Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ferienjob: Tepatkah Disebut Perdagangan Orang

Polisi memasukkan pengiriman mahasiswa ke luar negeri lewat program magang Ferienjob sebagai perdagangan orang. Mengapa?

1 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus Ferienjob dinilai memenuhi sejumlah unsur untuk ditetapkan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

  • Sejumlah pihak mendukung langkah polisi mengusut kasus ini.

  • Namun ada juga pihak yang menilai kasus ini tak masuk TPPO.

KISRUH program kerja kontrak bagi mahasiswa di Jerman berbalut magang atau yang disebut Ferienjob masih terus berlanjut. Meskipun Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri telah menyatakan bahwa ada dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), ada pula ahli yang menyatakan program tersebut belum masuk kategori kejahatan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengungkapkan sejumlah indikasi adanya tindak pidana perdagangan orang dalam kasus ini. Misalnya para mahasiswa mendapatkan iming-iming magang saat mendapatkan sosialisasi program ini, sementara di negara asalnya, Ferienjob ini merupakan program kerja murni. “Program ini sebetulnya resmi di Jerman, di mana setiap Oktober sampai Desember itu adalah program merekrut mahasiswa untuk bekerja mencari tambahan uang saku dan lain sebagainya," kata Djuhandhani, Rabu, 27 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Djuhandhani menyatakan lima tersangka yang telah ditetapkan oleh penyidik menghubung-hubungkan Ferienjob ini dengan program pendidikan di Indonesia agar dapat dikategorikan sebagai magang. Selain itu, para tersangka disebut mengubah data untuk bisa meloloskan mahasiswa yang mengikuti program tersebut, misalnya data visa menggunakan visa liburan, bukan visa kerja.

Dalam kasus ini, Bareskrim Polri telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah guru besar Universitas Jambi, Profesor Sihol Situngkir; Direktur PT Sinar Harapan Bangsa, Enik Rutita alias Enik Waldkonig; bos CV GEN, Amsulistiani alias Ami Ensch; serta dua dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), berinisial AJ dan MZ.

Polisi menyatakan Sihol, Enik, dan Ami merupakan tiga orang yang mensosialisasi program ini dengan berbalut magang ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dalam sebuah video sosialisasi yang sempat dilihat Tempo, Sihol jelas menyebutkan Ferienjob bisa masuk program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Bahkan Sihol sempat menyebutkan program ini bisa dikonversi ke dalam 20 SKS. “Untungnya bagi mahasiswa apa? Sertifikat 20 SKS MBKM. Itu pasti diakui oleh Nadiem Makarim (Mendikbudristek),” kata Sihol dalam sosialisasi di sebuah universitas ternama di Jakarta tersebut.

Dalam video itu, Sihol juga sempat menyebutkan seorang yang bersamanya dalam sosialisasi sebelumnya sebagai perwakilan dari pemerintah Jerman. Padahal, menurut penelusuran polisi, orang tersebut hanya berperan sebagai perwakilan perusahaan penyalur tenaga kerja di Jerman. Sosialisasi itu pun dihadiri oleh Enik bersama suaminya yang berkewarganegaraan Jerman, Ron Waldkonig.

PT SHB, menurut polisi, berperan dalam menandatangani kontrak dengan 33 universitas yang mahasiswanya ikut dalam program ini. PT CV GEN berperan dalam pengurusan visa dan penempatan para mahasiswa selama di Jerman. Sedangkan AJ dan MZ merupakan pihak yang berperan dalam kontrak dengan UNJ.

Direktur Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro memberikan keterangan kepada wartawan kasus TPPO magang di Jerman, Jakarta, 27 Maret 2024. ANTARA/Laily Rahmawaty

Sihol Situngkir sempat membantah menjamin Ferienjob bisa masuk dalam MBKM. “Saya tidak pernah bilang bahwa Ferienjob termasuk program MBKM,” kata Sihol kepada Tempo, Sabtu, 23 Maret 2024.

Kuasa hukum Enik, Husni Az-Zaki, membantah kliennya ikut dalam tipu muslihat itu. Menurut dia, Enik sempat berbeda pendapat dengan para tersangka lain soal penggunaan narasi magang dalam mensosialisasi program ini ke berbagai kampus. "Bu Enik paham, magang dan praktik kerja ini ada satu tipu muslihat. Ada keterangan yang tidak benar dengan peserta yang diberangkatkan," kata Husni pada Jumat, 29 Maret 2024.

Adapun pihak CV GEN membantah ikut terlibat dalam kasus TPPO ini. Ami menyatakan pihaknya hanya membantu PT SHB. “Saya hanya membantu penyediaan platform,” ujarnya seperti dikutip dari laporan majalah Tempo edisi 31 Maret 2024 berjudul Mengapa Ferienjob ke Jerman Masuk Kategori Perdagangan Orang.

Koordinator Bantuan Hukum Migrant CARE, Nurharsono, menilai langkah polisi menetapkan kasus Ferienjob sebagai TPPO sudah benar. Dalam kasus ini, menurut dia, unsur perdagangan orang sudah terpenuhi. Di antaranya, para tersangka menyebut Ferienjob adalah program internship internasional, bukan kerja. Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk penipuan.

Dia juga menyatakan cerita sejumlah mahasiswa yang baru disodori kontrak kerja saat mereka berada di Jerman juga dinilai bisa memenuhi unsur pemaksaan. Apalagi kontrak tersebut dibuat dalam bahasa Jerman, yang sebagian besar mahasiswa itu tak memahaminya.

Selain itu, menurut Nurharsono, para mahasiswa menceritakan bahwa mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar. Hal itu, menurut dia, memenuhi unsur eksploitasi dalam perdagangan orang. “Pembohongan atau penipuan informasi dengan modus magang adalah masuk unsur cara. Adapun dipekerjakan sebagai buruh yang tidak sesuai dengan skema magang adalah bentuk eksploitasi,” kata Nurharsono saat dihubungi pada Ahad, 31 Maret 2024.

Pasal 1 Undang-Undang TPPO memang menyebutkan salah satu modus penempatan tenaga kerja bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang adalah adanya penipuan dan pemaksaan. Selain itu, terdapat pula unsur eksploitatif.

Terlebih, kata Nurharsono, CV GEN dan PT SHB tidak memiliki surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) dari Kementerian Ketenagakerjaan, sehingga perekrut tersebut dikategorikan sebagai perseorangan. “Bisa dijerat UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Pasal 69 dan Pasal 81,” ujarnya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, pun menilai adanya unsur eksploitatif dalam kasus ini. “Diduga ada unsur itu karena ada suatu modus tidak sesuai yang dibayangkan semula. Ada unsur pekerjaan yang tidak sesuai dengan porsi mahasiswa,” kata Suparji saat dihubungi secara terpisah.

Suparji mengatakan, dalam program magang pun, mahasiswa seharusnya mendapatkan porsi pembelajaran. Dalam kasus Ferienjob, menurut dia, para mahasiswa murni bekerja. Selain itu, dia menilai unsur perdagangan orang terpenuhi dalam kasus ini karena para mahasiswa yang berangkat ke Jerman untuk dipekerjakan justru diminta membayar sejumlah uang. “Mahasiswa magang kan belajar, malah diperdagangkan. Apalagi kalau ada pihak yang menerima keuntungan, itu yang tidak boleh (eksploitasi),” ujarnya.

Sejumlah mahasiswa yang mengikuti program ini sempat menyatakan mereka memang harus mengeluarkan uang hingga Rp 10 juta. Uang itu mereka setorkan ke PT SHB dan CV GEN untuk pendaftaran, pengurusan visa, hingga hal lainnya yang berhubungan dengan penempatan mereka selama di Jerman.

Meski demikian, Suparji mengatakan, pembuktian unsur TPPO itu harus dibuktikan oleh penyidik. Karena itu, dirinya berharap penyidik segera menuntaskan proses penyidikan agar kasus ini tidak menjadi polemik berkepanjangan.

Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad. DETIK.COM/Ari Saputra

Pakar hukum dari Universitas Gajah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, berpendapat bahwa kasus ini harus dilihat secara komprehensif bagaimana sejumlah pihak menawarkan program tersebut kepada mahasiswa hingga visa yang diterbitkan untuk itu. “Jika kemudian labelnya adalah edukasi, tapi kemudian malah pekerjaan eksploitasi ekonomi, bisa masuk TPPO,” kata Fatahillah kemarin.

Fatahillah mengatakan unsur eksploitatif tidak selalu bernuansa paksaan, tapi ada pula yang berjalan tanpa adanya paksaan. “Kata kuncinya itu di eksploitasi. Karena unsur eksploitasi juga bisa dengan persetujuan. Kasus TKI ilegal itu banyak yang ingin pergi, tapi tetap bisa TPPO karena ada eksploitasi,” ujarnya.

Menurut Fatahillah, salah satu kunci untuk membuktikan adanya eksploitasi atau tidak dalam kasus ini berada di Pasal 1 angka 7 UU TPPO. Pasal tersebut menyatakan terdapat unsur keuntungan materiil atau imateriil dari pihak yang melakukan eksploitasi tersebut.

Direktur Migrant Watch, Aznil Tan, tidak sepakat jika Ferienjob disebut sebagai TPPO. Meski program itu sarat persoalan ketika diterapkan di Indonesia, alih-alih TPPO, dia menyebutnya hanya kesalahan prosedur penempatan mahasiswa. “Jangan latah melabelkan kasus di dunia ketenagakerjaan sebagai bentuk TPPO karena ini bisa jadi aib bagi negara Indonesia. Bahkan pihak pemerintah Jerman bisa tersinggung jika program Ferienjob mengandung unsur TPPO,” kata dia, Jumat, 29 Maret 2024, seperti dilansir Antara.

Dia mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO disebutkan bahwa TPPO hanya bisa disematkan pada pelaku apabila di dalamnya ada kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, atau penipuan. “Jadi, keliru kalau kasus ini dinyatakan sebagai kasus TPPO,” katanya.

Aznil mengatakan Ferienjob merupakan program resmi dari pemerintah Jerman bagi mahasiswa untuk mengisi waktu libur dengan berbagai pekerjaan kasar. Masalahnya, kata dia, banyak mahasiswa asal Indonesia tidak siap kerja dan menganggap program tersebut sebagai program liburan sambil bekerja. Bahkan, dalam kasus tersebut, tidak ada mahasiswa yang disekap, pulang mengalami cacat, atau mental terguncang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus