Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Peringatan Hakim MK ke Ahli Prabowo: Sesama Guru Besar Tidak Boleh Saling Mendahului

Hakim MK Arief Hidayat memberikan catatan kepada ahli dari Kubu Prabowo-Gibran soal gugatan batas usia calon presiden dan wakil presiden.

4 April 2024 | 11.51 WIB

Delapan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum untuk Pemilihan Presiden 2024 atau PHPU Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, 1 April 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari
Perbesar
Delapan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum untuk Pemilihan Presiden 2024 atau PHPU Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, 1 April 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat memberikan catatan kepada ahli dari Kubu Prabowo-Gibran, Andi Muhammad Asrun, dalam sidang sengketa hasil Pilpres hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Pak Asrun, saya tidak bertanya, tapi ini didengar oleh publik di seluruh Indonesia dan memberikan pelajaran kepada ahli hukum di Indonesia yang muda-muda, supaya kita kalau bicara clear," kata Arief di Gedung MK, Jakarta pada Kamis, 4 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arief lalu mengutip makalah Asrun yang menyebutkan bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tengang batas usia capres-cawapres bersifat self executing atau dapat dilaksanakan langsung. 

Hakim konstitusi ini menjelaskan, putusan MK sebenarnya ada yang bersifat self executing dan non-self executing. Arief pun menyebut tidak masalah jika Asrun mengkategorikan Putusan 90 sebagai self executing.

"Itu tidak masalah karena guru besar bisa berpendapat, tapi siapa tahu 10 tahun kemudian malah jadi teori baru, jadi tidak masalah," ucap Arief.

Tapi, kata dia, Putusan 90 tidak bisa disamakan dengan Putusan MK 102/PUU-VI/2009. Sebagai informasi, Putusan 102 dimohonkan salah satunya Refly Harun dan Maheswara Prabandono.

Keduanya mengajukan judical review terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kedua pasal tersebut mengatur syarat menggunakan hak pilih pada saat pemungutan suara, yakni terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Putusan MK yang kala itu dipimpin oleh Mahfud Md. memutuskan aturan tersebut konstitusional bersyarat. Sehingga, masyarakat bisa mencoblos di luar DPT dengan menggunakan identitas, seperti KTP atau paspor.

"Putusan Mahkamah nomor 102 itu diputuskan pada sore hari, malam hari KPU mengubah PKPU-nya," ucap Arief.

Sebab, kata dia, pada waktu itu belum ada putusan MK yang mengatakan KPU mengubah atau membuat Peraturan KPU harus berkonsultasi ke DPR. Arief pun memberikan catatan bahwa argumen dalam melakukan acara hukum harus diberikan dengan presisi dan cermat.

"Kita sama-sama guru besar tidak boleh saling mendahului seperti bus kota," ujar Arief.

 

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus