Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Repotnya mengadili dokter

Dua kasus malapraktek: matinya ny. sulastri di klinik asih trisna dan andriani theresia yang menjadi buta, diamputasi dan cacat mental, tersendat ke pengadilan. dokter cenderung membela sejawatnya.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK gampang rupanya menyeret dokter ke pengadilan. Buktinya, dua kasus malapraktek, yang sempat mengguncangkan dunia kedokteran tahun-tahun lalu, perkaranya kini bagai menguap. Sekurangnya begitulah keluhan bekas Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soebandi, yang kehilangan istrinya, Nyonya Sulastri, garagara operasi plastik d Klinik Aslh Trisna, Pluit, Jakarta tahun lalu. "Saya heran, kasus istri saya itu seakan didiamkan. Padahal, polisi sudah menyidiknya dan menggali kembali kuburnya guna otopsi," kata Soebandi, 61 tahun, yang kini menjadi hakim tinggi di Palembang. Sebab itu, Rabu dua pekan lalu, ia menyampaikan surat ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dengan tembusan kepolisian dan kejaksaan, menanyakan nasib perkara itu. Pada 4 Februari 1987, Sulastri, 57 tahun, ibu enam orang anak, meninggal akibat operasi pengecilan lubang faraj (vaginoplasty), pembuangan lemak, dan perataan kulit perut di Klinik Asih. Kemudian Polda Metro Jaya mengusut kasus itu. Dua dari empat dokter yang menangani bedah plastik itu, yaitu Tresiaty Pahe dan Kartadinata disebut-sebut sebagai tersangka. Ternyata sampai kini perkara itu tidak kunjung ke pengadilan. "Tak jelas nyangkut di mana perkara itu," ujar Soebandi. Hakim senior yang kini telah menikah lagi dengan seorang janda, Ajeng Omyati Gazali, lebih risau karena muncul isu yang menyebutkan perkara itu menguap karena ia sudah diberi uang damai oleh klinik tersebut. "Itu tidak benar. Tak satu sen pun saya terima imbalan," kata Soebandi. Tapi bukan hanya perkara Nyonya Sulastri yang tak kunjung muncul di pengadilan. Kasus malapraktek yang menimpa seorang bocah perempuan, Andriani Theresia, juga bernasib sama. Bocah itu, kini berusia 212 tahun, menjadi buta, kaki kanannya diamputasi, dan cacat mental, setelah menjalani operasi mata (glaucoma congenitale ODS) di Rumah Sakit Mata Aini, Jakarta, 27 Januari 1986. Malapetaka itu terjadi diduga akibat kelalaian ahli anestesi (pembiusan), dr. Jusrafrl Joenoerham. Lewat Pengacara O.C. Kaligis, Harijadi, ayah Andriani, membawa perkara ke Polda. Tapi sampai kini perkara itu tak ada kabarnya. Menurut Kaligis, ia pernah mendengar kasus itu dilimpahkan ke kejaksaan, tapi kemudian dikembalikan ke Polda. "Padahal, ini kasus menarik, uji coba mengadili ahli anestesi," ujar Kaligis, yang berniat menempuh upaya praperadilan bila kasus itu di"peti-es"-kan. Sumber TEMPO di kejaksaan membenarkan kedua perkara yang pernah masuk ke instansi itu terpaksa dikembalikan ke Polda untuk diperbaiki. "Sebab, bukti-bukti di berkas perkara belum cukup kuat untuk membuktikan dokter itu lalai, sehingga mencelakakan orang lain," kata sumber itu. Sumber TEMPO di Polda Metro Jaya membenarkan berkas itu kembali ke instansinya, dan kini sudah dilengkapi. "Berkas perkara secepatnya akan dilimpahkan lagi ke kejaksaan," kata sumber itu. Menurut sumber itu, penyidikan kedua kasus itu menjadi lama lantaran soal teknis medisnya. Polisi, terpaksa menjalani semacam kursus intensif dari para ahli bedah dan anestesi. Kecuali itu, penyidikan terhalang karena para dokter yang diminta jadi saksi ahli bukan hanya enggan memberikan keterangan, tapi cenderung membela rekan seprofesi. "Bahkan ada dokter yang mencabut kembali keterangannya setelah tahu keterangan itu untuk membuktikan kesalahan rekannya," tambah sumber itu. Di sumpah kedokteran memang ada ikrar agar para dokter menganggap sejawat sebagai saudara sendiri. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kartono Mohamad, membantah akibat sumpah itu para dokter cenderung membela sejawat, walau salah. "Tiap orang, termasuk dokter, wajib memberikan keterangan yang diminta penegak hukum. Bagaimanapun juga, kepentingan hukum 'kan di atas kepentingan apa pun," kata Kartono. Ia yakin pihak penyidik bisa menggali keterangan dari dokter mana pun juga. "Tinggal bagaimana kepandaian dan teknik penyidiknya," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus