Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HADIR tanpa didampingi pengacara, Hadi Poernomo mencecar saksi ahli dengan berbagai pertanyaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bekas Direktur Jenderal Pajak itu terus mempersoalkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi mengangkat penyelidik dan penyidik. "Ya, penyelidik dan penyidik yang saya maksud memang diangkat dan diberhentikan KPK," kata Jamin Ginting, saksi ahli, menjawab pertanyaan Hadi. Dosen hukum Universitas Pelita Harapan itu menjadi saksi ahli dari KPK dalam sidang peninjauan kembali perkara praperadilan tersebut, Rabu pekan lalu.
Sejak awal September lalu, Hadi kembali berhadapan dengan KPK di persidangan. Yang jadi pokok sengketa adalah status penyelidik dan penyidik di lembaga antirasuah itu. Sebelumnya, pada 26 Mei 2015, hakim praperadilan membatalkan status tersangka Hadi. Menurut hakim tunggal Haswandi, penyelidikan dan penyidikan terhadap Hadi batal demi hukum dan harus dihentikan. Alasan sang hakim: penyelidik dan penyidik KPK yang mengusut kasus Hadi sudah berhenti dari kepolisian dan kejaksaan.
Tak terima terhadap putusan praperadilan tersebut, KPK mengajukan permohonan peninjauan kembali. Sementara sidang peninjauan kembali atas putusan kasasi biasanya digelar di Mahkamah Agung, sidang peninjauan kembali atas putusan praperadilan digelar di pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka pada 21 April 2014. Komisi menyangka Hadi menyalahgunakan wewenang dalam kasus keberatan pajak PT Bank Central Asia dengan merugikan negara sekitar Rp 375 miliar. Status tersangka itu diumumkan ketika Hadi—yang akrab disapa Pak Pung—merayakan ulang tahun ke-67 dan pensiun dari jabatan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Hadi tak hanya melawan di jalur praperadilan. Pada 18 Agustus 2015, ia pun menggugat laporan audit investigasi Inspektorat Bidang Investigasi Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan ke pengadilan tata usaha negara. Laporan audit inilah yang antara lain menjadi dasar KPK menetapkan bekas Kepala Bidang Ekonomi Badan Intelijen Negara itu sebagai tersangka.
PERKARA yang belakangan membelit Hadi berawal dari keberatan BCA atas tagihan pajak pada 1999. Kala itu, BCA mengklaim hanya membukukan laba Rp 174 miliar setelah rugi akibat krisis moneter. Namun Direktorat Jenderal Pajak mengoreksi laba tahun 1999 itu menjadi Rp 6,78 triliun dengan memasukkan pengalihan sejumlah aset—termasuk piutang BCA yang dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebesar Rp 5,58 triliun.
Pada Juli 2003, BCA mengajukan keberatan atas tagihan pajak itu. Tim Direktorat Pajak Penghasilan menelaah permohonan itu dan menyimpulkan keberatan BCA harus ditolak. Selanjutnya, pada 13 Maret 2004, Direktorat Pajak Penghasilan mengirimkan risalah dan rekomendasi penolakan kepada Hadi Poernomo. Namun sehari sebelum tenggat bagi Dirjen Pajak untuk memberikan keputusan final, pada 17 Juli 2004, Hadi malah membuat nota dinas untuk menerima keberatan BCA.
Sehari kemudian, Hadi juga menerbitkan surat ketetapan pajak nilai yang menegaskan persetujuan dia atas keberatan BCA. Dampak dari terbitnya nota dinas dan ketetapan tersebut, BCA pada 2003 tak perlu membayar pajak. Padahal, bila keberatan pajak BCA ditolak, negara akan mendapatkan pemasukan dari pajak sebesar Rp 375 miliar.
Tiga tahun berselang, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution—pengganti Hadi Poernomo—mengusulkan audit investigasi kasus ini kepada Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan. Dalam surat nomor SR-20/PJ/2007 tanggal 31 Juli 2007 itu, Darmin menyinggung pemberitaan media soal putusan kasus keberatan pajak yang berpotensi merugikan negara.
Tim Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan pun bergerak cepat. Mereka menghasilkan laporan audit bernomor Lap-33/IJ.9/2010 tanggal 17 Juni 2010. Audit itu menyimpulkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam proses pemeriksaan dan penerimaan keberatan pajak PT BCA.
Pengacara senior Maqdir Ismail bercerita, ketika sidang praperadilan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hadi pernah berkonsultasi untuk menggugat ke PTUN. Menurut Maqdir, ruang menggugat di PTUN terbuka sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Meski sempat memberikan saran, Maqdir akhirnya tak menjadi kuasa hukum Hadi. "Pak Hadi maju sendiri dalam sidang PTUN," kata Maqdir.
Dalam berkas gugatannya di PTUN, Hadi menyebutkan, gara-gara laporan audit investigasi IBI, dia dijadikan tersangka oleh KPK. Selain menimbulkan akibat hukum, menurut Hadi, laporan itu mencemarkan namanya. Hadi pun memohon PTUN membatalkan laporan audit investigasi itu.
Hadi tak lupa mengemukakan beberapa alasan penolakan dia terhadap hasil audit investigasi IBI itu. Antara lain, dia mengaku tidak pernah dimintai konfirmasi atau keterangan hingga terbitnya hasil audit investigasi tersebut.
Pada bagian lain, Hadi melontarkan dugaan dia bahwa hasil audit itu didasari keterangan palsu. Untuk meyakinkan hakim PTUN, Hadi menyertakan laporan atas mantan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Hadi Rudjito ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Hadi Rudjito, yang menjabat inspektur jenderal ketika audit investigasi pajak BCA berlangsung, dilaporkan Aryadi Jaya pada 25 Juni 2015. Aryadi melaporkan dugaan pemalsuan atau memberikan keterangan palsu dalam akta otentik. Bareskrim pun telah mengeluarkan surat perintah penyelidikan pada 3 Juli 2015.
Hadi Rudjito enggan berkomentar soal pelaporan dirinya oleh Aryadi ke polisi. "Saya pernah diperiksa Bareskrim," ujar Hadi Rudjito ketika dihubungi.
Mantan Kepala Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak mengatakan pernah menerima laporan kasus Hadi Poernomo ketika dia masih menjabat. Namun Victor, yang kini sudah pensiun, tak bersedia menjelaskan detail laporan tersebut. Juru bicara Markas Besar Polri, Komisaris Besar Agus Rianto, bahkan tak memberikan konfirmasi apa pun soal laporan tersebut.
Penjelasan soal laporan pemalsuan itu lagi-lagi disampaikan Hadi Poernomo dalam berkas gugatannya. Menurut dia, laporan audit menyebutkan Dirjen Pajak Darmin Nasution merujuk pada berita di sebuah harian ekonomi pada 1 Mei 2007. Laporan audit juga mengutip seorang narasumber yang menyatakan penyalahgunaan wewenang dalam permohonan keberatan pajak BCA pada 1999 telah merugikan negara Rp 5,5 triliun.
Ketika pelapor memeriksa berita di harian ekonomi pada tanggal tersebut, menurut Hadi, tak ada kalimat seperti yang tertera dalam laporan hasil audit. "Laporan audit itu diduga memasukkan keterangan palsu," kata Hadi dalam gugatannya.
Rupanya, sang pelapor bukan orang asing bagi Hadi Poernomo. Berdasarkan penelusuran Tempo, Aryadi pernah tercatat sebagai pemegang saham perusahaan keluarga Hadi, PT Adi Jaya Sentosa. Dalam akta terbitan Juni 2009 tercatat, saham perusahaan pengelola Hotel Aneka Lovina, Bali, itu dimiliki Aryadi bersama putri pertama Hadi, Ratna Permata Sari. Masing-masing menguasai 33,3 persen saham. "Aryadi juga anak kandung Hadi Poernomo," ucap seorang kolega Hadi.
Di luar persidangan, Hadi Poernomo memilih mengunci mulutnya rapat-rapat. "Nanti saja. Ini masih awal," kata Hadi kepada wartawan yang hendak mewawancarainya seusai sidang.
Menepis tuduhan Hadi, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan lembaganya telah bekerja sesuai dengan kewenangan dan memenuhi semua prosedur penerbitan laporan audit. Dengan sejumlah alasan, menurut Kiagus, PTUN sebaiknya menolak gugatan Hadi.
Menurut Kiagus, gugatan Hadi salah subyek atau error in persona. Alasannya, laporan audit investigasi yang digugat Hadi tak dibuat langsung oleh Inspektur Jenderal Keuangan, tapi dibuat tim Inspektorat Bidang Investigasi.
Kiagus juga menilai obyek sengketa tidak bersifat konkret, individual, dan final seperti diatur Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara. Laporan audit, menurut dia, hanya potret dari rangkaian kegiatan sehingga tak bersifat konkret dan individual. "Hasil audit pun hanya rekomendasi untuk ditindaklanjuti lembaga lain," ujar Kiagus.
Alasan Hadi menggugat PTUN juga dinilai kabur karena mengaitkan laporan hasil audit investigasi dengan penetapan tersangka oleh KPK. Menurut Kiagus, Hadi menjadi tersangka tidak semata-mata karena adanya laporan audit investigasi IBI. "Itu lewat proses penyelidikan panjang di KPK," kata Kiagus.
Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji mengatakan hal senada. Menurut dia, laporan audit investigasi bukanlah satu-satunya bukti dalam penetapan Hadi sebagai tersangka. "Penyidikan KPK tak hanya berbasis pada hasil investigasi Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan," ujar Indriyanto. Berdasarkan penghitungan terakhir KPK, kerugian negara akibat rekomendasi keberatan pajak Bank BCA pun membengkak hingga sekitar Rp 2 triliun.
Yuliawati, Rezki Alvionitasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo