Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENDAPAT baru, "agar tidak semua harta selundupan dimusnahkan
sudah mendapat tempat di kalangan sarjana hukum di daerah. "Saya
setuju barang selundupan yang tidak membahayakan dimanfaatkan
kata Panuju Taufik SH, Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda yang
baru, "asal pemanfaatannya untuk keperluan sosial dan bukan
komersiil". Tapi lebih dari itu, ternyata soal memanfaatkan
barang yang masuk secara haram ini sudah pula pernah
dilaksanakan oleh Suharna SH, yang waktu itu menjabat Kepala
Panitia urusan Piutang Negara (PUPN) dan Kepala Kejaksaan Negeri
Samarinda. Entah untuk kepentingan siapa, yang jelas pemanfaatan
barang selundupan tersebut telah menimbulkan buntut panjang,
yang kabarnya termasuk penyebab kepindahannya sendiri dari
ibukota Kalimantan Timur itu.
Sial
Mula-mula PT San Timber memasukkan barang-barang mekanis ke
Kalimantan Timur, dari Singapura dengan menggunakan dua buah
ponton. Tahun lalu PT ini mengundurkan diri dari kegiatan usaha
di kawasan itu. Dan akan dua ponton tadi, penguasaannya
diserahkan kepada HasnuI Basri, bekas pegawai perusahaan
tersebul. Hasnul kemudian menyewakan tongkang tersebut ke sana
ke mari, hingga sempat pula membuahkan duit. Penghasilan yang
mengalir ke saku Hasnul ini agaknya yang menyebabkan seorang
bekas pegawai lainnya iri hati. Dengan senjata surat kuasa dari
Direktur San Timber di Jakarta -- yang kabarnya palsu bekas
pegawai ini berusaha merebut ponton itu dari tangan Hasnul.
Tentu Hasnul tidak mau sebab toh ia punya surat kuasa pula.
Barangkali orang cemburu tadilah yang diduga membocorkan kepada
yang berwajib bahwa ponton-ponton yang dikuasai Hasnul itu
barang haram. Sebab sewaktu dimasukkan dari Singapura tidak
dibereskan legalisasinya. Mudah saja: pihak berwajib segera
menyita kedua alat pelayar yang memiliki kode AM 1300 dan AM
1301 ini.
Ketika dalam sitaan inilah, Suharna mengambil manfaat dari
barang selundupan ini dengan menyewakannya kepada yang
memerlukan -- di antaranya kepada Helmy Effendy BA untuk
mengangkut batu kerikil. Untuk setiap kubik Helmy membayar Rp
1.000 kepada Suharna. Tetapi sial menimpa si penyewa. Ponton
tadi tenggelam di muara Mahakam - sampai satu setengah bulan
kemudian baru bisa timbul kembali.
Sementara ponton masih tenggelam, di Samarinda timbul
perkembangan baru. Suharna menyetujui permohonan Tadjri,
Direktur CV Kartanegara untuk menyewa ponton tersebut dengan
tarif Rp 500 ribu sebulan. Jadi sejak 2 Desember 1974 ponton
berada di tangan Tadjri, meskipun yang sebuah masih tenggelam.
Ketika yang tenggelam ini akhirnya bisa ditarik kembali, Tadjri
menyodorkan kwitansi Rp 750 ribu kepada Helmy, yang menyewa
ponton itu selama satu setengah bulan. Yang ditagih menolak,
sebab ia mempunyai perjanjian tersendiri dengan Suharna. Yakni
perjanjian sewa menyewa per meter kubik, bukan per bulan. Nah,
karena Helmy bertahan tak mau membayar, Tadjri mengadukannya
kepada polisi. Yang diadukan ditangkap. Setelah mendekam di sel
selama 17 hari, seperti dikatakannya kepada Dahlan Iskan dari
TEMPO, Helmy dipindahkan ke kejaksaan dengan tempat tahanan di
Lembaga Pemasyarakatan. Sempat juga ia bergaul selama 23 hari
dengan narapidana di situ.
April 197 Helmy diadili. Jaksa Andi Arifuddin mendakwanya
menggelapkan uang sewa ponton dan minta tertuduh dihukum satu
setengah bulan penjara dalam masa percobaan dua bulan. Namun
Majelis Hakim memvonis dengan "bebas dari segala tuduhan",
tanggal 4 April. Karena urusan ponton ini, HeImy bukan saja
sempat bergaul dengan masyarakat a hukum, tetapi ia juga
dinon-aktifkan dari jabatannya di kantor gubernur setempat. Kini
ia sedang mempersiapkan gugatan perdata melawan Tadjri.
Hampir bersamaan dengan diadilinya Tadjri, ponton gelap itu
diperiksa juga. Pengadilan Negeri Samarinda dengan Hakim Tunggal
memutuskan bahwa ponton harus dimusnahkan. Sebagai pelaksana,
Suharna sekali lagi memanfaatkan harta ex terlarang itu. Ia
tidak memusnahkan barang tersebut, tapi menjualnya kepada PT MKT
-- kabarnya seharga Rp 34 juta. Jumlah pasti memang tidak dapat
diketahui, kecuali mungkin oleh Jaksa Agung Ali Said sendiri
yang ketika ramai-ramainya perkara ini memerlukan datang ke
propinsi penghasil kayu itu.
Setelah diketahui bahwa ponton tadi tak jadi dimusnahkan, barang
itu sekali lagi disita -- dan begitu statusnya hingga sekarang.
Sumber TEMPO di sana menyebutkan bahwa kini persoalannya berada
di tangan Jaksa Agung. Mungkin akan diurus bagaimana supaya
keputusan Pengadilan Negeri itu ditinjau kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo