Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Revisi dalam Jebakan Batman

Draf Revisi Undang-Undang KPK usulan DPR memangkas sejumlah kewenangan komisi antikorupsi itu. Pemerintah menegaskan akan menolak jika semangatnya untuk mengerdilkan KPK.

19 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLAK-balik draf perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi itu diperbaiki. Sedikitnya tiga kali dibahas di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, draf setebal 27 halaman itu akhirnya jadi juga. Disusun Tim Perundang-Undangan Sekretariat Jenderal Dewan, awal Maret lalu, rancangan tersebut diserahkan ke Komisi Hukum. "Draf ini jadi bahan revisi," kata Deputi Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR Johnson Rajagukguk kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Masuk Program Legislasi Nasional 2011, jadwal revisi meleset dari target. Seharusnya kelar pada 2011, tapi baru Januari lalu Komisi Hukum mulai membahas revisi undang-undang ini. Dewan memang kebagian "jatah" menyiapkan rancangannya. Februari lalu, Komisi Hukum membentuk panita kerja yang akan menyandingkan draf itu dengan usulan setiap fraksi. Terdiri atas separuh anggota Komisi, panitia kerja itu diketuai politikus Partai Golkar, AzisSyamsuddin.

Dua pekan lalu draf revisi itu beredar ke publik. Sejumlah kalangan mengecam rancangan tersebut. Indonesia Corruption Watch, misalnya, menilai rancangan itu membahayakan KPK karena isinya banyak mengamputasi kewenangan penindakan komisi antirasuah itu (lihat "Menembak Jantung KPK"). "Ini serangan balik koruptor," kata Koordinator Divisi Hukum ICW Febri Diansyah.

Sejak awal rencana revisi digulirkan, kata Febri, ICW bersama LSM lain yang tergabung dalam Koalisi Antikorupsi menolak gagasan itu. Mereka mencium gelagat buruk Dewan di balik ini. Koalisi menengarai DPR hendak balas dendam setelah KPK menjerat puluhan anggota Dewan dalam berbagai kasus korupsi. Revisi ini juga dituding sebuah upaya mengamankan mafia korupsi di DPR agar tidak tersentuh KPK.

Namun, menurut Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, sejak awal revisi beleid ini bertujuan menguatkan KPK, khususnya di bidang pencegahan. Koalisi LSM tak begitu saja percaya janji muluk Dewan. Lebih-lebih setelah draf revisi itu muncul. "Omong kosong kalau revisi ini menguntungkan KPK," kata Febri.

Febri mencontohkan ketentuan penyadapan. Menurut dia, dalam draf revisi itu upaya penyadapan oleh KPK dipersulit. Dengan syarat bukti permulaan yang cukup, penyadapan dinilai tidak efektif membongkar korupsi. Padahal, kata dia, selama ini penyadapan justru untuk mengendus dan mencari bukti permulaan. Penyadapan oleh KPK juga kelak harus seizin ketua pengadilan.

Yang juga gawat, kata Febri, kewenangan penuntutan KPK akan dikembalikan ke kejaksaan. Ini akan membuka peluang kasus KPK bisa dihentikan di tahap ini. Sebab, kata Febri, jaksa bisa memakai Undang-Undang Kejaksaan, yang memberi peluang penghentian penuntutan. "Penghentian akan semakin besar peluangnya untuk kasus jaksa yang ditangkap KPK karena menerima suap," katanya.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai penghapusan kewenangan penuntutan ini bagian dari upaya pelemahan KPK. Selama ini, kata dia, dari 210 dakwaan KPK yang diajukan ke pengadilan, semuanya dikabulkan hakim.

Busyro juga mengkritik adanya Dewan Pengawas KPK dalam draf itu. Lembaga ini mirip Komisi Kejaksaan yang mengawasi korps adhyaksa. Menurut Busyro, Dewan Pengawas dibentuk tidak lebih sebagai upaya orang-orang yang berpotensi korupsi untuk membayangi KPK. "Karena anggotanya dipilih DPR, sehingga rawan intervensi," kata Busyro.

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) juga mempersoalkan adanya pasal penghapusan kewenangan KPK mengusut kasus-kasus korupsi yang terbengkalai di kejaksaan dan kepolisian sebelum KPK terbentuk. Menurut Ketua MaPPI Hasril Hartanto, dengan penghapusan pasal itu, kasus megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tak bisa diusut KPK. "Ini jelas menguntungkan koruptor," katanya.

Ketua Komisi Hukum Benny Kabur Harman mengatakan draf itu baru naskah awal. Menurut Benny, masih terbuka peluang draf itu diubah di tingkat pembahasan Komisi. Draf itu, ujar Benny, tidak bisa dianggap cermin usulan Komisi Hukum. "Masih panjang jalannya untuk menjadi undang-undang," katanya.

Dengan alasan berkaitan dengan revisi Undang-Undang KPK ini, pada awal Maret lalu 14 anggota Komisi Hukum yang juga anggota panitia kerja melakukan studi banding ke Jerman dan Prancis. Dua negara ini dipilih karena indeks prestasi korupsinya rendah. Rombongan dipimpin Azis Syamsuddin. Pada April nanti, giliran rombongan yang dipimpin Wakil Ketua Komisi Hukum Tjatur Sapto Edy melawat ke Hong Kong dan Korea Selatan. "Kami belajar malu untuk berbuat korupsi dan penguatan pencegahan," kata Sarifuddin Sudding, anggota Fraksi Hanura yang ikut rombongan ke Prancis.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan DPR sebaiknya tidak repot-repot merevisi Undang-Undang KPK karena yang ada saat ini masih relevan. "Tanpa revisi, kami juga tengah menguatkan upaya pencegahan," kata Bambang.

Guru besar hukum pidana Universitas Krisna Dwipayana, Indriyanto Seno Adji, juga melihat saat ini belum perlu Undang-Undang KPK direvisi. Kalaupun ada revisi, menurut Indriyanto, upaya pencegahan dan penindakan harus sejalan. "Bukan pencegahan diperkuat tapi penindakannya diperlemah."

Janji tak akan melemahkan KPK datang dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin. Pihaknya, ujar Amir, akan menolak revisi itu jika semangatnya untuk melemahkan KPK. Menurut Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana, upaya revisi ini harus dipastikan menguatkan kewenangan KPK, bukan justru sebaliknya. "Sangat mungkin revisi ini jebakan Batman," kata Denny. Maksud Denny, janji revisi demi kebaikan. Tapi, begitu jadi, yang muncul pengamputasian kewenangan KPK.

l l l

AWALNYA adalah surat berkop Dewan Perwakilan Rakyat yang dikirim Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso ke pimpinan Komisi Hukum Dewan pada 24 Januari 2011. Priyo, yang juga politikus Partai Golkar, meminta Komisi Hukum segera menyiapkan naskah Rancangan Undang-Undang KPK. "Surat ini menjadi pemicu menguatnya usulan revisi," kata seorang anggota Komisi Hukum.

Komisi Hukum lalu meminta Sekretariat Jenderal merancang draf revisi itu. Memakan waktu setahun, menurut sumber ini, draf dari Sekretaris Jenderal banyak memuat pesanan partai yang ingin membonsai KPK. Ia yakin draf itu tak akan mengalami banyak perubahan di Komisi. "Sebab, konseptornya dari partai besar itu," katanya.

Sumber ini menunjuk Golkar, Partai Demokrat, dan beberapa partai koalisi setianya yang paling banyak "memoles" draf itu. Bukan sebuah kebetulan, kata dia, kalau ketua panitianya adalah Azis Syamsuddin, yang juga dari Golkar. Selain sejumlah kadernya terjerat kasus di KPK, kata sumber ini, Golkar berkepentingan melindungi sejumlah kader yang lain agar tak ikut terjerat kasus dugaan korupsi yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR dari Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati.

Priyo membantah partainya yang paling ngebet merevisi Undang-Undang KPK. Ia juga tak sepakat jika dikatakan bahwa revisi itu untuk melemahkan KPK. Sedangkan Azis membenarkan revisi ini memang dimotori partai tertentu. "Inisiatornya partai yang sedang panik," katanya.

Sumber Tempo mengatakan yang dituding Azis adalah Partai Demokrat. Partai pemenang pemilu ini memang tengah babak-belur karena surveinya anjlok setelah kasus suap Wisma Atlet diusut KPK. Bekas Bendahara Demokrat Muhammad Nazaruddin dan kader partai itu, Angelina Sondakh, menjadi tersangka kasus ini. Tapi Benny Kabur Harman membantah bahwa partainya menghendaki pelemahan KPK. "Kami justru ingin menguatkan KPK."

Deputi Perundang-undangan DPR Johnson Rajagukguk mengakui draf itu memang beberapa kali dikonsultasikan dengan Komisi Hukum. "Tapi tak ada tekanan dari partai tertentu," katanya.

Anggota Panitia Kerja Revisi Undang-Undang KPK dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Eva Sundari, mengatakan revisi undang-undang ini merupakan respons atas dua pasal hasil uji materi Mahkamah Konstitusi, yakni soal penyadapan dan masa jabatan pemimpin pengganti KPK. "Ada isu-isu lain yang juga berkembang," kata dia.

Namun, Febri Diansyah mengatakan, justru draf revisi itu melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah yang menyebutkan masa jabatan pemimpin pengganti sama dengan pemimpin KPK tidak dituangkan dalam draf. Draf itu menyebutkan pemimpin pengganti menghabiskan sisa jabatan pemimpin KPK yang digantikannya. "Draf ini cacat karena melanggar putusan MK," kata Febri.

Anton Aprianto, Ira Guslina Sufa, Febriyan

Menembak Jantung KPK

DPR dituding berupaya memereteli kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi undang-undang lembaga antikorupsi itu. Upaya pelemahannya mengarah ke penindakan, bidang yang selama ini menjadi jantung KPK. Inilah pelemahan tersebut.

1. Mencabut kewenangan penuntutan
(15 pasal menyangkut penuntutan direvisi)

  • Penuntutan dikembalikan ke kejaksaan.

    2. Terbuka peluang penghentian penuntutan oleh kejaksaan
    (Pasal 52- A)

  • Dalam RUU ini tidak diatur larangan kejaksaan menghentikan penuntutan kasus dari KPK.

    3. Kewenangan merekam pembicaraan dihapus
    (Pasal 12 huruf a)

  • Di pasal ini hanya diatur kewenangan penyadapan.

    4. Penyadapan lebih sulit
    (Pasal 12-A)

  • Penyadapan dilakukan jika ada bukti permulaan yang cukup, izin ketua pengadilan, dan jangka waktu penyadapan hanya tiga bulan.

    5. Kasus besar yang terbengkalai di kejaksaan dan kepolisian sebelum KPK terbentuk tidak akan tersentuh hukum
    (Pasal 68 dihapus)

  • Misalnya, kasus pengemplang BLBI tidak bisa lagi diusut KPK.

    6. Membuka peluang intervensi DPR dengan dibentuknya Dewan Pengawas KPK
    (Pasal 37-D ayat 1)

  • Dewan pengawas ini dipilih DPR.

    7. Terjadi pelanggaran putusan Mahkamah Konstitusi
    (Pasal 33 ayat 1 a)

  • Melalui uji materi, MK memutuskan masa tugas pemimpin pengganti sama dengan jabatan pemimpin KPK selama empat tahun.
  • Dalam revisi undang-undang ini, masa jabatan pemimpin pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pemimpin yang digantikannya.

    Serangan Terang-terangan

    TAK hanya berupaya membonsai KPK lewat revisi undang-undang, dalam sejumlah kejadian, anggota Dewan juga kerap terangan-terangan berseberangan dengan KPK.

    3 Oktober 2011
    Dalam rapat konsultasi pimpinan DPR dan KPK, anggota Fraksi Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, meminta KPK dibubarkan.

    13 Januari 2011
    Komisi Hukum DPR menolak deponering Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam kasus ”Cicak versus Buaya”.

    31 Januari 2011
    Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah diusir sejumlah anggota Komisi Hukum ketika rapat di komisi itu. Keduanya masih dianggap bermasalah hukum.

    14 Maret 2012
    Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Demokrat, Ruhut Sitompul, menolak gagasan penyidik independen di KPK untuk penyidik dari kepolisian.

    Naskah: Anton A. Sumber: Wawancara, DPR, KPK

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus