Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komnas HAM telah membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kembali kematian Munir.
Pembunuhan Munir dikategorikan pelanggaran HAM berat.
Pemerintah belum pernah menyampaikan secara terbuka hasil temuan Tim Pencari Fakta Kasus Munir.
JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membuka kembali penyelidikan atas kematian Munir Said Thalib. Tim ad hoc untuk penyelidikan itu sudah dibentuk pada 20 September 2022. Bekas Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, Marsudhi Hanafi, juga sudah dimintai keterangan pada 12 Februari 2024. “Komnas HAM hanya minta klarifikasi tentang hasil temuan TPF,” ujar Marsudhi saat dihubungi kemarin, 10 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munir Said Thalib dikenal sebagai aktivis HAM asal Kota Malang, Jawa Timur, yang kerap menyuarakan isu kemanusiaan pada era Orde Baru. Bersama sejumlah kawannya, ia mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marsudhi menjelaskan, keterangan yang ia sampaikan kepada penyelidik Komnas HAM antara lain kronologi lengkap kematian Munir, bukti-bukti, dan enam orang yang diduga sebagai pelaku. Dari temuan-temuan itu, TPF memberikan tiga rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang diserahkan pada 24 Juni 2005.
Pensiunan polisi berpangkat brigadir jenderal itu memastikan laporan TPF juga sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Namun hingga saat ini laporan TPF tersebut tidak pernah disampaikan kepada publik. Padahal pemerintah wajib melakukannya. Marsudhi tidak mengetahui alasan di balik sikap pemerintah itu.
Aktivis hak asasi manusia Suciwati, istri Munir Said Thalib, memberikan orasi saat Peringatan 19 Tahun Pembunuhan Munir, di kantor Komnas HAM, Jakarta, September 2023. TEMPO/Subekti
Menurut Marsudhi, rekomendasi yang diberikan TPF kepada pemerintah terdiri atas tiga poin. Pertama, pemerintah direkomendasikan membentuk tim pencari fakta yang memiliki kewenangan lebih tinggi. Kedua, presiden memerintahkan Kepala Polri mengaudit kinerja penyidikan Polri. Terakhir, presiden memerintahkan Kapolri menindaklanjuti temuan TPF yang telah mengetahui nama-nama yang diduga terlibat.
Marsudhi menjelaskan, rekomendasi pertama diberikan karena TPF yang ia pimpin memiliki keterbatasan. Misalnya TPF terhambat dalam mengumpulkan barang bukti dan data dari Badan Intelijen Negara (BIN) karena alasan rahasia negara. Kendala itu muncul karena ada pihak-pihak tertentu di lembaga tersebut yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. “Kesulitan kami itu hanya sulit mengambil data dari BIN, yang lain tidak,” kata Marsudhi.
Walau begitu, kata Marsudhi, TPF menyimpulkan pembunuhan berencana terhadap Munir merupakan pelanggaran HAM berat. Orang yang diduga terlibat dalam kasus ini berjumlah enam, termasuk eks pilot maskapai Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto. “Pembunuhannya itu benar-benar rahasia, terencana, masif, bersekongkol, dan ada kerja sama korporasi,” ucapnya.
Pollycarpus diganjar hukuman 20 tahun penjara karena dinilai terbukti membunuh Munir secara terencana. Dia memasukkan racun arsenik ke dalam jus jeruk yang diminum oleh Munir dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam pada 6 September 2004. Munir tewas keesokan harinya sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Belanda.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah membenarkan bahwa lembaganya telah membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kembali kematian Munir. Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi telah dilakukan. “Kami belum bisa menginformasikan berapa jumlahnya,” ujar Anis, 9 Maret 2024.
Komnas HAM, dalam keterangan tertulis 29 Desember 2023, menyatakan tim ad hoc penyelidikan kasus Munir melibatkan berbagai unsur masyarakat. Mereka yang masuk tim ad hoc diwajibkan menjaga kerahasiaan penyelidikan. Karena itu, Komnas HAM tidak akan secara aktif memberikan informasi tentang penyelidikan yang sedang berjalan.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menjelaskan, penyelidikan oleh tim ad hoc ini akan dilaksanakan secara hati-hati dan mementingkan aspek keamanan saksi atau pihak lain yang terlibat. “Karena itu juga bisa berpengaruh pada penyelidikan,” kata Abdul Haris.
Dia menyampaikan bahwa penegakkan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Jenis pelanggaran HAM berat meliputi dua hal, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat tidak mengenal waktu kedaluwarsa seperti pada peradilan pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kasus pelanggaran HAM berat, pihak korban juga bisa meminta keadilan atas kerugian yang timbul.
Halangan Penanganan Pelanggaran HAM Berat
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras Andi Muhammad Rezaldi menegaskan bahwa pembunuhan Munir merupakan pelanggaran HAM berat. Alasannya, kejahatan ini melibatkan lembaga negara dan pihak korporasi Garuda Indonesia, serta dilakukan secara sistematis.
Dugaan pelanggaran HAM berat terhadap Munir, kata Andi, termasuk dalam Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal tersebut merujuk pada perbuatan membunuh sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. “Kasus Munir bukan merupakan tindak pidana umum,” ujarnya.
Terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto (tengah) saat keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, 2014. TEMPO/Prima Mulia
Menurut Andi, penanganan kasus ini tidak pernah tuntas karena tak ada keseriusan dari pemerintah. Persoalan itu terlihat pada aspek political will yang membuat negara tidak memiliki kemauan kuat untuk mengungkap dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. “Tentu ini akan berimplikasi pada gelapnya perlindungan atas kerja-kerja pembela HAM di masa mendatang,” katanya.
Kontras selama ini telah menagih informasi lengkap kepada pemerintah soal laporan TPF Kasus Munir. Sebelumnya juga sudah ada upaya sidang sengketa informasi publik untuk menagih Kementerian Sekretariat Negara, tapi hasil penyelidikan TPF tak kunjung diungkap.
Setiap tahun, Kontras menagih Komnas HAM agar kasus pembunuhan Munir ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Upaya yang dilakukan adalah audiensi serta meminta kejelasan penyelidikan dan rekomendasi nama-nama penyelidik eksternal. “Optimisme tetap ada. Penyelidikan sedang dilakukan oleh Komnas HAM,” kata Andi.
Abdul Haris Semendawai mengatakan penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat sering kali terganjal masalah prosedur. Dimulai dari pembentukan tim ad hoc oleh Komnas HAM, penyidikan oleh Kejaksaan Agung, hingga pembentukan hakim ad hoc. Pembentukan pengadilan HAM pun memerlukan keputusan presiden. “Kalau presiden tidak membentuk pengadilan HAM, tidak bisa jalan,” ucapnya.
Selain itu, penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu harus mendapat rekomendasi dari DPR. Setelah DPR memberikan rekomendasi, harus ditindaklanjuti dengan penerbitan keputusan presiden. Saat ini, kata Abdul Haris, Komnas HAM telah menyelidiki 17 kasus pelanggaran HAM berat. Namun tidak semuanya dituntaskan sampai pengadilan karena penyidikan belum selesai.
M. FAIZ ZAKI | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo