Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia Police Watch (IPW) meminta Kepolisian Daerah Sumatera Barat tidak mencari orang yang memviralkan dugaan penyiksaan oleh polisi di Kota Padang, yang mengakibatkan tewasnya bocah 13 tahun, Afif Maulana. Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan justru orang yang memviralkan itu sedang mengingatkan supaya polisi tidak menggunakan pendekatan kekerasan dan harus humanis. “Saya berharap ucapan Pak Kapolda untuk mencari siapa yang memviralkan tuduhan polisi menganiaya itu dihentikan,” kata Sugeng, Ahad, 30 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sugeng mengingatkan agar polisi tidak mencari-cari kambing hitam untuk dikriminalkan. Menurut dia, viralnya kasus dugaan penyiksaan ini justru membuat publik lebih perhatian terhadap apa yang terjadi. “Kapolda Sumatera Barat tampaknya telah melupakan instruksi Kapolri bahwa kritik kepada Polri adalah satu masukan yang harus diterima dan didalami, bukan kemudian dikriminalisasi,” ucap Sugeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono mengatakan ingin mencari orang pertama yang memviralkan kasus ini. Dia beralasan bahwa memviralkan kasus tersebut bersifat trial by the press, yaitu justifikasi seolah-olah polisi bertindak salah, polisi telah menganiaya seseorang sehingga berakibat hilangnya nyawa orang lain. “Sejauh mana dan apa yang dia ketahui terhadap apa yang diucapkan di media sosial itu,” kata perwira tinggi Polri tersebut dalam konferensi pers di Polda Sumatera Barat, Ahad, 23 Juni.
Pernyataan Suharyono itu disampaikan setelah kematian Afif Maulana membetot perhatian publik seusai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengungkapkan hasil investigasi mereka bahwa bocah 13 tahun itu disiksa oleh polisi yang sedang berpatroli. Afif ditemukan mengambang di bawah Jembatan Kuranji, Jalan Bypass, Padang, Sumatera Barat, pada Ahad, 9 Juni lalu. Direktur LBH Padang Indira Suryani menjelaskan, lembaganya menginvestigasi dengan cara menanyakan saksi kunci, yakni teman Afif, A, 17 tahun, yang berboncengan sebelum kejadian nahas itu. "A bercerita, pada malam kejadian, korban berboncengan dengannya di Jembatan Aliran Batang Kuranji, " ujarnya.
Kronologi Kasus Kematian Afif Maulana
Afif dan A, yang sedang mengendarai sepeda motor, dihampiri polisi yang berpatroli untuk mengantisipasi tawuran. "Tiba-tiba kendaraan korban ditendang oleh polisi dan AM terlempar ke pinggir jalan. Ketika itu, kata A kepada LBH Padang, jaraknya sekitar 2 meter dari AM," ucap Indira.
Dia mengungkapkan, A diamankan oleh polisi ke Kepolisian Sektor Kuranji. A sempat melihat Afif dikerumuni oleh polisi, tapi kemudian mereka terpisah. Berdasarkan pengakuan A, saat ditangkap polisi, dia melihat Afif berdiri dan dikelilingi oleh anggota kepolisian yang memegang rotan. Sekitar pukul 11.55 WIB pada 9 Juni, Afif ditemukan meninggal. Jenazah Afif diautopsi dan keluarga korban menerima kopi sertifikat kematian. Ayah Afif, Afrinaldi, merasa ada yang janggal dari kematian putra sulungnya itu. "Keluarga korban diberi tahu oleh polisi bahwa AM meninggal akibat tulang rusuk patah enam buah dan robek di bagian paru-paru," kata Afrinaldi. Atas peristiwa tersebut, dia pun membuat laporan ke Kepolisian Resor Kota Padang.
Selain dari A dan Afif, LBH Padang mendapat keterangan dari tujuh korban lain. Lima di antaranya masih di bawah umur. Para korban ini diduga disiksa oleh polisi. "Kami telah bertemu dengan korban," ujar Indira. Dari pengakuan korban, kata dia, ada yang disetrum, perutnya disundut rokok, kepalanya memar, lalu ada luka berlubang di bagian pinggangnya.
Kronologi Kasus Kematian Afif Maulana
Selain mendapat penyiksaan, korban mengalami kekerasan seksual. Bahkan ada korban yang dipaksa berciuman dengan sesama jenis. “Kami cukup kaget mendengar keterangan korban, tidak hanya fisik, tapi juga melakukan kekerasan seksual," ujarnya. Ketika tim LBH Padang bertemu dengan korban dan keluarganya, Indira mengatakan mereka sangat ketakutan atas situasi tersebut.
LBH Padang mengungkapkan, sejauh ini baru ada delapan orang dari total 18 korban kekerasan yang berani memberi keterangan. Mereka didampingi oleh 56 orang kuasa hukum yang terdiri atas tim gabungan LBH Padang dan beberapa pengacara lain.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, menilai permasalahan kunci dalam kasus ini adalah komunikasi antara Polda Sumatera Barat dan LBH Padang yang tidak terjalin dengan baik. Hal ini terjadi karena kedua pihak tak saling mengenal. “Kalau saling kenal, pasti jika ada masalah bisa dikomunikasikan dengan baik sehingga tidak ada kesan saling serang,” ujarnya.
Menurut Poengky, Kapolda Sumatera Barat dapat mengundang LBH Padang untuk menjelaskan duduk perkara dalam kasus ini. “Sekali lagi, saya melihat intinya komunikasi. Komunikasi yang baik akan menghilangkan jurang kesalahpahaman,” katanya.
Dosen Departemen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, mengatakan seharusnya kepolisian melakukan visum dan menjelaskan secara komprehensif penyebab kematian Afif. Menanggapi pernyataan Suharyono itu, Akbar menilai pasal pencemaran nama dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mewajibkan ada pembuktian tentang fakta yang dituduhkan sebagaimana tertuang dalam Pasal 27A.
“Jika orang yang memviralkan hendak dijerat pakai Pasal 28 ayat 3 tentang berita bohong juga harus jelas fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Jadi seharusnya kepolisian berfokus pada fakta yang sebenarnya terjadi,” ujar Akbar. Dalam konteks pencemaran nama, kata dia, jika dilakukan untuk kepentingan umum, tidak dapat dianggap sebagai pencemaran. “Karena itu, yang memviralkan malah harus diapresiasi dan kepolisian yang harus mengungkap fakta sebenarnya,” tuturnya.
Kapolda Sumatra Barat Irjen Pol Suharyono. padangpariaman.sumbar.polri.go.id
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, pun menyayangkan tindakan Kapolda Sumatera Barat dalam menangani kasus dugaan kekerasan oleh polisi ini. Bambang berpendapat, informasi dari masyarakat seharusnya tetap dilihat sebagai bentuk partisipasi untuk mengawal Polri supaya lebih baik, bukan sebagai upaya menyudutkan Korps Bhayangkara yang akan berulang tahun ke-78 per 1 Juli 2024. “Bukan hanya kesaksian anggotanya yang tentu bias kepentingan,” kata Bambang.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut mengawal kasus ini. Anggota KPAI, Dian Sasmita, mengatakan pihaknya telah bertemu dengan orang tua dan keluarga besar almarhum Afif untuk mengumpulkan data. KPAI juga menemui beberapa korban yang mengalami kekerasan, seperti dipukul, disundut rokok, disetrum, dan disuruh berguling-guling. “Kami sudah bertemu dengan beberapa korban anak yang mengalami kekerasan tersebut. Ada 11 orang yang berusia anak dalam kasus ini,” kata Dian.
KPAI menilai 11 anak dari total 18 korban kekerasan oleh polisi di Polsek Kuranji membutuhkan pendampingan hukum, psikososial, serta perlindungan dari negara. Perihal kondisi terakhir korban anak itu, Dian tidak menjawab detail demi keamanan saksi.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Barat Komisaris Besar Dwi Sulistyawan mengatakan saat ini mereka berfokus pada pengungkapan kasus kematian Afif Maulana dan proses pelanggaran yang terjadi di Polsek Kuranji. Dwi mengatakan, perihal pencarian pihak yang memviralkan kematian Afif disebabkan oleh anggotanya, hal ini belum ditindaklanjuti. “Belum ada (tindak lanjutnya) soal pernyataan Kapolda Sumbar,” ucapnya saat dihubungi Tempo, Ahad lalu.
INTAN SETIAWANTY | FACHRI HAMZAH | M. FAIZ ZAKI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo