Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBANYAKAN penduduk tak membiarkan anak-anak gadis kecilnya
bermain jauh. Ke sekolah pun anak mereka terpaksa diantar
jemput. Malam hari lebih repot lagi. Tak ada yang bisa tidur
nyenyak - meski pintu dan iendela sudah diberi penguat ekstra.
"Kami seperti orang senewen," kata Nyonya Sueb yang punya dua
anak gadis kecil. Ia tetap merasa khawatir walaupun petugas
keamanan dan pemuda desa terus berjaga-jaga.
Suasana tak enak, meski gadis cilik Maisaroh (bukan nama asli),
11 tahun, sudah kembali ke rumah. Seminggu lamanya ia dirawat di
rumah sakit Gambiran, Kediri, karena diperkosa penjahat
misterius tengah malam 1 Maret lalu. Sejak kejadian itu penduduk
Desa Kwadungan di Kecamatan Gampangrejo semakin dicekam
ketakutan. Apalagi mereka yang rumahnya tak jauh dari kuburan.
Suasana mencekam terasa pula di beberapa desa lain di kecamatan
yang sama (tujuh kilometer utara Kediri) dan Kecamatan Wates (17
kilometer sebelah timur Kediri) Jawa Timur. Sejak Januari lalu,
5 anak gadis cilik telah diperkosa di kedua kecamatan itu. Dan
seorang lagi dari Desa Doko Gampangrejo, nyaris pula menjadi
korban. Ia sudah diculik dari rumah orangtuanya di suatu tengah
malam dan dibawa ke kebun tebu yang banyak terdapat di daerah
itu. Untung, "penduduk memergokinya dan langsung mengejar
penjahat," kata Letda Pol Suhady Mulyono, Dansek Gampangrejo
kepada TEMPO pekan lalu.
Bedebah itu ternyata bisa lolos. Berikutnya ia juga dapat lolos
dari kepungan penduduk Kwadungan - padahal 1 sudah berhadapan
muka dengan muka dengan salah seorang pengepungnya. "Waktu
hendak memukul, seketika ia seperti tak berdaya," kata penduduk
Kwadungan. Maka beredarlah cerita, pemerkosaan anak kecil itu
bukan sembarang penjahat, melainkan seseorang yang ingin mencoba
keampuhan ilmu hitamnya. "Ilmu sirep," seperti kata Rusmadi, 50
tahun, penduduk Sukorejo.
Orang ini diandalkan penduduk bisa menangkap penjahat. Karena
Rusmadi dulu pernah belajar ilmu hitam selama tiga tahun,
sebelum merasa tobat, ilmu itu tak cocok dengan keyakinannya
sebagai pemeluk Islam.
Rusmadi mendasarkan dugaan berdasar kenyataan bahwa si bedebah
selalu menculik korban di tengah malam. Dan sasarannya adalah
rumah di dekat kuburan. "Kalau sudah bisa menyirep anak-anak
yang masih murni," kata Rusmadi," penjahat yakin ilmu yang baru
dipelajarinya sudah merasuk ke dalam dirinya." Apalagi, bila
sudah berani melewati kuburan di tengah malam, "berarti tiga
sudah lulus."
Di malam 1 Maret lalu, ibu Maisaroh, Aisyah (33 tahun), yang
rumahnya dekat kuburan, memang tiba-tiba merasa mengantuk
sekali. Janda dengan empat anak itu segera mematikan lampu
tempel dan tertidur pulas. Tengah malam anaknya yang bungsu
menangis minta makan. "Waktu saya bangun, pintu belakang dan
jendela sudah terbuka," katanya. Sebuah sepeda dan Maisaroh,
anak nomor dua, tak ada lagi di tempatnya. Ia berteriak minta
tolong. Penduduk meronda seluruh desa.
Pukul tiga dini hari, Maisaroh ditemukan penduduk di kebun tebu,
sedang menangis. Kemaluannya tampak berlumur darah. Ia
merangkak, lalu mencoba berdiri, tapi kemudian jatuh kembali.
Pingsan. Pagi harinya ia dilarikan ke rumah sakit.
Menurut cerita Maisaroh kemudian, malam itu ketika bangun tidur,
ia merasa digendong seseorang. Lalu ia disuruh berjalan menuju
kebun tebu, seraya didorong-dorong. "Saya menjerit, lalu mulut
saya dibungkam," katanya. Selanjutnya adalah cerita yang
menyedihkan yang sulit dikemukakan. Namun ia masih bisa
mengingat ciri-ciri pemerkosanya: bertubuh gemuk, rambut
keriting dan berkaus oblong warna merah.
Penduduk yang pernah memergoki, memberi gambaran lebih jelas
bahwa pemerkosa itu bertubuh gempal, tak memakai alas kaki dan
selalu bercelana pendek. Bila tak memperkosa di kebun tebu, ia
melakukannya di sawah. Tapi jelas, penjahat selalu memilih
tempat dekat sungai dan jembatan.
Berdasarkan ciri-ciri yang bisa dikumpulkan, diduga penjahatnya
berjumlah dua orang. Letda Pol Suhady, yang hampir tiap saat
keluyuran di daerah yang dianggap rawan, meminta agar bila
bertugas jaga malam penduduk mengenakan celana panjang. "Supaya
mudah membedakannya dengan penjahat yang selalu bercelana
pendek," katanya. Ia punya firasat, pelaku pemerkosaan keji itu
tak lain penduduk daerah itu sendiri. Dengan begitu ia mudah
menghilang. Bila dikejar, katanya, penjahat bisa jadi sembunyi
sebentar lalu ikut mengejar bersama yang lain.
Adalah hubungannya antara pemerkosaan yang bertubi-tubi dengan
ilmu hitam? "Peristiwa ini memang agak aneh. Tapi seberapa jauh
hubungannya dengan ilmu hitam, baru bisa dibuktikan setelah
penjahat tertangkap," Suhady menjawab hati-hati. Namun penduduk
yakin betul bahwa pelaku kejahatan tak lain orang yang sedang
mencoba ilmu hitamnya. Apalagi, kata Rusmadi, sekitar tahun
1960-1970 kejadian yang mirip pernah terjadi di daerah Kediri.
Ketika itu beberapa kali terjadi pemerkosaan misterius. Hanya
saja, yang diperkosa bukan anak kecil, melainkan wanita yang
sudah bersuami.
Setelah diteliti, kata Rusmadi lagi, pelakunya tak lain
orang-orang yang sedang berguru ilmu hitam di Gunung Wajak,
Tulungagung. Kini padepokan itu telah dibongkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo