Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Penista Agama Diancam Penjara 5 Tahun dalam Draf Final RKUHP

Dalam draf final RKUHP diatur soal penodaan agama. Pelaku penista agama diancam pidana penjara lima tahun.

7 Juli 2022 | 10.50 WIB

Menafsir Ulang Pasal Penodaan Agama
Perbesar
Menafsir Ulang Pasal Penodaan Agama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tetap mengatur soal penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang draf finalnya diserahkan ke DPR kemarin. Dalam draf final ini, pelaku penista agama diancam pidana penjara lima tahun.

"Setiap orang di muka umum yang: melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," bunyi pasal 302 RKUHP.

Pasal 304 selanjutnya mengatur ancaman pidana penodaan agama melalui teknologi informasi. Pelaku tindak pidana ini juga diancam hukuman penjara maksimal lima tahun.

Sementara ancaman hukuman bagi orang yang mengajak orang lain tidak beragama, dua tahun penjara. Jika disertai kekerasan, pelaku akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.

"Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 304 RKUHP.

Pasal penodaan agama sudah beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi, namun selalu gagal. Dalam laporan yang dikeluarkan YLBHI, sepanjang Januari hingga Mei 2020 terdapat 38 kasus penodaan agama di seluruh Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga menyayangkan sikap polisi dalam penanganan kasus-kasus penodaan agama itu . Menurut YLBHI, polisi masih tunduk pada tekanan massa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Polisi seringkali memproses kasus itu karena sudah viral,” kata Ketua YLBHI, Asfinawati, dalam peluncuran Laporan Penodaan Agama di Indonesia Sepanjang 2020 secara daring, Ahad, 4 Juli 2021.

Asfinawati mengatakan YLBHI menemukan banyak kasus polisi mulai menangani tindakan penodaan agama karena lebih dulu menjadi polemik di media sosial. Polisi, kata dia, kemudian berdalih bahwa penangkapan itu dilakukan untuk menjaga ketertiban umum. Padahal, pada pasal 156 KUHP tidak ada penjelasan mengenai ketertiban umum atau viral yang bisa membuat seseorang dipidana.

Selain itu, Asfinawati mengatakan ada pula kasus seorang pelaku dijemput paksa oleh sekelompok orang lalu dibawa ke kantor polisi. Dia menyayangkan kepolisian tetap memproses kasus tersebut.

Baca juga: Pemerintah dan DPR Buka Peluang Bahas Ulang RKUHP Terbatas soal 14 Isu Krusial

DEWI NURITA

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus