Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIRJEN Perdagangan Dalam Negeri, Drs. Kardjono Wirioprawiro, membuat peraturan yang mengizinkan kumpul kebo? Antara ya dan tidak. Ah, masa? Begini duduk soalnya. Dalam surat edarannya yang terbaru -- yang cukup mengagetkan -- Dirjen memang mengizinkan wanita warga negara Indonesia yang bersuamikan lelaki asing atau yang "hidup bersama" dengan orang asing mendapatkan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). "Di satu pihak, pemerintah melarang kumpul kebo, di pihak lain -- demi masuknya modal asing -- seorang dirjen malah melegalisasikan hidup bersama semacam itu," begitu komentar Ketua Yayasan LBH Indonesia, Mulya Lubis, secara gampangan menafsirkan dua patah kata -- "hidup bersama" -- dari surat edaran Dirjen Kardjono itu. Ketentuan baru itu, menurut Mulya, hanya menampilkan sikap pejabat yang ingin cepat-cepat menarik modal asing. Padahal, katanya, selama ini modal asing itu sudah banyak yang ditanamkan di Indonesia, baik dengan cara resmi, seperti melalui BKPM, maupun secara diam-diam melalui "perusahaan boneka" (dummy corporation). "Kita memang dahaga dengan modal asing, tapi hendaknya jangan sampai mengabaikan nilai moral, agama, dan tata susila. Karena ketentuan baru itu melanggar tata susila, harus dicabut," ujar Mulya. Sekretaris Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Sumatera Utara, P. Sipahutar, lebih keras komentarnya: ketentuan baru Dirjen Kardjono itu dianggap -- seakan-akan -- melegalisasikan perdagangan wanita Indonesia. "Peraturan itu seperti melegalisasikan pelacuran model baru," katanya. Untuk mengundang modal asing masuk ke Indonesia, menurut Sipahutar, cukup dengan memberi keringanan kepada pengusaha asing, seperti bebas visa, memudahkan proses izin usaha, atau menetapkan pajak yang rendah. "Tidak perlu mengeluarkan peraturan sejelek itu -- yang hanya mengorbankan hak asasi kaum ibu," kata Sipahutar. Sebab itu, ia meminta agar ketentuan itu yang dianggapnya hanya mengutamakan segi materiil -- diralat saja. Ketua Jurusan Hukum Perdata FH UI, Nyonya Noernazli Soetarno, melihat peraturan baru itu memang dapat menghilangkan hambatan bagi wanita WNI yang memiliki SIUP untuk menikah dengan lelaki asing. "Selama ini, wanita pengusaha tentu akan berpikir panjang untuk menikah atau hidup bersama dengan lelaki asing. Sekarang tidak perlu repot lagi," katanya. Sebab itu, ibu dosen ini menganggap, Dirjen Kardjono boleh dianggap memperbaiki peraturan lama yang agak menghambat laju kepentingan perdagangan. "Barangkali, itu semacam langkah penyelundupan hukum," ujar Nely. Begitupun dikhawatirkan ekses buruknya. "Kalau sekadar kawin dengan orang asing itu biasa. Tapi soal kumpul kebo, saya keberatan. Sebab, bukan hanya bertentangan dengan moral dan agama, tapi bayi yang dilahirkan nanti tidak akan berayah dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya," ujar Nely. Guru Besar Hukum Adat FH USU, Prof. Mahadi, bahkan mengkhawatirkan ketentuan baru Kardjono itu akan menyuburkan budaya kumpul kebo dan kawin kontrak di Indonesia. "Bila ketentuan itu dilanjutkan, saya khawatir akan merusakkan generasi mendatang." Dirjen Kardjono ternyata sudah menduga ketentuan barunya itu akan mengundang komentar banyak pihak. "Memang, gara-gara peraturan itu, orang menjadi heboh. Banyak yang bertanya mengapa saya mengizinkan kumpul kebo," kata Kardjono, sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Padahal, maksud saya bukan melegalisasikan kumpul kebo, hanya mencabut peraturan lama," tambah Kardjono. Dirjen sebelum dia, pada 1978, katanya, mengeluarkan larangan bagi wanita Indonesia yang kawin atau hidup bersama dengan WNA untuk mendapatkan SIUP. Larangan itu dikeluarkan karena, waktu itu, di sini banyak orang asing yang membuat usaha atas nama istri atau teman wanitanya. Bahkan ada yang atas nama babunya. "Tapi sekarang keadaan itu, boleh dikatakan, sudah tidak ada lagi," katanya. Lihatlah, dua tahun lalu hanya 43 perusahaan yang begitu, dan tahun ini, katanya, hanya tinggal satu. Celakanya, kata Kardjono lagi, peraturan itu masih saja berlaku bagi wanita-wanita Indonesia yang berusaha dan kebetulan mempunyai suami orang asing. "Pelarangan atau pencabutan SIUP bagi pengusaha wanita yang kebetulan kawin dengan orang asing itu 'kan namanya tidak beres," katanya. Jadi, prinsip ketentuan baru itu, kata Kardjono, adalah persamaan hak antara lelaki dan wanita di Indonesia. "Lelaki pengusaha Indonesia boleh kawin dengan wanita asing, mengapa tidak boleh sebaliknya?" katanya. Tidakkah ketentuan baru itu akan mengundang kembali cara-cara lama pengusaha asing, yang menyelundupkan hukum dengan mengatasnamakan perusahaan kepada istri atau teman kencannya? Entahlah. Dirjen Kardjono hanya menjanjikan bahwa pihaknya akan lebih ketat mengontrol wanita pengusaha yang kawin dengan orang asing. "Wanita pengusaha seperti itu -- yang mengurus izin akan kami minta keterangan tambahan, seperti nomor paspor suaminya, identitasnya, dan bahkan siapa sebenarnya yang melakukan transaksi di perusahaan itu. Jika ternyata ada tanda-tanda lelaki asingnya yang punya aktivitas, kata Dirjen, izin usaha yang bersangkutan akan dicabut. Apakah ketentuan baru itu juga dimaksudkan untuk lebih mengundang modal asing? Dirjen Kardjono membantah. Tapi Kepala Kantor Wilayah Perdagangan Sumatera Utara Haji Damang Siregar, menanggapi surat edaran atasannya itu memang sebagai upaya pemerintah untuk menarik masuk modal asing. "Ya, karena peraturan itu memang cukup menarik pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab, selama ini, banyak pengusaha WNA yang tidak mau disebut-sebut namanya dalam perusahaan. Mereka jadi lebih suka mencantumkan nama istrinya dalam izin usaha," kata Damang Siregar. Kendati begitu, Damang Siregar mengaku bahwa, sampai pekan lalu, ia belum menerima satu pun permohonan untuk mendapatkan SIUP dari wanita yang kawin atau kumpul kebo dengan orang asing. "Mungkin wanita-wanita itu belum mengetahui edaran baru," tutur Damang Siregar. Atau kelonggaran itu belum cukup menarik? Karni Ilyas Laporan Moebanoe (Jakarta) & Amir S. Torong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo