Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Agama mengeluarkan surat edaran yang menyinggung soal aturan pengeras suara di masjid. Perbincangan seputar pengeras suara di masjid ini kembali ramai diperdebatkan pasca Hakim Pengadilan Negeri Medan memvonis Meiliana 1 tahun 6 bulan penjara karena penodaan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meiliana duduk di meja hijau karena pernah menyampaikan keberatannya kepada seorang tetangga soal pelantang suara masjid yang terlalu kencang. Masjid tersebut berada di depan rumah Meiliana di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam nomor B.3940/DJ.III/HK.00.07/08/2018 tanggal 24 Agustus 2018 bertajuk "Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musholla", Kementerian Agama meminta tempat ibadah tersebut merujuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978.
Dirjen Bimas Islam, Muhammadiyah Amin, mengatakan aturan tersebut masih berlaku. "Hingga saat ini, belum ada perubahan," kata Muhammadiyah Amin, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Agama. Dalam laman tersebut, Kementerian Agama bahkan mencantumkan tautan ke aturan soal pengeras suara di masjid. Berikut enam poin aturan soal azan masjid:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara seharusnya dilakukan orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Ini menghindari suara bising, dengung, yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Al-Quran, dan lain-lain) harus memiliki suara yang fasih, merdu, dan enak, tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindari anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid, bahkan jauh dari menimbulkan rasa cinta dan simpati orang yang mendengar, selain menjengkelkan.
3. Memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan, seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat.
4. Orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah, atau sedang dalam upacara. Dalam keadaan demikian, kecuali azan, tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas: suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala, selain berarti seruan takwa, dapat dianggap sebagai hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntutan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Yang perlu diperhatikan adalah suara muazin tidak sumbang, tapi sebaliknya, enak, merdu, dan syahdu.
6. Instruksi ini juga menyinggung waktu yang pas untuk mengumandangkan azan salat. Untuk waktu subuh, misalnya, diperbolehkan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktu tiba. Pembacaan Al-Qur’an dan seruan azan waktu subuh dapat menggunakan pengeras suara keluar. Sedangkan, salat dan kuliah subuh menggunakan pelantang suara di dalam.