Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Kepala Hukum Pemda Kabupaten Tanah Bumbu, Muklis, menjadi saksi dalam sidang dugaan korupsi pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan terdakwa mantan Bupati Mardani H Maming. Dia membenarkan bahwa surat keputusan pengalihan IUP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (PT BKPL) ke PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) itu telah ditandatangani terlebih dahulu oleh Mardani sebelum dia kemudian menandatanganinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidan Korupsi Banjarmasin, Jumat, 25 November 2022, Muklis mengatakan proses penerbitan surat keputusan memamg biasa tidak sesuai prosedur. Dia pun sempat dicecar oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal SK pengalihan IPU PT BKPL ke PT PCN itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kebiasaan ada yang tidak sesuai proses," kata Muklis.
"Pada saat saksi memaraf, yang sudah paraf kadis, sekda. Apa sudah ditandatangani?" tanya JPU KPK Budi Sarumpaet kepada Mukhlis.
"Saya lupa," jawab Muklis.
"Masa lupa. Coba dilihat dulu," kata Budi Sarumpaet.
Budi lalu mengutip isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ditandatangani Muklis saat diperiksa KPK. Dalam BAP itu, Muklis menyatakan SK itu ditandatangani lebih dulu oleh Mardani H Maming.
"Mungkin sesuai BAP. Saya lupa," ujar Muklis.
"Sudah ditandatangani bupati ya?" tanya Budi Sarumpaet menegaskan.
"Iya," jawab Muklis.
Muklis mengaku dipanggil ke kediaman Mardani
Muklis mengaku memaraf SK ini setelah dipanggil oleh Sekda Tanah Bumbu ke rumah pribadi Mardani yang merupakan politikus PDIP.
"Saat saksi sampai rumah bupati, ada siapa saja?" tanya Budi.
"Pak Dwi, pak bupati, sekda, dan beberapa staf," lanjut Muklis.
Dwi yang dimaksud Muklis adalah bekas Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo. Dia juga terseret dalam perkara peralihan IUP ini dan telah divonis 2 tahun penjara plus denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
"Apa yang disampaikan pak Mardani?" tanya Budi Sarumpaet. Menurut Muklis, Bupati Mardani H Maming tidak menyampaikan perihal SK tersebut.
"Langsung sekda. Ini ada SK, yang harus diparaf Kabag Hukum. Itu karena sudah ada rekomendasi dari kadis," ujar Muklis.
Ia berasumsi saat itu SK yang diteken terdakwa Mardani H Maming sudah sesuai peraturan perundang-undangan karena ada rekomendasi dari Kepala Dinas Pertambangan dan Energi.
"Bagaimana bisa memastikan SK sesuai aturan padahal belum masuk Kabag hukum?" cecar Budi Sarumpaet.
"Lupa pak," kata Muklis.
Hakim mempertanyakan langkah Muklis
Adapun hakim anggota Arif Winarno turut mempersoalkan sikap Muklis yang buru-buru memberi paraf.
"Kenapa bapak paraf padahal belum verifikasi? Belum diverifikasi, harusnya diverifikasi dulu suratnya," kata Arif Winarno kepada Muklis.
"Bapak tahu belum diverifikasi kenapa bapak paraf? Kenapa tidak? Padahal itu harus. Bapak enggak berani? Saudara tidak berani tegur kepala dinas? Bapak diam saja, kediaman bapak tidak disampaikan ke bupati," cecar Arif Winarno.
Adapun hakim anggota Ahmad Gawi menguatkan argumentasi bahwa SK pengalihan IUP ini menabrak prosedur.
"Dengan melihat SK sudah ditandatangani oleh Bupati sebelum paraf, tentunya bapak berpikir tidak sesuai prosedur," ucap Ahmad Gawi.
Dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum KPK, terdakwa Mardani H Maming disebut menerima uang sebanyak total Rp 118 miliar secara bertahap lewat pembayaran tunai dan transfer antar bank. Penerimaan uang itu setelah mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tersebut membantu peralihan IUP batu bara dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) pada medio 2011. Pengalihan itu bermasalah karena menabrak Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara.