Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jerat Hukum untuk Partai Politik yang Menerima Uang Korupsi

Partai politik bisa dibubarkan jika terbukti menerima dana korupsi. Perlu keseriusan aparatur penegak hukum.

27 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Instrumen hukum untuk menjerat partai politik yang menerima aliran dana korupsi telah tersedia.

  • Sayangnya, aparat penegak hukum dinilai tak serius menjerat partai.

  • Padahal hukumannya sangat berat, bahkan sampai pembubaran.

ALIRAN DANA hasil tindak pidana korupsi bisa membuat partai politik mendapatkan sanksi pembekuan, bahkan pembubaran. Tapi, hingga saat ini belum ada lembaga penegak hukum yang khusus mengusut masalah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bendahara Umum Partai NasDem Ahmad Sahroni mengembalikan uang pemberian eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang sempat mampir ke partainya pada Senin, 25 Maret 2024. Uang senilai Rp 40 juta itu diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi yang menjerat Syahrul. “Rp 40 juta kami transfer dari rekening Fraksi NasDem khusus bencana alam ke rekening tujuan KPK," kata Sahroni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sahroni mengatakan uang dari SYL yang sempat mampir ke rekening partainya total berjumlah Rp 860 juta. Uang itu merupakan sumbangan untuk bantuan korban bencana gempa di Cianjur yang disalurkan melalui Partai NasDem. Sahroni menyatakan partainya juga telah mengembalikan dana sebesar Rp 820 juta tiga bulan lalu.

Pengembalian itu ditengarai rangkaian dari penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang tengah menjerat Syahrul Yasin Limpo. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sahroni pada Jumat, 22 Maret 2024. Dalam penyidikan kasus korupsinya, KPK memang menemukan dugaan aliran dana dari SYL kepada NasDem. Aliran dana itu pun tertuang dalam surat dakwaan KPK terhadap SYL.

Anggota DPR RI juga Bendahara Partai Nasdem, Ahmad Sahroni, setelah memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa sebagai saksi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 22 Maret 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum KPK menyatakan uang itu berasal dari tindakan Syahrul memeras para pejabat eselon satu beserta jajarannya di Kementerian Pertanian. "Atas pengumpulan uang secara paksa tersebut, antara lain dipergunakan terdakwa untuk Partai NasDem dengan total Rp 40,1 juta," kata jaksa KPK saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu, 28 Februari 2024.

Kasus ini menambah panjang deretan aliran dana hasil korupsi ke partai politik. Menurut catatan Tempo, sejumlah kasus serupa sempat terjadi pada masa lalu. Misalnya dalam kasus korupsi kuota impor daging di Kementerian Pertanian pada 2013. Dalam kasus ini, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq diseret ke meja hijau.

Dalam persidangan, sejumlah saksi menyatakan ada cawe-cawe dari beberapa elite PKS untuk mengupayakan tambahan kuota impor. Para elite ini disebut membicarakan soal pengumpulan uang hingga Rp 2 triliun untuk pemenuhan target dana kampanye PKS dalam Pemilu 2014.

Begitupun dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP dengan tersangka Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI, Setya Novanto. Dalam persidangan, Setya mengaku uang senilai Rp 5 miliar dari hasil korupsi itu ditransfer ke partai berlambang pohon beringin tersebut untuk membiayai rapat pimpinan nasional (rapimnas) partainya pada 2017.

Tak hanya itu, Golkar juga diduga menerima aliran dana korupsi PLTU Riau-1. Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih, yang menjadi salah satu tersangka, mengaku mengalirkan dana dari hasil korupsi itu senilai Rp 2 miliar untuk kegiatan Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar. Uang itu kemudian dikembalikan Partai Golkar ke KPK.

Pakar hukum dari Universitas Pakuan, Yenti Garnasih, menyatakan aliran dana hasil korupsi kepada partai politik jelas merupakan TPPU. Dia menyatakan pembubaran partai yang terlibat dalam pencucian uang bisa dilakukan menggunakan Pasal 7 UU TPPU. Pasal tersebut mengatur soal hukuman bagi korporasi yang terlibat dalam TPPU. Hukumannya mulai dari denda maksimal Rp 100 miliar, pembekuan, pembubaran, hingga pengambilalihan aset.

Menurut Yenti, partai bisa dikategorikan sebagai korporasi sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 1 Nomor 10 UU TPPU. Pasal itu menyatakan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. “Dalam riwayat pembuatan UU TPPU, korporasi itu bukan hanya perusahaan, tapi parpol juga termasuk korporasi,” kata Yenti saat dihubungi Tempo, Selasa, 26 Maret 2024.

Perempuan yang menjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan itu menyatakan bahwa dalam Pasal 6 UU TPPU disebutkan korporasi dapat dipidanakan. Syaratnya, aparat penegak hukum harus membuktikan jika tindak pidana pencucian uang itu dilakukan atas perintah dari personel pengendali korporasi atau dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

Pada praktiknya, menurut dia, aparat penegak hukum kerap tak mendalami tindak pidana pencucian uang oleh partai politik. Yang terjadi, kasus tersebut dianggap selesai begitu partai mengembalikan uang hasil korupsi anggotanya yang mereka terima.

Mengutip Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Yenti menyatakan seharusnya pengembalian uang itu tak menghapuskan jerat pidana. “Pasal 4 UU Tipikor sudah jelas, pengembalian hasil korupsi tidak meniadakan dapat dipidananya orang/korporasi dalam hal ini parpol,” kata Yenti.

Yenti mencontohkan pengembalian uang Rp 27 miliar ke Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi base transceiver station (BTS) Bakti Kominfo. Setelah uang itu dikembalikan, tak ada proses pidana. “Padahal korupsi bukan perdata. Ini memang fenomena yang buruk,” ujarnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menambahkan, aturan untuk menjerat partai politik dalam tindak pidana korupsi juga tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016. “Itu sudah ada peraturannya di Perma 13 Tahun 2016 tentang penanganan korupsi oleh korporasi. Parpol itu tergolong korporasi,” kata Egi saat dihubungi secara terpisah.

Egi pun menyayangkan belum adanya penindakan terhadap partai politik dalam berbagai kasus korupsi yang terungkap hingga saat ini, meskipun secara aturan sudah bisa dilakukan. Padahal, dia mengatakan, partai politik patut diduga menerima aliran dana haram dari setiap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggotanya.

Keengganan aparat penegak hukum untuk serius mendalami hal itu, menurut Egi, menjadi alasan mengapa sampai saat ini tidak ada satu pun partai politik yang mendapatkan sanksi. “Kalau aparat penegak hukumnya punya kemauan, itu seharusnya bisa. Ini karena tidak ada keseriusan dari aparatnya,” kata Egi.

Dia mencontohkan dalam kasus korupsi PLTU Riau-1. Selain Eni Maulani Saragih, kasus itu menjerat eks Menteri Sosial Idrus Marham yang sama-sama berasal dari Partai Golkar. “Dua aktor itu kan dari Partai Golkar, lalu ada ucapan juga itu akan digunakan untuk musyawarah partai. Tapi itu tidak ditelusuri,” kata Egi.

Peneliti lembaga Transparency International Indonesia (TII), Sahel Muzzammil, pun sepakat bahwa aparat penegak hukum dinilai enggan mengusut partai politik dalam perkara korupsi. Sahel pun menilai masih masuknya aliran dana haram ke partai politik karena belum maksimalnya mekanisme transparansi dan akuntabilitas keuangan di partai. Ini mengakibatkan partai politik selalu terseret dalam skandal korupsi. “Sementara mereka terus mengkambinghitamkan oknum," kata Sahel kemarin.

Yenti pun sependapat soal tidak adanya keseriusan dari aparat penegak hukum untuk menjerat partai politik dalam perkara korupsi ataupun TPPU. Kalau ada keseriusan, menurut dia, seharusnya aparat penegak hukum bisa mengendus aliran dana tersebut. Hal itu, menurut dia, bisa terlihat dari nilai pemberian yang tak wajar atau mencurigakan, hingga bagaimana sikap pengurus partai waktu itu. “Know your client, what the reason of accepted, tapi tetap diterima dan kemudian ternyata dari hasil korupsi ya sanksi bisa dijatuhkan,” kata Yenti.

Meski demikian, Yenti menyadari bahwa menjatuhkan hukuman pembubaran bagi sebuah partai politik tidak semudah itu. Jika ada partai yang dinyatakan terlibat dalam tindak pidana korupsi atau TPPU, menurut dia, pembubarannya tetap harus melalui Mahkamah Konstitusi. Hal itu tercantum dalam Pasal 41 UU Partai Politik yang menyatakan pembubaran hanya bisa dilakukan jika partai tersebut membubarkan diri sendiri, bergabung dengan partai lain, atau dibubarkan oleh MK. “Sudah sangat jelas, kalau terlibat TPPU, partai bisa dibubarkan, meski berikutnya yang melakukan MK,” ujar Yenti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Mutia Yuantisya dan Diva Suukyi Larasati berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus