Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kresek Putih Jenderal Napoleon

Jatah duit untuk petinggi kepolisian disebut-sebut dalam persidangan kasus red notice status buron Joko Soegiarto Tjandra. Identitasnya masih samar.

 

7 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jenderal Napoleon Bonaparte disebut meminta duit dari Joko Tjandra untuk mengurus pencabutan red notice.

  • Napoleon diduga meminta tambahan duit yang akan diberikan kepada petinggi kepolisian.

  • Polisi mengklaim tak ada lagi petinggi Mabes Polri yang menikmati duit dari Joko Tjandra.

PEREBUTAN duit antara dua jenderal dalam kasus suap pengurusan red notice Joko Soegiarto Tjandra tergambar jelas dalam sidang perdana terhadap bekas Kepala Divisi Hubungan Internasional Kepolisian RI Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Jaksa penuntut umum membeberkan plot rasuah itu saat membacakan berkas dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin, 2 November lalu.

Bermula sekitar April lalu ketika Joko—terpidana kasus hak tagih Bank Bali—berniat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas kasus yang menjeratnya. Joker—julukan Joko—mendapat informasi bahwa status red notice yang disandangnya telah dibuka sejak 2015 oleh markas Interpol di Lyon, Prancis. “Terdakwa Joko bersedia memberikan uang Rp 10 miliar melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada para pihak yang membantu masuk ke Indonesia,” kata jaksa.

Tommy, yang merupakan seorang pengusaha, kemudian menghubungi Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, waktu itu Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Badan Reserse Kriminal Polri. Prasetijo kemudian mengenalkan Tommy kepada Napoleon. Bertemu di ruang kerja Napoleon pada 17 April lalu, Tommy menyampaikan pesan Joko soal status cekal Interpol.

Sebagaimana diungkap jaksa di persidangan, Napoleon menyebut red notice Joko bisa dibuka asal ada imbalannya. “Tiga lah, Ji,” ujar jaksa, menirukan ucapan Napoleon kepada Tommy, yang dipanggilnya Pak Haji. Adapun “tiga” berarti Rp 3 miliar. Menerima informasi tarif itu, Joko meminta sekretarisnya memberikan US$ 100 ribu—sekitar Rp 1,42 miliar—kepada Tommy untuk diserahkan ke Napoleon.

Sepuluh hari kemudian, Tommy berencana menyerahkan besel dolar dari Joko. Menumpang mobil yang sama dengan Tommy, Prasetijo melihat duit itu. Dalam dakwaan disebutkan bahwa Prasetijo kemudian membagi rata gepokan uang itu karena menganggap jatah untuk Napoleon terlalu banyak. Menjinjing tas berisi US$ 50 ribu yang tersisa, Tommy menyerahkannya kepada Napoleon.

Alih-alih menerimanya, Napoleon menolak pemberian itu. Ia beralasan jumlah duit tersebut terlalu kecil. Jaksa mengatakan Napoleon lalu meminta upeti itu dinaikkan menjadi Rp 7 miliar. “Terdakwa mengatakan, ‘Ini kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau,’ dan berkata, ‘Petinggi kita ini’,” kata jaksa saat membacakan isi dakwaan.

Seorang pejabat kepolisian yang mengetahui penyidikan kasus Napoleon mengatakan permintaan jatah untuk petinggi kepolisian diperoleh dari kesaksian Tommy saat diperiksa penyidik. Menurut dia, Napoleon tak pernah menyebutkan soal aliran duit untuk petinggi kepolisian. Pejabat itu mengklaim kluster personel kepolisian dalam kasus suap pencabutan cekal Joko sudah tak ada lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terdakwa terkait kasus surat jalan Brigjen Prasetijo Utomo (kanan) saat memberikan pertanyaan pada saksi fakta saat sidang lanjutan terkait pemalsuan surat jalan dengan agenda pemeriksaan saksi di PN Jakarta Timur, Jumat, 6 November 2020. Sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi tersebut dihadiri langsung oleh terdakwa Djoko Tjandra dan Brigjen Prastijo Utomo yang sebelumnya sidang diadakan secara virtual./TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Biro Penerangan Umum Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono menyebut keterangan mengenai setoran untuk pejabat kepolisian tak diperoleh dari pemeriksaan Napoleon. Awi mengatakan keterangan itu berasal dari tersangka lain. Adapun Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono menerangkan bahwa permintaan Rp 7 miliar tertuang dalam berkas perkara dan jaksa tak menambahkan apa pun dalam surat dakwaan.

Pengacara Tommy, Dion Pongkor, membenarkan bahwa keterangan soal upeti untuk petinggi kepolisian diungkapkan kliennya kepada penyidik. Kepada Dion, Tommy mengungkapkan alasan itu yang membuat Napoleon menaikkan permintaan imbalan dari Rp 3 miliar menjadi Rp 7 miliar. “Dakwaan itu seratus persen keterangan dari Pak Tommy,” kata Dion. Menurut dia, kliennya bergerak menemui Prasetijo dan Napoleon setelah dimintai bantuan oleh Joko soal pengurusan red notice.

Jaksa penuntut juga menyebutkan, setelah menaikkan tarif penghapusan red notice, Napoleon menerima Sin$ 200 ribu dan US$ 270 ribu atau total sekitar Rp 5,9 miliar dalam beberapa kali penyerahan. Pada 29 Mei, Tommy menerima sekitar US$ 100 ribu dari Joko melalui seorang kurir di Restoran Meradelima—samping Markas Besar Polri. Membungkus dengan kresek putih, Tommy mengantar duit itu ke ruang kerja Napoleon di lantai 11 gedung Transnational Crime Mabes Polri.

Napoleon lantas memerintahkan anak buahnya bersurat ke Direktorat Jenderal Imigrasi. Isi layang itu mengabarkan bahwa Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri sedang memperbarui daftar pencarian orang. Surat yang sama menerangkan ada daftar buron yang sudah tak dibutuhkan lagi. “Divisi Hubungan Internasional Polri memberi tahu sedang melakukan pembaruan sistem data base daftar pencarian orang (DPO) yang terdaftar dalam red notice Interpol melalui jaringan I-24/7,” ujar jaksa.

Enam hari kemudian atau 4 Mei, Tommy memberikan fulus lagi kepada Napoleon. Kali ini jumlahnya US$ 150 ribu atau sekitar Rp 2,1 miliar. Sebagaimana sebelumnya, Napoleon langsung meminta anggota stafnya bersurat ke Imigrasi. Dalam surat tersebut Napoleon menyampaikan penghapusan red notice Interpol.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi di ruang kerja Napoleon. Mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, ikut dalam pertemuan itu. Tommy kembali menyerahkan US$ 20 ribu kepada Napoleon. Menerima besel itu, Napoleon bersurat lagi ke Imigrasi untuk ketiga kalinya. Dia mengabarkan bahwa red notice atas nama Joko telah terhapus dari sistem Interpol di Prancis. Surat dari Napoleon bertarikh 5 Mei 2020 itu dipakai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menghapus nama Joker dari daftar buron di perlintasan. Data itu kemudian dipakai Joko untuk masuk wilayah Indonesia.

Meski namanya sudah hilang dari data cekal Imigrasi, Joko tak memakai jalur resmi saat masuk ke Indonesia pada 6 Juni lalu. Bos Grup Mulia itu menyusuri perkebunan sawit di Kuching, Sarawak, hingga tembus ke Pontianak, Kalimantan Barat. Ia tak melewati pemeriksaan Imigrasi. Di Pontianak, Brigadir Jenderal Prasetijo dan Anita Kolopaking—bekas pengacaranya yang kini menjadi tersangka penerbitan surat palsu—sudah menunggu. Berbekal surat keterangan bebas Covid-19 dan surat jalan yang disiapkan Prasetijo, Joko terbang ke Jakarta untuk mengurus perkara peninjauan kembali.

Penyerahan suap dari Joko ke jenderal kepolisian tak berhenti setelah namanya dicabut dari daftar buron. Prasetijo sempat menelepon Tommy untuk meminta jatah karena merasa sudah membantu Joko. Jaksa dalam sidang pembacaan dakwaan menirukan ucapan Prasetijo kepada Tommy. “Ji, sudah beres! Mana jatah punya gue?” Tommy berjanji mendatangi kantor Prasetijo dan meminta tak membicarakan perkara itu di telepon. Besoknya, Tommy datang ke ruangan Prasetijo dan menyerahkan US$ 50 ribu.

Pada 27 Juli lalu, Prasetijo menjadi tersangka kasus penerbitan surat jalan palsu. Bersama Napoleon Bonaparte, ia pun menjadi tersangka penerima suap dari Joko. Dalam sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin, 2 November lalu, dia disebut menerima US$ 150 ribu dari Joko. Adapun Joko didakwa menyuap penegak hukum senilai US$ 920 ribu dan Sin$ 200 ribu.

Kuasa hukum Napoleon, Haposan Batubara, membantah tuduhan bahwa kliennya menerima duit terkait dengan pengurusan red notice Joko. Dia menyebutkan tak ada sepeser pun duit yang disita dari Napoleon sebagai bukti suap. Haposan mengatakan penyidik cuma menyita telepon seluler Napoleon. “Jangan sampai perkara ini menjadi rekayasa,” kata Haposan.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mendesak fakta yang terungkap dalam sidang dakwaan diusut tuntas. Ia berharap jaksa penuntut umum bisa membuktikan dakwaannya, termasuk soal dugaan upeti untuk petinggi kepolisian. “Majelis hakim pasti akan memeriksa bukti dan saksi serta melihat kesesuaiannya,” kata Poengky.

Adapun Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan timnya mengikuti setiap perkembangan dalam persidangan. “Kalau ada hal baru yang terungkap di persidangan, kami terbuka untuk penyelidikan lebih jauh,” kata dia kepada Tempo, Jumat, 6 November lalu.

RAYMUNDUS RIKANG, LINDA TRIANITA, ANDITA RAHMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus