Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Penyerangan Gereja, SETARA: Serangan atas Kebebasan Beragama

SETARA menilai penyerangan gereja St Lidwina terjadi karena ada kelompok-kelompok yang merasa diuntungkan dengan menggunakan isu keagamaan.

11 Februari 2018 | 15.51 WIB

Suasana pasca-penyerangan Gereja Santa Lidwina, Sleman Yogyakarta. Aparat kepolisian terlihat masih berjaga-jaga di sekitar lokasi. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Perbesar
Suasana pasca-penyerangan Gereja Santa Lidwina, Sleman Yogyakarta. Aparat kepolisian terlihat masih berjaga-jaga di sekitar lokasi. TEMPO/Pribadi Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naispospos mengatakan kasus yang terjadi di Gereja St. Lidwina merupakan serangan kepada kebebasan beragama. Jemaah di Gereja St. Lidwina diserang oleh seorang pemuda yang membawa pedang pada Ahad, 11 Februari 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Kasus ini harus kita lihat sebagai serangan kepada kebabasan beragama karena kejadiannya berlangsung saat sedang ibadah,” kata Bonar kepada Tempo, Ahad, 11 Februari 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Bonar, penyerangan terjadi karena ada kelompok-kelompok yang merasa diuntungkan dengan menggunakan isu keagamaan. Ia mengatakan, keuntungan tersebut bisa untuk individu dan kelompoknya secara ekonomi, politik, maupun sosial.

Bonar mengatakan, isu keagamaan mencuat karena dalam kasus ini, Yogyakarta sedang mengalami era distrupsi. Menurut Bonar, sebelumnya Yogyakarta dikenal sebagai kota yang toleran.

Namun, kata Bonar, perubahan sosial yang begitu cepat, ditambah dengan digitalisasi kehidupan sosial, dapat mengakibatkan relasi-relasi yang tadinya sudah teratur, menjadi berubah dan tidak lagi toleran. Akhirnya, menurut dia, orang atau kelompok tersebut menganggap identitas yang berbeda sebagai lawan.

“Orang jadi cemas. Mengakibatkan tadinya yg sederhana menjadi terganggu. Itu lah sebabnya menjadi penting untuk menunjukkan dan memperkuat identitas mereka,” kata Bonar.

Pandangan yang keras dalam agama, menurut Bonar, juga menjadi faktor yang memperkeruh ketidakbebasan beragama. Di sisi lain, kata Bonar, masyarakat asli di Yogyakarta juga merasa tersingkir akan datangnya orang luar karena kesenjangan ekonomi.

Menurut Bonar, hal itu lah yang membuat Yogya mendapat sorotan beberapa tahun terakhir soal politik identitas, khususnya kebebasan beragama. Ia pun menilai aparat dan Sultan sebagai penjaga kebudayaan Yogyakarta, belum menunjukkan kebijakan dan tindakan yang mampu menjaga toleransi yang sebenarnya dulu sudah baik di Yogyakarta. “Kalau terus dilakukan pembiaran dan tidak diselesiakan secara serius, maka dikhawatirkan akan menjadi problem yang lebih besar lagi di kemudian hari,” kata Bonar.

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus