Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berulangnya kasus narkoba yang melibatkan anggota kepolisian dianggap sebagai pertanda lemahnya pengawasan internal.
Polri diminta melakukan pengawasan lebih ketat lagi untuk mencegah hal ini terus terjadi.
Hukuman ekstraberat pun perlu diberikan kepada anggota kepolisian yang terbukti terlibat.
KASUS penyalahgunaan narkoba oleh anggota kepolisian kembali berulang. Kasus terbaru, lima polisi ditangkap oleh Tim Buser Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metro Depok di Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, pada Jumat lalu, 19 April 2024. Mereka adalah Briptu FAR, Briptu IR, Briptu DW, Briptu FR, dan Brigadir DW. Brigadir DW, yang bertugas di Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Timur, belakangan dilepaskan karena tak terbukti ikut memakai narkoba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, video seorang anggota Kepolisian Sektor Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Briptu L, mengkonsumsi narkotika jenis sabu pun viral di media sosial. Video itu disebut dibuat pada 16 Januari 2024. Berdasarkan pemeriksaan Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Briptu L dinyatakan positif mengkonsumsi amfetamin dan metamfetamin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya menjadi pengguna, ada juga anggota kepolisian yang menjadi bagian dari jaringan pengedar narkoba. Pada Februari lalu, Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung, memvonis mati mantan Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan, AKP Andri Gustami, karena menjadi kaki tangan gembong narkotika Fredy Pratama. Ada juga kasus penjualan barang bukti sabu oleh mantan Kepala Polda Sumatera Barat, Irjen Teddy Minahasa, yang sempat menggemparkan publik pada 2022.
Wartawan menunjukkan video penangkapan anggota kepolisian di Cimanggis, Depok, ihwal kasus dugaan penyalahgunaan narkoba. Video tersebut diunggah dalam akun Instagram @info_cikarang_karawang. TEMPO/Nita Dian
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai berulangnya kasus pelanggaran oleh anggota kepolisian seperti ini sebagai hal yang tak bisa ditoleransi. Anggota kepolisian, kata Bambang, seharusnya memiliki disiplin dan etika organisasi yang kuat. Hal itu, menurut dia, bisa tercipta jika terdapat sistem kontrol dan pengawasan moral serta integritas yang kuat. Sejauh ini, dia pun menilai sistem kontrol dan pengawasan tersebut belum berjalan secara optimal. “Terbukti kasus-kasus pelanggaran terus berulang lagi,” ujar Bambang saat dihubungi pada Selasa, 23 April 2024.
Bambang memahami bahwa tindak kejahatan seperti penyalahgunaan narkotika itu bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk polisi. Dia menjelaskan, kejahatan bisa terjadi karena faktor niat dari pelakunya, kesempatan, dan kemampuan. Dalam konteks anggota kepolisian, dia menilai kesempatan dan kemampuan tersebut cukup besar karena kewenangan mereka yang juga besar. Karena itu, kesempatan dan kemampuan untuk berbuat kejahatan tersebut harus diminimalkan dengan pengawasan yang ekstraketat. “Yang bisa dilakukan adalah meminimalkan,” ujar Bambang.
Polri, menurut Bambang, sebenarnya memiliki konsep pengawasan internal yang cukup baik karena memiliki pengawasan melekat yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2022. Dalam aturan itu, menurut dia, atasan memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan perilaku bawahannya agar tidak melakukan pelanggaran etik maupun hukum. Hanya, menurut Bambang, pelaksanaannya di lapangan masih belum optimal.
Meskipun pengawasan internal itu dianggap belum optimal, Bambang mengapresiasi langkah kepolisian menangkap sendiri anggotanya dalam kasus ini. Hanya, dia mengingatkan agar seluruh elemen kepolisian meningkatkan pengawasan supaya kejadian serupa tidak kembali terulang. “Harus terus ditingkatkan agar pelanggaran yang sama tidak terulang lagi,” kata Bambang.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Albertus Wahyurudhanto sepakat dengan pernyataan Bambang itu. Menurut dia, polisi sejauh ini sudah memiliki mekanisme pengawasan internal yang dilakukan oleh Inspektorat Pengawas Umum (Irwasum), Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), serta sejumlah satuan kerja pendukung lainnya.
Tak hanya secara internal, menurut dia, Polri saat ini juga diawasi secara eksternal oleh DPR RI; Kompolnas; Kementerian Sekretariat Negara; Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Badan Pengawas Keuangan (BPK); BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan); Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah); serta Ombudsman.
Albertus juga menilai saat ini Polri mendapatkan pengawasan eksternal dari masyarakat luas. Hal itu tak lepas dari keberadaan media sosial, sehingga tindakan personel Polri pasti terpantau oleh publik. Dia pun menganggap pengawasan eksternal seperti ini sangat penting karena Polri sebagai institusi yang melayani publik. “Maka kepentingan publik harus ada yang memfasilitasinya,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Soal pengawasan dari masyarakat, Albertus menyatakan pihaknya juga menerima ribuan aduan tiap tahun. Dari jumlah itu, menurut dia, Direktorat Reserse Kriminal menjadi yang paling banyak diadukan dibanding satuan kerja lainnya di kepolisian. Karena itu, dia menilai perlu adanya pengawasan yang lebih ketat agar tak ada lagi masyarakat yang mengeluhkan kinerja kepolisian.
Komisioner Kompolnas lainnya, Poengky Indarti, menyatakan pihaknya akan meminta klarifikasi kepada Polda Metro Jaya dan Polda Sumatera Selatan soal penanganan kasus penggunaan narkoba tersebut. Poengky Indarti menyatakan polisi juga perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh soal asal muasal narkotika yang mereka gunakan. Poengky pun meminta kepolisian menelusuri apakah para anggotanya itu terlibat dalam jaringan narkoba atau justru mengambil barang bukti hasil sitaan.
Kepolisian juga harus menjerat anggotanya itu dengan sanksi pidana maksimal apabila terbukti. Pengenaan pasal terhadap terduga pelaku juga mesti berlapis sebagai efek jera. “Termasuk pasal pemberatan hukuman karena mereka adalah aparat penegak hukum,” ujarnya.
Bukan hanya para terduga pelaku, Poengky juga meminta kepolisian memeriksa atasan langsung para anggota yang terlibat dalam kasus itu. Dia menilai para atasan langsung tersebut telah gagal melakukan pengawasan karena anggotanya terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
Poengky pun mengingatkan agar polisi yang terbukti mengkonsumsi narkoba mendapatkan sanksi etik berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Pasalnya, menurut dia, anggota kepolisian yang menyalahgunakan narkotika tidak layak lagi bekerja sebagai aparat penegak hukum. “Sudah tidak layak lagi dipercaya menjadi anggota Polri,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Adil Al Hasan berkontribusi dalam artikel ini