Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aparat Pencabut Nyawa: Mengapa Polisi dan Tentara Makin Brutal kepada Masyarakat?

Penganiayaan oleh aparat terus terjadi. Kasus terbaru mengorbankan dua nyawa anak di Padang dan Medan. 

25 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dua kasus dugaan penganiayaan oleh aparat kepolisian dan TNI mencuat.

  • Kekerasan seperti ini merupakan masalah laten yang terus terjadi.

  • Pemahaman aparat terhadap hak-hak masyarakat dinilai masih minim.

LEMBAGA Bantuan Hukum (LBH) Padang dan LBH Medan mengungkap kasus dugaan penganiayaan anak hingga tewas oleh aparat kepolisian serta tentara. Kekerasan terhadap masyarakat sipil terus terjadi diduga karena lemahnya pemahaman aparat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus pertama menimpa anak berinisial AM di Kota Padang, Sumatera Barat, pada 8 Juni lalu. Orang tua korban mengadu ke LBH Padang setelah menemukan kejanggalan pada jenazah anaknya. Afrinaldi, salah satu orang tua korban, menyatakan mendapat kabar anaknya tewas dari anggota Kepolisian Sektor Kuranji yang menyambangi kediamannya pada 9 Juni lalu. “Awalnya, polisi bilang anak saya meninggal karena tawuran,” kata Afrinaldi kepada Tempo, Senin lalu, 24 Juni. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Afrinaldi, polisi tersebut menyatakan AM tewas setelah terjatuh ke Sungai Batang Kuranji, dekat Jembatan Kuranji, Kecamatan Nanggalo, Kota Padang. AM jatuh karena berupaya menghindar dari kejaran polisi yang membubarkan aksi tawuran itu. 

Afrinaldi menilai pernyataan polisi itu janggal karena terdapat luka memar seperti bekas injakan sepatu orang dewasa di tubuh putranya. Terdapat pula lebam di bagian punggung, pinggang, dan lengan tubuh AM. Belakangan, Afrinaldi mendapat cerita bahwa AM ditangkap oleh sejumlah polisi pada malam itu. 

Hasil investigasi LBH Padang pun menguatkan kecurigaan Afrinaldi. Direktur LBH Padang Indira Suryani menyatakan AM sedang mengendarai sepeda motor bersama temannya di dekat Jembatan Kuranji pada malam itu. Teman AM berinisial A itu pun menceritakan bahwa sepeda motor yang dikendarai mereka tiba-tiba ditendang oleh seorang polisi yang berada di sana. AM pun terpental. “Saat ditangkap polisi, korban A melihat korban AM sempat berdiri dan dikelilingi oleh anggota kepolisian yang memegang rotan,” ucap Indira.

Indira pun menyatakan terdapat tujuh korban penganiayaan lainnya yang mengadu kepada mereka, lima di antaranya masih berstatus anak-anak. Kepada LBH Padang, para korban banyak yang mengaku sempat mendapat kekerasan seksual dari aparat kepolisian. “Pengakuan mereka ada yang disetrum, ada yang perutnya disundut rokok, kepalanya memar, lalu ada yang bolong di bagian pinggangnya,” ujar Indira.

Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono pun membantah kabar adanya penganiayaan. Menurut dia, petugas malam itu berjaga untuk mencegah terjadinya tawuran. Suharyono mengakui bahwa malam itu ada sejumlah orang yang dibawa ke kantor polisi. “AM tidak termasuk orang yang dibawa ke Polresta Padang ataupun Polda Sumbar,” ucapnya. 

Suharyono menyatakan pihaknya pun telah memeriksa 30 personel yang berpatroli pada hari kejadian. Dia berjanji menindak tegas apabila benar ada personelnya yang menganiaya AM. “Saya sebagai Kapolda Sumbar akan bertanggung jawab jika memang ada anggota yang terlibat dalam penyimpangan ini,” tutur dia.

Sementara itu, di Kota Medan, Sumatera Utara, seorang remaja 15 tahun tewas tepat sebulan lalu. Hasil investigasi LBH Medan menyatakan korban berinisial MHS itu tewas karena dianiaya oleh anggota TNI. Indikasi itu mencuat karena Polres Medan menolak laporan ibu korban dan malah mengarahkannya ke Detasemen Polisi Militer (Denpom) I/5 Medan. “Karena berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diperiksa polisi, korban dianiaya oleh anggota TNI,” kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra kepada Tempo, Senin kemarin. 

Irvan menyatakan laporan ibu korban kepada Denpom I/5 Medan hingga saat ini berjalan di tempat. Meskipun telah memeriksa sejumlah saksi, Denpom I/5 sampai saat ini belum menetapkan satu pun tersangka. “Denpom mengaku masih kekurangan saksi,” kata Irvan. 

Menurut Irvan, MHS merupakan korban salah sasaran. Saat kejadian, 24 Mei 2024, MHS sebenarnya sedang bertemu dengan rekan-rekannya di atas jembatan rel kereta api yang tidak berfungsi lagi di Jalan Pelikan Ujung, Perumnas Mandala, Kota Medan. Kebetulan saat itu dua kelompok pemuda akan menggelar tawuran di sana. Aparat gabungan yang datang langsung membubarkan massa. 

MHS yang tak tahu apa-apa sempat melarikan diri karena dikejar aparat. Namun dia tertangkap dan menjadi bulan-bulanan aparat. MHS tak langsung tewas saat itu. Rekan-rekannya sempat membawa dia ke rumah sakit sebelum akhirnya korban mengembuskan napas terakhir. “Kondisinya kritis, banyak luka di badannya. Bagian kepala koyak, lebam di dada dan tangan,” kata Irvan. 

Indikasi keterlibatan anggota TNI dalam kematian MHS makin kental setelah Irvan mengaku pihaknya sempat mendapat intimidasi. Misalnya saat menggelar konferensi pers pada 21 Juni lalu. Saat itu, menurut Irvan, terdapat empat anggota TNI yang mengikuti acara di kantor LBH Medan tersebut. “Kami yakin, kedatangan empat anggota TNI dari Kodam itu makin menguatkan kejanggalan matinya MHS,” ujar Irvan.

Kepala Penerangan Kodam 1 Bukit Barisan Kolonel Rico Julyanto Siagian membantah tudingan penganiayaan oleh anggotanya terhadap MHS. Menurut dia, MHS jatuh dari rel saat pembubaran massa yang dilakukan personel dari Babinkamtibmas, Babinsa, dan Satpol PP. "Mereka bubar dan lari berhamburan. Anak itu jatuh dari rel,” ucapnya.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (Isess), Bambang Rukminto, menyayangkan peristiwa di Padang dan Medan itu. Dia mengingatkan, semestinya aparat bisa membedakan kasus kenakalan anak yang mengganggu ketertiban dengan kejahatan. Apalagi Indonesia sudah meratifikasi konvensi soal hak anak untuk menghormati dan melindungi anak.

Aparat, menurut dia, semestinya membangun ketertiban masyarakat secara terukur. “Semangat humanis kepolisian seharusnya tetap mengedepankan empati kepada terduga anak-anak pelaku tidak tertib sosial,” tutur Bambang saat dihubungi kemarin.

Secara umum, kata Bambang, kekerasan oleh aparat terjadi karena kurangnya pemahaman untuk menghargai hak anak. Hal itu, menurut Bambang, tak lepas dari minimnya pendidikan bagi aparat di tingkat bawah yang terbiasa berhadapan langsung dengan masyarakat dalam masalah seperti ini. 

Dengan pendidikan yang minim, aparat tak bisa memahami kompleksitas penegakan hukum, termasuk pemahaman terhadap hak anak. “Pendidikan di SPN (Sekolah Polisi Negara) yang cuma 5-7 bulan lebih pada pemahaman dasar-dasar kepolisian dan baris-berbaris. Tentunya sangat tidak memadai untuk memahami semua persoalan hukum yang terjadi di masyarakat,” katanya.

Irvan Saputra bersama Leni Damanik (tengah) mengungkap kasus kematian Histon Sitanggang dalam konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Medan, 21 Juni 2024. TEMPO/Mei Leandha

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, sependapat dengan Bambang. Menurut dia, belum semua aparat mendapat pendidikan dan pelatihan soal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). 

Sejauh ini, menurut dia, pendidikan dan pelatihan soal SPPA baru diberikan kepada penyidik kepolisian di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). “Padahal kasus yang melibatkan anak tidak semua ditangani oleh Unit PPA,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Sementara itu, komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menyatakan pihaknya telah mengirim surat permintaan klarifikasi kepada Polda Sumatera Barat. Poengky mengatakan perlu dilakukan pemeriksaan secara profesional dan menyeluruh dengan dukungan scientific crime investigation untuk mengungkap kasus ini. “Serta hasilnya dapat disampaikan kepada keluarga korban dan publik secara transparan,” ucap Poengky saat dihubungi kemarin.

Poengky mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan ke Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Konvensi itu melarang penyiksaan dalam bentuk apa pun kepada siapa pun, sekalipun dia merupakan seorang pelaku tindak pidana. Menurut dia, penyiksaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Masih maraknya penganiayaan oleh aparat, menurut dia, juga tak lepas dari gagalnya perubahan paradigma di tubuh penegak hukum. Menurut dia, dalam mengungkap sebuah kasus, seharusnya Polri sudah beralih ke pembuktian secara ilmiah. Jika benar kematian AM bukan karena penyiksaan, Polri harus bisa menjelaskan secara transparan dengan pembuktian secara ilmiah. “Sehingga tidak menimbulkan pertanyaan publik,” kata Poengky.

Dia juga menilai hal seperti ini seharusnya bisa dicegah dengan menggunakan teknologi. Misalnya, "Dengan memberikan body camera akan mencegah anggota melakukan pelanggaran," tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fachri Hamzah dari Padang dan Mei Leandha dari Medan berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus