Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Waspada Pungli PPDB

Hasil survei KPK pada 2023 menemukan praktik pungli masih terjadi dalam PPDB. 

5 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023 yang dilakukan KPK menunjukkan masih banyak praktik pungutan liar dalam PPDB.

  • Pungli itu menyamar dalam berbagai bentuk, dari uang seragam, uang bangunan, hingga jual-beli bangku.

  • Masyarakat diminta aktif melapor.

KOMISI Pemberantasan Korupsi mengeluarkan surat edaran soal pencegahan praktik pungutan liar (pungli) dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2024. Edaran itu keluar setelah Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan yang mereka lakukan tahun lalu menunjukkan masih banyaknya praktik culas dalam PPDB.

  

"Hasil SPI Pendidikan 2023 menunjukkan praktik pungutan tidak resmi ditemukan di 2,24 persen sekolah responden survei," kata juru bicara bidang pencegahan KPK, Ipi Maryati Kidung, melalui keterangan resminya, Senin, 3 Juni 2024. 

 

Dalam survei itu, KPK membagi dua kluster pungli. Pertama, pungli adalah pungutan yang dilakukan pihak sekolah di luar biaya resmi. Angkanya seperti yang diucapkan oleh Ipi. Kluster kedua, berdasarkan laporan hasil survei yang didapat Tempo, pungli adalah pemberian imbalan kepada pihak sekolah dalam PPDB. Angkanya lebih tinggi, mencapai 21,31 persen dari jumlah sampel. Sebagai catatan, angka itu hanya untuk tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. 

 

Tak hanya pungli, praktik culas berupa calon siswa titipan pejabat juga menjadi temuan KPK dalam SPI Pendidikan 2023. Hasil survei itu menunjukkan terdapat 38,77 persen sekolah yang mengaku menerima siswa titipan pejabat dari tingkat kota/kabupaten hingga pusat. 

Ipi menyatakan praktik culas ini umumnya terjadi ketika ada calon peserta didik yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Melalui surat edaran itu, Ipi melanjutkan, KPK mendorong semua pihak yang terlibat dalam proses penyelenggaraan PPDB untuk menghindari tindakan koruptif. "Guna mendorong penyelenggaraan PPDB yang obyektif, transparan, dan akuntabel, KPK menerbitkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi dalam Penyelenggaraan PPDB," kata Ipi. 

 

Dalam surat edaran itu, KPK meminta pihak-pihak yang terlibat dalam proses PPDB—tenaga pengajar hingga orang tua calon siswa—segera berkoordinasi dengan inspektorat daerah masing-masing atau kantor wilayah dan/atau inspektorat kementerian terkait apabila menemukan adanya dugaan tindakan koruptif. Selain itu, KPK mengingatkan aparatur sipil negara (ASN) agar melapor dalam jangka waktu 30 hari kerja jika mereka menerima gratifikasi dalam PPDB.

Tak hanya KPK, Ombudsman Republik Indonesia juga menemukan hal serupa. Temuan itu terlampir dalam laporan pengawasan PPDB 2023 yang mereka serahkan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Agama pada September tahun lalu. Laporan itu merupakan hasil pengawasan yang dilakukan Ombudsman RI terhadap PPDB di 158 kabupaten/kota di 28 provinsi pada Maret-Agustus 2023.

 

Pengawasan dilakukan terhadap 158 satuan pendidikan, yaitu SMA (32 unit), SMP (32), dan SD (94). Ada pula 126 madrasah yang diawasi, yaitu madrasah aliyah (33), madrasah tsanawiyah (50), dan madrasah ibtidaiyah (43). Selain itu, pengawasan ditujukan ke dinas pendidikan, panitia PPDB, hingga orang tua/wali siswa.

 

Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, mengatakan mereka menemukan berbagai modus pungli dalam PPDB. Misalnya, kutipan di luar biaya resmi berupa uang sumbangan pembangunan, uang seragam, dan lain-lain dengan nominal berkisar Rp 1-5 juta. Bahkan, menurut Indraza, pihaknya mendapat laporan ihwal adanya praktik permintaan uang hingga senilai Rp 35 juta agar seorang siswa masuk sebuah sekolah negeri. “Meski sudah diatur tidak ada permintaan uang dalam proses PPDB, praktik pungutan liar masih terjadi dengan modus uang seragam atau sumbangan pembangunan,” kata Indraza. 

 

Selain itu, Ombudsman menemukan berbagai penyelewengan lain, seperti siswa titipan serta pemalsuan dokumen kependudukan di berbagai jenjang sekolah dan madrasah. Dalam laporannya, Ombudsman menyimpulkan hal tersebut terjadi antara lain karena jumlah dan kualitas layanan pendidikan tak merata di semua provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, mereka menyebutkan sistem pengaduan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah lemah.

 

PPDB dibagi menjadi beberapa jalur. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 1 Tahun 2021. Jalur pertama adalah zonasi, yang ditujukan untuk menjaring siswa yang kediamannya dekat dengan sekolah. Persentasenya minimal 70 persen dari daya tampung sekolah untuk tingkat SD, minimal 50 persen untuk tingkat SMP, dan minimal 50 persen untuk tingkat SMA.  

 

Selain itu, ada jalur afirmasi yang dikhususkan bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Jumlah bangku yang harus disediakan sekolah untuk jalur ini minimal 15 persen. Ketiga adalah jalur perpindahan orang tua. Jalur ini ditujukan bagi siswa yang harus pindah domisili karena tugas orang tuanya. Jumlahnya mencapai 5 persen. Terakhir adalah jalur prestasi, yang ditujukan bagi siswa pemilik capaian tertentu di berbagai bidang, dari akademis, olahraga, sampai keagamaan. Persentase jalur ini disesuaikan dengan sisa bangku yang tersedia di tiap sekolah.

 

Pemerintah juga sudah memberlakukan sistem PPDB secara daring sejak beberapa tahun terakhir. Dalam sistem ini, siswa cukup mendaftar melalui portal yang sudah disediakan oleh setiap pemerintah daerah. Penentuan lulus atau tidaknya seorang calon peserta didik pun diumumkan secara daring. 

 

Meskipun PPDB dilakukan secara daring, faktanya masih terjadi praktik jual-beli bangku di lapangan. Misalnya kasus yang pernah dibongkar oleh Wali Kota Bogor Bima Arya tahun lalu. Bima memecat Kepala SD Negeri 1 Cibereum, Nopi Yeni, karena dinilai terbukti menerima pungli dalam PPDB. Hanya, saat itu politikus Partai Amanat Nasional tersebut tak mendetailkan cara Nopi mengakali PPDB daring. Nopi pun tak diproses secara hukum. “Jadi, diberi sanksi untuk bergeser, diberhentikan sebagai kepala sekolah, dan nanti akan ditetapkan sanksinya seperti apa," kata Bima Arya pada September 2023, seperti dilansir Antara.

 

Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, menilai sistem PPDB secara daring tidak menjamin praktik seperti itu akan hilang. Dia mengatakan tidak meratanya pelayanan pendidikan di berbagai daerah justru membuat celah terjadinya tindakan koruptif dalam PPDB. 

 

Sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah, menurut dia, terkadang mendorong praktik haram jual-beli bangku. Dia mencontohkan sekolah yang letaknya jauh dari permukiman. Hal itu membuat sekolah tersebut berpotensi memiliki banyak bangku kosong. Walhasil, praktik jual-beli bangku kosong pun terjadi di sekolah-sekolah tersebut. 

 

Karena itu, Cecep, menyarankan Kementerian Pendidikan menyerahkan pelaksanaan teknis PPDB kepada daerah. Dengan begitu, setiap pemerintah daerah akan bisa menyesuaikan aturan sesuai dengan karakter penyebaran masyarakatnya masing-masing. “Pusat jangan terlalu detail aturannya, seperti soal persentase di tiap jalur. Biarkan itu diserahkan ke tiap daerah,” kata Cecep kepada Tempo, kemarin.

 

Selain itu, Cecep menyatakan peluang terjadinya tindakan korupsi dalam PPDB tercipta karena masih adanya kesenjangan kualitas di satuan pendidikan. Dia mencontohkan dalam hal luas lahan. Menurut dia, saat ini masih ada sekolah yang memiliki lahan luas, sementara sekolah lain memiliki lahan yang terbatas sehingga fasilitas penunjangnya tidak mumpuni. 

 

Hal ini, menurut Cecep, membuat orang tua memilih mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan fasilitas memadai, meskipun sekolah tersebut relatif jauh dari kediaman mereka alias tidak masuk dalam zonasi. Orang tua pun rela merogoh kocek agar anaknya masuk ke sekolah itu. “Ini yang mempengaruhi orang tua berduyun-duyun menyekolahkan anaknya ke sekolah yang berstandar tinggi,” kata Cecep.

Petugas membantu warga mengakses sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara daring di Jakarta, 28 Mei 2024. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, pun berpendapat sama. Dia menilai praktik jual-beli kursi masih akan terjadi selama pemerintah belum bisa meratakan kualitas satuan pendidikan. Walhasil, masyarakat masih melihat ada sekolah yang dianggap favorit dan tidak. Orang tua, menurut dia, akan berebut agar anaknya masuk ke sekolah favorit tersebut.

 

Ubaid menilai praktik tersebut muncul karena tak sebandingnya kuota kursi sekolah negeri dengan jumlah siswa yang akan masuk. Orang tua, menurut dia, akan memilih membeli kursi di sekolah negeri ketimbang memasukkan anaknya ke sekolah swasta. “Mereka akan berani membeli kursi di (sekolah) negeri. Sebab, ketimbang menyekolahkan anak di swasta, membeli kursi di negeri masih lebih murah," kata Ubaid.  

 

Sementara itu, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina, mengatakan masih terjadinya pungli dalam PPDB karena lemahnya pengawasan yang dilakukan instansi terkait ataupun aparat penegak hukum. “Saya yakin pihak-pihak seperti kepala sekolah mengetahui aturan soal larangan pungli. Tapi, karena ada kesempatan, jadi mereka melakukan,” kata Almas saat dihubungi secara terpisah.

 

Meski dia mengakui sudah banyak aparatur yang dibentuk untuk mengantisipasi praktik haram itu, dari dibentuknya Satgas Saber Pungli hingga pelibatan inspektorat daerah, nyatanya praktik tersebut masih terjadi. “Jadi, masalahnya ada di pengawasan sehingga yang perlu diperkuat bukan hanya penegasan bahwa pungutan liar itu dilarang, tapi juga bagaimana penguatan pengawasannya,” kata Almas.

 

Selain mengeluarkan edaran, kata Almas, KPK semestinya memelototi kinerja inspektorat di berbagai daerah. Menurut dia, KPK juga harus mampu meyakinkan masyarakat untuk melaporkan setiap praktik pungli dalam pelaksanaan PPDB. “Yang diperlukan adalah bagaimana KPK meyakinkan masyarakat ke mana harus melapor dan yakinkan juga laporan itu ditindaklanjuti. Jadi, mereka berdaya untuk melapor,” kata Almas.

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Hendrik Yaputra berkontribusi dalam laporan ini. 

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus