Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada prinsipnya, senjata api digunakan polisi untuk melumpuhkan target, bukan membunuh.
Tidak ada jaminan prosedur penggunaan senjata api akan dipatuhi oleh polisi yang bertugas di lapangan.
Membunuh target hanya menjadi pilihan terakhir jika keadaan sudah benar-benar mendesak.
SENJATA api yang digunakan polisi telah merenggut nyawa PN, pria yang diduga seorang begal. Peluru masuk ke dada kiri pria itu dan menembus ke belakang. Kepala Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Rovan Richard Mahenu mengatakan anak buahnya terpaksa melepaskan tembakan karena PN melawan ketika ditangkap. “Sehingga kami melakukan tindakan tegas dan terukur,” katanya, Kamis, 16 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan terhadap PN berawal dari pembegalan yang terjadi di Jalan Arjuna, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada 11 Mei lalu. Korban, Satrio Mukti Raharjo, 18 tahun. Salah satu pelaku menyerang Satrio menggunakan senjata tajam. Serangan itu membuat jari kelingking Satrio putus. Paha dan tangan kanannya juga terluka. Kawanan begal kabur membawa sepeda motor dan dua handphone milik Satrio.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polda Metro Jaya menunjukkan barang bukti senjata tajam saat merilis pengungkapan kasus di wilayah hukum Polda Metro Jaya, di Mapolda Metro Jaya, 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Dari hasil penyelidikan, polisi mengidentifikasi kawanan begal itu terdiri atas PN, AY, dan MS. PN disebut sebagai pelaku utama yang menyerang Satrio. Sedangkan AY berperan sebagai joki dan MS bertugas mengawasi lokasi. Selain tiga orang itu, polisi menangkap C yang bertugas menjual sepeda motor hasil kejahatan serta W sebagai penadah.
Kawanan begal itu ditangkap pada 15 Mei lalu. Selain PN, polisi menembak AY dan MS. “Pelaku AY dan MS ditembak di kaki," kata Rovan.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, pada prinsipnya, polisi menggunakan senjata api untuk melumpuhkan tersangka kejahatan, bukan untuk membunuh. “Penembakan diarahkan pada bagian yang tidak vital dengan tujuan menghentikan pelaku, bukan mematikan,” katanya.
Prosedur penggunaan senjata api oleh polisi diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Tapi, kata Bambang, tidak ada jaminan prosedur itu benar-benar dipatuhi oleh personel yang bertugas di lapangan. “Apalagi pertanggungjawaban hanya kepada atasan langsung,” katanya. “Personel juga kemungkinan dapat menimbulkan bias kepentingan.”
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan, selain Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, penggunaan senjata api oleh polisi diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. “Penggunaan senjata api harus hati-hati,” ujar Poengky. “Apalagi risikonya bisa mengenai orang sehingga menimbulkan luka, bahkan meninggal.”
Menurut dia, dalam penggunaan senjata api, ada sejumlah prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, legalitas. Aparat hanya boleh menggunakan senjata api jika tujuan yang hendak dicapai itu sesuai dengan hukum dan cara-cara yang digunakan juga memenuhi prosedur hukum. Kedua, prinsip proporsionalitas. Artinya, saat penggunaan senjata api tidak dapat dihindari, kekuatan yang dikerahkan aparat harus proposional dengan tindak pelanggaran yang dilakukan.
Kemudian prinsip ketiga adalah nesesitas (keperluan) yang berarti harus menimbang apakah penggunaan senjata api pada masyarakat sipil benar-benar diperlukan dan benar-benar tidak ada metode alternatif lain yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan yang sama. Keempat, prinsip akuntabilitas, yang berarti pertanggungjawaban terhadap target yang terluka untuk dirawat dan pertanggungjawaban terhadap pimpinan langsung. “Sebutir peluru yang keluar tetap harus bisa dipertanggungjawabkan,” kata Poengky.
Dia mengingatkan bahwa penggunaan senjata api terhadap pelaku kejahatan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Senjata api tidak layak digunakan bila target tidak membahayakan personel Polri ataupun masyarakat. Misalnya, bila pelaku hanya melontarkan ancaman secara verbal.
Polda Metro Jaya mengungkap kasus begal sepeda motor, di Polda Metro Jaya, Jakarta, 2020. TEMPO/Subekti.
Pasal 7 ayat 2 huruf d Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan senjata api dapat digunakan oleh personel Polri dengan ketentuan tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Ketentuannya dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum.
Saat menggunakan senjata api pun diawali dengan tembakan peringatan. Setelah itu, setiap pemimpin yang menugasi anggotanya juga bertanggung jawab dan menyusun laporan penggunaan kekuatan untuk menjelaskan detail kondisi saat di tempat kejadian perkara (TKP).
Penggunaan kekuatan atau tindakan keras dan senjata api lebih detail diatur dalam Pasal 45 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Pada pasal selanjutnya disebutkan bahwa penggunaan senjata api harus terampil dan hanya untuk melindungi.
Berdasarkan Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, senjata api hanya boleh digunakan untuk enam hal, yaitu: 1. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; |
Poengky menuturkan penggunaan senjata api dapat dipertanggungjawaban kepada Bidang Profesi dan Pengamanan. Kemudian sebagai pengawas paling atas adalah inspektorat pengawas daerah di setiap satuan kepolisian daerah.
Menurut dia, penting bagi anggota kepolisian untuk memprioritaskan melumpuhkan target, bukan membunuhnya. Membunuh target hanya menjadi pilihan terakhir jika keadaan sudah benar-benar mendesak. “Perlu sekali latihan peningkatan keterampilan menembak bagi aparat agar tidak salah tembak,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, dari Pasal 5 dan seterusnya, juga memperhatikan perspektif hak asasi manusia dalam setiap penindakan. Penggunaan senjata api yang tepat oleh kepolisian memang terdapat diskresi. Tapi untuk menentukan diskresi ini sangatlah subyektif.
“Karena itu, perlu audit internal setelah penggunaan senjata api,” katanya. “Kemudian memberi pemahaman kembali kepada petugas perihal peraturan Kapolri.”
Penggunaan senjata api juga dapat dipersoalkan apabila terjadi penindakan yang tidak sesuai dengan prosedur, atau keluarga dari orang yang menjadi target operasi justru memprotes. Bila terjadi hal seperti itu, kepolisian wajib menjelaskan secara transparan.
Kepolisian harus bisa menjelaskan situasi mendesak seperti apa yang mengharuskan penggunaan senjata api untuk menangani suatu kasus. Dalam kasus terorisme, kata Wahyudi, kepolisian juga ada kemungkinan bakal menggunakan senjata api demi mengantisipasi penyerangan. “Tapi ada batasan-batasan, ada tahapan-tahapan untuk sampai pada penggunaan senjata itu."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Han Revanda Putra berkontribusi atas penulisan artikel ini.