tapi, Wiwin sampai kini memang masih diduga keras sebagai pelaku utama pembunuhan sadistis itu, sampai polisi tuntas menyelesaikan penyidikan. Toriq Hadad (Jakarta), Jalil Hakim dan Zed Abidien (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus