Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi sempat memeriksa kejiwaan Tamara Tyasmara.
Membuka peluang adanya tersangka baru dalam kasus kematian RAK.
Meskipun demikian, Tamara dinilai tak bisa dijerat hanya karena faktor kelalaian.
JAKARTA – Artis Tamara Tyasmara tercatat telah tiga kali menjalani pemeriksaan di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dalam kasus kematian putranya yang berinisial RAK. Polisi diminta tak gegabah menetapkan Tamara sebagai tersangka hanya karena faktor kelalaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi memeriksa Tamara dua kali dalam satu pekan terakhir. Pada Kamis pekan lalu, 15 Februari 2024, Tamara menjalani tes kejiwaan selama tiga jam. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan pemeriksaan dilakukan oleh tim gabungan Asosiasi Psikologi Forensik dan Biro Sumber Daya Manusia Polda Metro Jaya. Dia menyatakan pemeriksaan itu atas permintaan penyidik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemeriksaan psikologi forensik ini merupakan bagian dari penyidikan berbasis ilmiah atau scientific crime investigation. Atas permintaan penyidik, beberapa ahli dilibatkan dalam proses penyidikan ini, antara lain tim psikologi forensik," kata Ade, Kamis pekan lalu
Pada Rabu, 21 Februari lalu, Tamara kembali mendatangi Polda Metro Jaya. Kuasa hukum Tamara, Sandy Arifin, menyatakan kedatangan kliennya itu hanya untuk menemani ibunya untuk menjadi saksi. “Pemeriksaan kali ini adalah agenda pemeriksaan mama Tamara,” kata Sandy di depan gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Namun Sandy menyatakan Tamara juga menyerahkan beberapa bukti tambahan kepada penyidik berupa foto-foto. Sandy enggan membeberkan secara detail hubungan foto-foto tersebut dengan kasus kematian RAK. “Sifatnya rahasia ya, hanya kami dan penyidik (yang tahu),” katanya.
RAK tewas setelah belajar berenang bersama pacar Tamara, Yudha Arfandi, di Kolam Renang Taman Air Tirtamas, Duren Sawit, Jakarta Timur, pada Sabtu, 27 Januari lalu. Berdasarkan rekaman kamera keamanan atau CCTV yang disita penyidik, Yudha diduga 12 kali membenamkan RAK ke kolam sebelum anak itu menepi dan tak sadarkan diri. Penyidik pun menetapkan Yudha sebagai tersangka. Dia dijerat Pasal 76C juncto Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 340 KUHP dan/atau Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan/atau Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Suasana Kolam Renang Taman Air Tirtamas tempat meninggalnya anak artis Tamara Tyasmara, Raden Adante Khalif Pramudityo alias Dante di Pondok Kelapa, Jakarta, 10 Februari 2024. Tempo/Aisyah Amira Wakang
Meskipun demikian, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Wira Satya Triputra menyatakan pihaknya akan memeriksa kembali sejumlah saksi, termasuk Tamara, untuk mendalami kasus itu lebih jauh. Wira pun masih membuka peluang adanya tersangka lain dalam kasus ini. “Ihwal kemungkinan bertambahnya tersangka, nanti akan kami dalami lebih lanjut,” katanya di Mapolda Metro Jaya, pekan lalu.
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, dalam ilmu yang dia dalami, ada dua kemungkinan status hukum pada orang tua yang anaknya menjadi korban. Pertama, orang tua bisa saja ditempatkan sebagai korban sekunder, orang yang memiliki relasi khusus, misalnya ikatan biologis dengan korban primer, sehingga ikut terkena dampak oleh penderitaan yang dialami korban primer.
Kedua, menurut dia, orang tua bisa saja menjadi tersangka. “Tapi saya tidak tahu proses hukum ke depannya seperti apa,” kata Reza saat dihubungi Tempo, Kamis kemarin.
Reza menjelaskan, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, memang terdapat celah orang terdekat korban primer menjadi tersangka. Kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan pembunuhan terhadap anak tidak membuat pengecualian kepada pelakunya. “Artinya, keluarga, orang dekat, guru, dan orang tua bisa saja kemudian diposisikan oleh hukum sebagai tersangka pelaku pidana,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan Pasal 26 UU Perlindungan Anak menyebutkan orang tua memiliki kewajiban mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Apabila itu tidak dapat dipenuhi oleh orang tua, anak boleh dititipkan kepada keluarga. Meski begitu, Jasra tidak ingin gegabah menilai Tamara lalai melakukan tugasnya jika merujuk pada aturan itu. “Untuk menentukan kelalaian tersebut, kita tunggu hasil penyidikan polisi,” katanya.
Tersangka Yudha Arfandi (tengah) dihadirkan saat rilis kasus pembunuhan Dante (6) anak dari artis Tamara Tyasmara di Polda Metro Jaya, Jakarta, 12 Februari 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Psikolog dari Universitas Pancasila, Maharani Ardi Putri, pun sependapat dengan Jasra. Sangat terlalu dini jika Tamara disalahkan karena dinilai lalai menjaga putranya hingga kehilangan nyawa. Alih-alih menyalahkan Tamara, untuk saat ini Putri lebih memilih mengedepankan rasa prihatin sewajarnya kepada Tamara sebagai orang tua yang kehilangan anaknya. Apalagi, saat kejadian, dia tidak bisa mengawasi anaknya secara langsung. “Kalau ternyata nanti terbukti sebaliknya, ya tinggal dihukum,” katanya.
Senada dengan pendapat Putri, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini belum bisa berkomentar banyak soal apakah Tamara bisa dianggap lalai. “Kasusnya sedang berjalan. Sebaiknya menunggu temuan kepolisian,” katanya.
Walau begitu, Theresia mengungkapkan, secara umum, faktor kelalaian yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya biasanya terjadi karena kesibukan ibu mengurusi segala hal sehingga terkadang juga butuh bantuan orang lain. “Misalnya, karena harus mengurusi semuanya dari a-z, dia membutuhkan bantuan orang lain, dari PRT sampai keluarga besar,” kata Theresia.
Meski butuh bantuan, Theresia mengungkapkan, biasanya seorang ibu juga akan selektif terhadap orang yang bakal membantunya dalam mengurus anaknya. Menurut Theresia, seorang ibu biasanya mempercayakan anaknya kepada orang yang dia anggap dapat dipercaya. “Biasanya ibu memiliki cara sendiri untuk menjaga anak-anaknya. Ada banyak hal yang dipertimbangkan oleh sang ibu,” katanya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menjelaskan, Tamara tak bisa dihukum karena kelalaian. Pasalnya, menurut dia, faktor lalai dalam pandangan hukum adalah adanya sebab dan akibat. Orang dikatakan lalai apabila sudah mengetahui akibat yang akan terjadi. Dalam kasus RAK, Chairul yakin Tamara tidak mengetahui konsekuensi bahwa anaknya akan meninggal saat berada di tangan kekasihnya sendiri. “Apakah setiap ibu yang menitipkan anak ke pacarnya lantas anaknya itu mesti meninggal? Kalau tidak, hal itu bukan lalai,” katanya.
Chairul mengatakan Tamara bisa dikatakan lalai apabila membiarkan RAK berjalan seorang diri ke kolam renang, sementara ia tahu bahwa anaknya tidak bisa berenang. “Ini pergi bersama orang yang dipercaya. Tidak relevan kalau si ibu disebut lalai,” katanya.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | ADVIST KHOIRUNIKMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo