Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Marak Caleg Terseret Kasus Penipuan

Kasus penipuan yang melibatkan caleg marak terjadi. Fenomena ini dinilai berhubungan dengan tingginya biaya politik.

13 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus dugaan penipuan oleh caleg marak terjadi menjelang Pemilu 2024.

  • Fenomena ini seperti sebuah tradisi lima tahunan.

  • Biaya politik yang mencekik dianggap menjadi penyebabnya.

JAKARTA – Berbagai kasus dugaan penipuan yang melibatkan calon anggota legislatif (caleg) mencuat ke publik dalam beberapa bulan terakhir. Mereka diduga terjepit karena kebutuhan dana kampanye yang besar. Kasus terbaru menimpa warga Depok bernama Fiqri Raviyandi, 27 tahun. Dia mengadukan kasus dugaan penipuan seorang caleg Dewan Perwakian Rakyat Daerah Kota Depok dari Partai Kebangkitan Bangsa berinisial S ke Kepolisian Sektor Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, pada 11 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Fiqri, masalah bermula ketika dia hendak membeli mobil bekas Mitsubishi Pajero Sport dari showroom mobil bekas milik S di wilayah Jatiwaringin, Pondok Gede. Fiqri dan S saat itu sepakat dengan harga Rp 532 juta. "Waktu itu dia minta DP (down payment atau uang muka) Rp 250 juta," kata Fiqri, Senin kemarin, 12 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fiqri menyatakan S berjanji mengirim mobil idamannya itu 14 hari setelah pembayaran uang muka. Namun S malah mengirim mobil Toyota Avanza kepada Fiqri dengan dalih sebagai jaminan sambil menunggu mobil pesanannya datang. Dua bulan berselang, seseorang mendatangi Fiqri dan mengaku sebagai pemilik mobil. Rupanya mobil itu merupakan sewaan. "Ternyata mobil rental dan enggak dibayar sama S," ujar Fiqri.

Setelah itu, S memberikan mobil Toyota Alya kepada Fiqri. Lagi-lagi dalihnya sebagai jaminan. Fiqri pun mengaku kembali dipermalukan karena dicegat di tengah jalan oleh pemilik mobil yang menyatakan kendaraan itu adalah sewaan. "Sejak 2022, saya sabar nunggu janji-janji dia," ucapnya.

Fiqri pernah mendatangi rumah orang tua S. Namun S justru menggertak Fiqri dengan pesan bernada mengancam. Ancaman dari S juga sempat ia terima pada Senin kemarin. S melalui pesan pribadi meminta Fiqri bersabar hingga proses Pemilu 2024 selesai. "Jangan macam-macam, ya. Pemilu tinggal dua hari lagi," kata Fiqri membacakan pesan dari S. 

Fiqri mengatakan S memang pernah menyatakan akan menjadi caleg pada Pemilu 2024. Dia tak ingin berspekulasi uangnya hilang untuk keperluan S melenggang sebagai wakil rakyat. Ia hanya meminta haknya, yakni unit mobil atau uang kembali. 

Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Pondok Gede Iptu Hariyadi mengaku belum menerima surat laporan tersebut. Karena baru didaftarkan, menurut dia, laporan itu kemungkinan besar masih berada di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polsek Pondok Gede. "Belum naik ke meja saya," kata Hariyadi saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, kemarin.

Tempo telah mencoba meminta konfirmasi ke Dewan Pimpinan Cabang PKB Kota Depok soal masalah ini. Namun, hingga berita ini diturunkan, upaya permintaan konfirmasi yang dilakukan Tempo belum berbalas.

Kasus dugaan penipuan oleh caleg juga terjadi di Sulawesi Selatan. Seorang caleg DPRD Kabupaten Sinjai dari Partai NasDem dilaporkan oleh pengusaha bernama Junaidi karena tuduhan penipuan dan penggelapan. Kuasa hukum Junaidi, Wandi, menyatakan awalnya kedua pihak menjalin kerja sama usaha tambang nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Junaidi menanamkan modal Rp 1 miliar dalam tambang yang dikelola Nursanti itu. 

Dalam perjanjian tersebut, menurut dia, Nursanti bersedia mengembalikan modal usaha pada 30 Desember 2022 plus keuntungannya. Bahkan, dalam perjanjian itu, Nursanti menjadikan mobil Toyota Alphard dan Mercedes-Benz sebagai jaminan. 

Setelah menginvestasikan uang Rp 1 miliar, Wandi melanjutkan, kliennya mentransfer lagi uang sebesar Rp 400 juta kepada Nursanti. Namun Nursanti tak kunjung mengembalikan uang itu kepada Junaidi saat jatuh tempo. "Belum dia (Nursanti) bayar satu perak pun, cuma janji-janji melulu," kata Wandi kepada Tempo, kemarin. Karena uangnya tak kunjung dikembalikan, Junaidi pun melaporkan Nursanti ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dengan Pasal 378 dan 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada September 2023.

Adapun Nursanti pernah membantah tudingan penipuan itu. Nursanti menyatakan masalah ia dengan Junaidi adalah urusan bisnis. Dia mengatakan bisnis tambang itu mengalami kerugian. Dalam bisnis, ia melanjutkan, untung-rugi seharusnya ditanggung bersama. "Dalam berbisnis, kita harus pahami ada tanggung jawab, risiko, dan konsekuensinya. Jadi di mana bentuk dari unsur penipuan dan penggelapannya?" katanya saat menggelar konferensi pers di Makassar, Sulawesi Selatan, 10 Januari lalu.

Kasus serupa terjadi di Sukabumi. Caleg DPRD Kota Sukabumi serta caleg DPRD Jawa Barat, WP dan RB, dilaporkan ke Kepolisian Resor Sukabumi oleh Xavier Gathan. Kuasa hukum Xavier, Diah Ekawati, mengatakan kasus ini bermula dari jual-beli lahan dan bangunan yang dijadikan Graha Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasim, Sukabumi, di Jalan Raya Sukaraja No. 251, Desa Pasirhalang, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Kedua pihak awalnya sepakat dengan harga Rp 2 miliar.

WP dan RB awalnya membayar Rp 1 miliar, sementara sisanya dibayar menggunakan cek atas nama PT Pasim Sentra Utama. Diah menyatakan ternyata cek yang diberikan WP dan RB itu tak bisa dicairkan. Masalah inilah yang kemudian membuat Xavier melaporkan WP dan RB ke Polres Sukabumi. "Pelaporan ke polisi sudah dilakukan pada Mei 2023, tapi sampai sekarang belum ada kepastian hukum," kata Diah.

Pengacara WP dan RB, Adam Mandala, membantah tudingan bahwa kliennya melakukan penipuan. Dia membenarkan bahwa kliennya membeli lahan dan bangunan milik Xavier seharga Rp 2 miliar. Soal cek yang tak bisa dicairkan, menurut dia, RB sempat menemui ayah XG berinisial A dan menawarkan sisa pembayaran akan diinvestasikan ke bisnis yag dikelola RB.

Menurut Adam, RB menawarkan keuntungan 2,5 persen atau senilai Rp 25 juta per bulan. "Bahkan pelapor pun menerima tawaran dengan syarat meminta Rp 100 juta lebih dulu sehingga sisa yang dibayarkan sejumlah Rp 900 juta," katanya kepada Tempo, kemarin.

Setelah kesepakatan itu, Adam menyatakan kliennya selalu mentransfer hasil keuntungan investasi sebesar Rp 25 juta setiap bulan kepada XG. Sedangkan cek dengan nominal Rp 1 miliar yang diberikan RB kepada A dianggap gugur atau tidak berlaku karena telah ada kesepakatan baru soal investasi.

"Tapi tiba-tiba A berniat mencabut kesepakatan investasi. Pihak RB merasa berkeberatan karena dana investasi sudah diputarkan pada bisnis yang dikelola RB dengan catatan bunga terus berjalan," kata Adam.

Maraknya kasus penipuan dan penggelapan yang melibatkan para caleg seperti sebuah tradisi lima tahunan. Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro menilai hal itu tak terlepas dari besarnya dana kampanye yang harus ditanggung para caleg. Menurut dia, sistem pemilu Indonesia saat ini membuat para kontestan bersaing secara padat modal.

Alat peraga kampanye sejumlah partai terpasang di sekitar jembatan penyeberangan di Jakarta, 26 Desember 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Agung mengatakan sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam pemilu saat ini membuat kompetisi makin sengit. Para caleg tak hanya harus berkompetisi dengan kandidat dari partai lain, tapi juga dari partainya sendiri.

Modal besar akan makin dibutuhkan para caleg yang belum punya popularitas di masyarakat. Mereka harus merogoh dana ekstra untuk memperkenalkan diri agar memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. "Sehingga hal-hal semacam penipuan, investasi bodong, dan tindakan turunannya memang menjadi keniscayaan karena untuk mengkompensasi biaya mahal tadi," kata Agung kepada Tempo, kemarin.

Hal itu, Agung melanjutkan, sebenarnya dapat diantisipasi dengan dua hal. Pertama, caleg seharusnya bisa mempersiapkan diri jauh sebelum pencalonan. Para caleg, menurut dia, seharusnya sudah mempopulerkan diri jauh sebelum tahun politik. Dengan begitu, mereka akan punya modal popularitas ketika mencalonkan diri. Kedua, Agung menilai seharusnya ada pengawasan yang jauh lebih ketat terhadap penggunaan dana kampanye.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | DIDIT HARIYADI (MAKASSAR) | M. SIDIK PERMANA (SUKABUMI) | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus