Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empatbelas tahun adalah penantian terpanjang bagi Abdullah bin Andah. Setelah mendekam di penjara selama 14 tahun, pembebasan bersyarat mungkin lebih baik baginya. Sang narapidana pembunuhan gadis kecil di Aceh Utara pada 1988 ini semula divonis hukuman penjara seumur hidup, kendati ia merasa tak melakukan kejahatan. Surat pembebasan bersyarat itu sendiri dikeluarkan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada September lalu, tapi baru terlaksana Senin pekan silam.
Dullah, 53 tahun, seharusnya bebas Sabtu dua pekan lalu. "Tapi, karena surat (pembebasan) datangnya sore dan petugas sudah off, pembebasan baru bisa sekarang (Senin pekan silam)," kata Junaidhi Isya, Kepala Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, tempat Dullah dilepas. Meski surat pembebasan bersyarat dari Menteri Kehakiman sudah turun sejak pertengahan September, toh realisasinya tertunda. Adalah Timzar Zubil, imam masjid di LP itu, yang membantu memperlancar pembebasannya.
Dullah ditangkap setelah Syaiful Bahri, 18 tahun saat itu, menudingnya ikut menculik dan membunuh Heriana Syuhada, 8 tahun, warga Desa Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Sejatinya, anak pemilik penggilingan beras ini disandera Syaiful untuk uang tebusan dari ayahnya. Tapi, sebelum ditebus, ia telah membunuhnya. Dua hari kemudian, mayat gadis kecil itu terapung di Sungai Geudong.
Semula, Syaiful melibatkan Syukri, preman asal Pusong, Lhokseumawe. Tapi di mana Syukri? Lari ke Malaysia, katanya. Polisi, yang tak yakin, mengorek terus sampai siswa SMEA itu mengaku bertindak sendiri. Tak tahan atas siksaan polisi, ia menyeret Abdullah, kernet truk milik ayahnya.
Setelah dicokok, Dullah dipaksa polisi mengaku turut membunuh Heriana. Semula membantah, tapi kemudian ia terpaksa mengikuti skenario polisi. ''Saya disiksa sampai tulang rusuk patah, gendang telinga pecah, dan sekujur tubuh luka," kata terpidana seumur hidup itu.
Di Pengadilan, meskipun Syaiful mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan polisi, hakim lebih berpegang pada pengakuannya. Di penjara, setelah empat tahun, ia membuat pernyataan tertulis yang menguntungkan Dullah. "Dia sama sekali tak terlibat," kata Syaiful.
Berbekal pernyataan itu, Cut Deliana yang pengacara Dullah memohon peninjauan kembali (PK) kliennya ke Mahkamah Agung. Namun PK ditolak dengan alasan surat pernyataan Syaiful itu bukan bukti baru (novum). PK kedua dilakukan Timzar, narapidana politik Komando Jihad yang bebas tahun 1999, setelah mengadu ke Ombudsman Nasional dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Melalui suratnya, dua tokoh ICMI Anton Sujata dan Adi Sasono meminta MA mengkaji kembali putusannya. Semula, almarhum Syaifuddin Kartasasmita, Ketua Muda Bidang Pidana Umum saat itu, menerima PK tersebut, tapi diralat oleh Kepala Direktorat Pidana MA, Moegihardjo. Lalu, ada saran agar kasus itu dilaporkan ke kejaksaan, agar selanjutnya dapat mengajukan PK ke Mahkamah Agung.
Setelah terkatung-katung, kasus Dullah dilaporkan oleh Timzar—yang juga pimpinan Yayasan Amanah Sumatera Utara—ke beberapa media massa, termasuk TEMPO. Lalu beberapa media meramaikannya sebagai kasus yang mirip Sengkon dan Karta, yang salah hukum.
Karena kelakuannya yang baik di penjara, hukuman Dullah diturunkan menjadi 20 tahun penjara. (Syaiful, pembunuh sejati Heriana, justru telah dibebaskan setelah "diurus" keluarganya.) Berikutnya, Timzar mencoba jalan lain bagi Dullah: pembebasan bersyarat. Memang, menurut peraturan, jika terpidana telah menjalani dua pertiga masa hukumannya, ia bisa mengajukan bebas bersyarat. Syaratnya, berkelakuan baik—plus sejumlah "uang pelicin", yang tidak dipunyai Dullah.
Akhirnya, permohonan bebas bersyarat dikabulkan pemerintah. "Usul kami berdasarkan kriteria (bahwa) selama di penjara (Abdullah) berkelakuan baik, aktif dalam kegiatan di LP," kata Junaidhi. Sedangkan Timzar berharap Dullah bisa bebas murni dan pemerintah merehabilitasi namanya. "Semoga pemerintah tak harus jaga gengsi karena rakyatnya sudah menjadi korban ketidakadilan,'' katanya.
Rabu pekan lalu, Dullah dan istrinya, Asmani, 50 tahun, kembali ke Desa Meunasah Blang, Aceh Utara. Di sana anak semata wayangnya, Nasrul Hadi, yang siswa SMP, menunggu dengan rindu. "Saya tak ingin mengingat masa lalu. Sakit kalau membayangkannya," kata sang teraniaya.
Ahmad Taufik, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo