Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perusakan Musala di Tumaluntung Dinilai Gerogoti Demokrasi

SETARA Institute mengutuk tindakan main hakim sendiri terkait perusakan musala di Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

1 Februari 2020 | 03.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - SETARA Institute mengutuk tindakan main hakim sendiri dan perusakan musala yang terjadi di Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tindakan ini dinilai melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Praktik vigilantisme oleh sekelompok masyarakat nyata-nyata menggerogoti demokrasi di Indonesia yang seharusnya dikuatkan dengan elemen rule of law," kata Halili, direktur Riset SETARA Institute, melalui keterangan tertulis, Jumat 31 Januari 2020.

Kekerasan yang digunakan sebagai instrumen dalam konflik dan ketegangan sosial-keagamaan akan menggerus proses demokrasi. Karena meskipun demokrasi sejatinya terbuka terhadap kontestasi dan aspirasi, namun mensyaratkan ini dilakukan dengan pendekatan dan tindakan non-kekerasan.

Insiden perusakan tempat ibadah di Tumaluntung ini sebelumnya beredar melalui video. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Utara, Komisaris Besar Jules Abraham Abast, mengatakan obyek perusakan adalah balai pertemuan bukan musala.

Dalam video itu terlihat sebuah spanduk yang bertuliskan penolakan warga terhadap pendirian musala atau masjid dengan tiga alasan. Pertama, penduduk di sekitar lokasi 95 persen di antaranya merupakan non-Muslim. Kedua, warga terganggu dengan suara toa yang dianggap bising. Ketiga, warga tidak mau terancam tindak pidana penistaan agama karena memprotes kebisingan toa.

Kecaman atas peristiwa ini juga diserukan oleh Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid. Dia menyatakan mengecam peristiwa perusakan bangunan tempat ibadah di Perumahan Griya Agape itu.

Yenny mengatakan tempat yang diberi nama Musala Al-Hidayah itu sebenarnya sedang dalam proses perizinan untuk secara resmi menjadi rumah ibadah bagi warga Muslim setempat.

"Wahid Foundation mengecam tindak perusakan tempat ibadah yang tidak hanya mengakibatkan kerugian material tetapi juga mengoyak wajah toleransi antar umat beragama dan elemen bangsa," kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat, 31 Januari 2020.

FIKRI ARIGI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus