Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Praktik perdagangan bayi di Indonesia masih tinggi.
Kemiskinan menjadi pendorong utama praktik perdagangan bayi.
Perlu ada langkah penanganan dari hulu untuk menekan jumlah kasus.
JAKARTA – Praktik ilegal penjualan bayi di Indonesia terbilang masih tinggi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, pada 2019 terdapat 111 anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Angkanya bertambah pada 2020 sebanyak 213 anak dan setahun berikutnya melonjak hingga 406 anak. Kemudian pada 2022 tercatat 219 anak dan tahun lalu tercatat 206 anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemiskinan dan tekanan ekonomi dinilai menjadi salah satu faktor pendorong orang tua bayi terlibat dalam kejahatan ini. Gambaran itu paling tidak terlihat dalam kasus terbaru yang dibongkar oleh Kepolisian Resor Jakarta Barat. “Ibu yang menjual bayinya memang berasal dari kelompok rentan secara ekonomi,” kata Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian PPPA, Ciput Eka Purwanti, akhir pekan lalu.
Kelompok rentan ini, kata Ciput, biasanya tidak menyadari bila perbuatan mereka itu merupakan kejahatan. Di sisi lain, pelaku memang mengincar kelompok rentan karena relatif mudah dibujuk untuk menyerahkan bayi mereka dengan imbalan uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilustrasi perdagangan bayi. Shutterstock
Praktik perdagangan bayi yang dibongkar Kepolisian Resor Jakarta Barat itu berawal dari laporan seorang perempuan berinisial T, 35 tahun. Perempuan itu menyebutkan bayinya dibawa oleh perempuan berinisial EM, 30 tahun. Polisi menangkap EM dan suaminya, AN, di Karawang, Jawa Barat, pada Februari 2024.
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa T ternyata menjual bayinya kepada EM pada 13 Desember 2023. Transaksi berlangsung di kediaman T di Jalan Duri Selatan, Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Kepala Polres Jakarta Barat Komisaris Besar M. Syahduddi mengatakan T dan EM berkenalan di sebuah grup media sosial yang khusus membahas tentang adopsi anak. Saat itu kandungan T masih berusia 8 bulan. Ia sedang dalam kesulitan ekonomi karena tidak memiliki mata pencarian, sementara suaminya tidak ada kabar. T berniat mencari orang tua yang bersedia mengadopsi anaknya.
EM mengajukan diri untuk merawat bayi T. Sebagai bentuk kesungguhan, dia berjanji bakal memberikan uang Rp 4 juta kepada T sebagai pengganti biaya persalinan. Namun, setelah bayi lahir, EM hanya memberikan uang Rp 1,5 juta. EM berjanji kekurangannya akan dibayar beberapa hari kemudian. “Setelah seminggu, EM tidak memenuhi janji, sehingga T merasa ditipu,” kata Syahduddi. “Karena itu, T melapor ke Polsek Tambora."
Belakangan polisi menemukan fakta bahwa EM sebelumnya juga mendapatkan empat bayi dengan cara yang sama. Tiga bayi diperoleh dari Karawang dan satu bayi lainnya dari Surabaya, Jawa Timur. EM menitipkan bayi-bayi itu di rumah orang tuanya di Jalan Rancalili, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, Jawa Barat.
Penjabat sementara Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lia Latifah, mengatakan ada beberapa motif yang membuat ibu menjual bayinya. “Yang paling banyak karena bayi itu lahir di luar pernikahan,” kata Lia, 25 Februari 2024. Motif tersebut muncul karena ibu bayi—yang biasanya masih berstatus pelajar—tidak siap menerima kehadiran sang bayi. Apalagi orang tua dan keluarga tidak bersedia mengasuh bayi tersebut.
Ilustrasi perdagangan bayi. Shutterstock
Motif ekonomi, kata Lia, juga bisa mendorong orang tua melepas bayinya. Dalam sejumlah kasus, orang tua dalam kelompok miskin memiliki lebih dari dua anak. Mereka merasa kehadiran bayi akan menambah beban keluarga. “Ujungnya menempatkan anak sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan,” katanya.
Literasi masyarakat yang kurang terhadap pendidikan seksual dan hukum juga menjadi catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Masih ada individu yang tidak mengetahui konsekuensi hukum yang diterima jika menjual anaknya di balik modus adopsi.
Ciput Eka Purwanti mengatakan, untuk menekan jumlah kasus, diperlukan langkah pencegahan dari hulu yang melibatkan masyarakat. "Kami ingin mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana amanat Undang-Undang Perlindungan Anak,” katanya. “Jadi, ini bukan hanya tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah."
Ciput berharap anak-anak yang menjadi korban TPPO mendapat kepastian dalam pengasuhan. Kesiapan keluarga yang akan mengasuh anak-anak tersebut juga harus dipastikan. Pekerja sosial tentu bisa memberikan asesmen untuk mengukur kesiapan itu. “Prioritas adalah keluarga terdekat,” katanya. Jika keluarga terdekat tidak ada atau tak lolos asesmen, bisa dimungkinkan untuk diadopsi oleh orang lain secara legal. “Tentu kalau adopsi legal itu enggak ada biaya sama sekali.”
M. FAIZ ZAKI | AISYAH AMIRA WAKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo