Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali mencuat. Ini bukan kali pertama rencana revisi UU TNI mengemuka. Satu tahun lalu, kabar serupa terdengar publik dan mendapat kritik dari berbagai pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satu pasal yang akan direvisi dianggap akan memperluas peran TNI di ranah sipil, yaitu perubahan bunyi Pasal 3 ayat 1 dan 2. Ayat 1 yang berbunyi, “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden” diubah menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden”. Publik menilai rencana itu dapat memicu kembalinya Dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rencana revisi UU TNI saat ini juga memantik reaksi dari berbagai kalangan.
1. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad: Ada Permintaan untuk Merevisi UU TNI
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan DPR sebelumnya telah melakukan revisi Undang-Undang Kejaksaan pada 2021. Dia mengatakan revisi itu salah satunya mengubah usia pensiun dan usia jabatan fungsional jaksa. Dia menuturkan, setelah revisi UU Kejaksaan itu, ada permintaan merevisi UU Polri dan UU TNI.
"Ada permintaan untuk melakukan revisi UU Polri dan UU TNI agar dapat sama dengan UU Kejaksaan tentang masa pensiun dan masa berakhirnya jabatan fungsional," kata Dasco usai Rapat Paripurna DPR RI Ke-17 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung DPR, Senin, 20 Mei 2024.
Politikus Partai Gerindra itu juga menuturkan revisi UU Polri dan UU TNI sempat tertunda karena pelaksanaan Pemilu 2024. Karena itu, usai pemilu, DPR bakal menuntaskan revisi UU Polri dan UU TNI.
“Nah, sekarang itu supaya juga semua sama di antara para penegak hukum ini, kami kemudian melakukan juga revisi," kata Ketua DPP Partai Gerindra itu.
2. Peneliti Imparsial Hussein Ahmad: Khawatir Dwifungsi ABRI Kembali
Peneliti Imparsial Hussein Ahmad menyoroti beberapa poin dalam rencana revisi UU TNI. Menurut dia, ada beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan. Pertama, soal perluasan peran TNI tidak hanya sebagai alat pertahanan tetapi juga sebagai alat keamanan. Kedua, mengenai pencabutan kewenangan Presiden untuk mobilisasi TNI. Ketiga, perihal penambahan jenis-jenis operasi militer selain perang dan perluasan jabatan-jabatan sipil untuk TNI. Kemudian ada mekanisme penganggaran TNI.
“Sebagaimana kita ketahui, pada masa Orde Baru dengan peran sosial politik TNI, di mana TNI tidak hanya sebagai alat pertahanan, tetapi juga ada fungsi keamanan di sana, dan itu menyebabkan tugas-tugas TNI menjadi rancu,” ujar Hussein dalam Media Briefing dan Diskusi Revisi UU TNI bertema ‘Menyikapi Kembalinya Dwifungsi ABRI, Perluasan Kewenangan TNI, Isu Peradilan Militer dalam Pembahasan RUU TNI di DPR pada 22 Mei 2024’ yang digelar secara daring pada Ahad, 19 Mei 2024.
Hussein menekankan ini dapat mengaburkan raison d'etre (alasan keberadaan) TNI yang seharusnya berfokus pada pertahanan negara dari ancaman eksternal. Dia menyoroti penghapusan frasa "pengerahan dan penggunaan kekuatan militer" menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan dan kedudukan di bawah Presiden” di Pasal 3 ayat 1 yang dapat diartikan sebagai upaya mengurangi kontrol Presiden terhadap TNI.
Menurut dia, hal ini berpotensi memungkinkan TNI beroperasi secara mandiri tanpa otorisasi dari Presiden dan mengancam demokrasi.
Hussein juga mengingatkan, dalam sistem demokrasi, angkatan bersenjata harus berada di bawah kendali penuh pemerintahan sipil, yaitu Presiden dan DPR. Dia menilai penghapusan frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut, dan udara.
Jika kewenangan Presiden ini dihapus, TNI dapat kembali memiliki otonomi seperti pada masa Orde Baru, yang dapat mengarah pada situasi di mana TNI bertindak tanpa kendali pemerintahan sipil.
“Ini sangat berbahaya, di dalam negara demokratik mana pun angkatan bersenjata itu di bawah kendali penuh pemerintahan sipil, dalam hal ini Presiden dan juga DPR,” kata Hussein.
3. Peneliti PBHI Annisa Azzahra: Mereka Mau Mengambil Kembali Masa Kejayaannya
Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, mengatakan niat merevisi UU TNI mencerminkan keinginan mengembalikan masa kejayaan TNI di era Orde Baru. Pada masa itu, militer tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan, tetapi juga terlibat dalam politik, penegakan hukum, hingga ketertiban umum.
“Revisi UU TNI ini kelihatan ya mereka memang mau kembali mengambil masa kejayaan mereka itu. Apalagi kalau kita perhatikan, situasi yang saat ini di Indonesia dan juga pas zaman Orde Baru, itu agak mirip dalam segi kita kayak kembali lagi ke rezim pembangunan,” ungkap Annisa.
Annisa mengatakan pembangunan berfokus pada satu subjek, yaitu negara yang aman, yang melibatkan aparat di berbagai titik.
Dia memerinci, menurut pemantauan PBHI, dari 150 Proyek Strategis Nasional (PSN) saat ini, ada 114 proyek yang melibatkan anggota TNI untuk berjaga dan mengamankan objek-objek investasi. Annisa menegaskan, ketika negara terlalu berfokus pada pembangunan dengan menggunakan pendekatan keamanan, ini berpotensi mengarah pada negara otoriter.
“Negara yang otoriter artinya Hak Asasi Manusia tidak dihargai, kemudian supremasi sipil, demokrasi hanya bualan belaka saja,” ujarnya.
Annisa menilai revisi UU TNI menunjukkan tidak ada perubahan menuju demokrasi, tetapi justru TNI ingin mempertahankan kekuasaan yang sama, bukan menjadi militer yang lebih profesional. Menurut dia, TNI saat ini seperti ingin menjadi 'toko serba ada' yang memiliki berbagai layanan yang dibutuhkan. Kurangnya diferensiasi antara tugas sipil dan militer, menurut Annisa, berpotensi meningkatkan absolutisme dan impunitas terhadap pelanggaran HAM.
Dia menyebutkan revisi UU TNI juga dilihat sebagai upaya TNI melepaskan diri dari kontrol Presiden. “Secara struktur militer itu sangat besar dan juga mirip seperti pemerintah sipil pada dasarnya, karena dia ada di level nasional sampai ada di level daerah,” kata Annisa.
YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | ADINDA JASMINE PRASETYO