Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDATANGAN Hotman Paris Hutapea ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat dua pekan lalu memicu ketegangan di kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Di pengadilan, pengacara senior itu berkoar-koar bahwa Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah membebaskan dua guru Jakarta International School, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong. "Mereka tak terbukti bersalah seperti yang didakwakan jaksa. Not guilty," kata Hotman saat itu.
Sampai pagi itu, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta belum menerima pemberitahuan bahwa putusan banding sudah keluar. Setelah pernyataan Hotman diberitakan sejumlah media, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta AdiToegarisman meminta jaksa penuntut umum segera menghubungi pengadilan.
Jaksa berkali-kali meminta pengadilan mengantar salinan putusan. Namun baru pada siang harinya salinan putusan Neil dan Ferdinant tiba di kejaksaan. "Sore itu juga kami membahasnya," ujar Adi ketika menceritakan kejadian tersebut, Selasa pekan lalu. "Kami langsung memutuskan kasasi."
Neil dan Ferdinant adalah guru di Jakarta International School. Awal April lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis keduanya bersalah melakukan pelecehan seksual kepada tiga murid taman kanak-kanak JIS. Mereka dihukum penjara sepuluh tahun. Selain memvonis Neil dan Ferdinant, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bersalah lima petugas kebersihan sekolah tersebut. Mereka dihukum tujuh sampai delapan tahun penjara.
Ketujuh terdakwa kemudian mengajukan permohonan banding. Hasilnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan bersalah Neil dan Ferdinant. Jumat sore itu juga keduanya keluar dari Rumah Tahanan Cipinang. Sementara itu, pengadilan yang sama menolak banding petugas kebersihan. Bahkan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk petugas cleaning service tersebut.
Dugaan kasus kekerasan seksual di lingkungan JIS semula diungkap salah seorang murid taman kanak-kanak sekolah itu—sebut saja namanya Anthony—di depan tim Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pertengahan Mei tahun lalu. Sebulan sebelumnya, seorang murid sekolah yang sama—panggil saja namanya Leo—juga dilaporkan berkali-kali menjadi korban pelecehan seksual.
Di hadapan tim KPAI, Anthony mengaku melihat Leo dan korban ketiga—sebut saja namanya Diego—mengalami pelecehan di toilet Anggrek, beberapa meter dari kelasnya.Yang mengagetkan banyak kalangan, ketiga anak itu menyebutkan kekerasan seksual tak hanya dilakukan petugas kebersihan. Mereka juga menyebutkan dua guru, yang satu berambut kuncir dan satunya lagi berkepala botak. Ciri-ciri itu mengarah pada Ferdinant dan Neil.
Putri—bukan nama sebenarnya—baru bangun tidur ketika membaca pesan pendek dari rekannya pada Jumat dua pekan lalu. "Isinya membuat saya ingin muntah," kata ibu Leo, salah satu siswa yang menjadi korban pelecehan seksual di JIS, ini pada Sabtu dua pekan lalu. "Teman saya mengabari bahwa guru JIS bebas."
Putri buru-buru memastikan bahwa anaknya tidak langsung mendapat kabar ini. Ia khawatir berita bebasnya kedua guru JIS itu bakal membuat mental anaknya kembali jatuh. Leo saat ini sedang menjalani terapi setelah kejadian yang menimpanya setahun lalu. Menurut Putri, sejauh ini terapi itu sudah menunjukkan hasil. "Saya tak mengerti apa pertimbangan hakim membebaskan kedua guru itu," ucapnya.
Dalam putusannya, majelis hakim banding yang dipimpin Silvester Djuma menilai dakwaan jaksa atas Neil dan Ferdinant "mandul". Pertimbangan hakim, dakwaan tersebut berdasarkan keterangan saksi yang masih kanak-kanak dan tidak disumpah. Majelis hakim berpendapat keterangan saksi yang tidak disumpah, meski berkaitan, bukan termasuk alat bukti. Keterangan saksi tanpa sumpah baru bisa menjadi alat bukti jika dikaitkan dengan saksi lain yang disumpah.
Menurut hakim, kesaksian ketiga anak di persidangan memang sesuai dengan keterangan orang tua mereka yang disumpah. Namun hakim berpendapat keterangan orang tua itu tak bisa dipakai untuk pembuktian. "Orang tua termasuk kategori testimonium de auditu atau saksi yang mendapat cerita dari anaknya dan tidak melihat atau mengalami langsung," demikian tertulis dalam salinan putusan.
Hakim banding juga menilai dakwaan jaksa lemah karena mengaitkan keterangan siswa, orang tua, dan saksi ahli dengan hasil visum, sehingga terkesan ada bukti telah terjadi sodomi. Padahal, menurut hakim, jaksa gagal menggali lebih dalam keterangan lain yang menguatkan tuduhan mereka.
Sebaliknya, Kepala Kejaksaan Tinggi Adi Toegarisman menilai putusan hakim banding melewatkan beberapa poin penting. Antara lain, posisi anak sebagai saksi yang cukup kuat meskipun tidak di bawah sumpah. "Keterangannya bisa menjadi alat bukti sendiri." Hal tersebut, kata Adi, diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Hal lain yang dilewatkan hakim, menurut Adi, adalah posisi orang tua korban yang bisa menjadi saksi mandiri. Adi merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU/VIII/2010 tanggal 8 Februari 2011 mengenai perluasan saksi. Menurut putusan tersebut, orang yang tidak mengalami langsung sebuah kejadian bisa memberikan kesaksian asalkan masih dalam satu lingkaran dengan korban.
Karena itu, Adi mengaku heran terhadap pertimbangan hakim yang menafikan posisi orang tua. "Bagaimanapun, kasus ini terungkap karena si anak bercerita kepada ibunya," ucap Adi. "Toh, orang tualah yang sehari-hari melihat perkembangan anak."
Pendapat Adi senada dengan Mochamad Djoko, salah satu anggota hakim banding perkara Neil dan Ferdinant. Djoko menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan dua hakim lain—Silvester Djuma dan Sutoto Hadi.
Menurut Djoko, meski tidak disumpah, keterangan ketiga korban tidak boleh dikesampingkan. "Ditinjau dari segi psikologi anak, kecil kemungkinan mereka berbohong," kata Djoko seperti dikutip salinan putusan. Apalagi keterangan ketiga anak itu bertalian dengan kesaksian orang lain. Berdasarkan beberapa teori hukum yang dikutip Djoko, alat bukti dalam kasus JIS sudah kuat. Karena itu, Djoko berpendapat seharusnya pengadilan tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada bagian lain, Adi juga mempertanyakan bukti yang dikesampingkan hakim pengadilan tinggi, yakni hasil visum et repertum dari Rumah Sakit Polri Bhayangkara. Hasil visum atas anus korban itu menunjukkan ciri-ciri yang mirip dengan bekas sodomi. Indikasinya, anus berbentuk corong dan ada bekas luka di bagian pengeluaran.
Soal hasil visum ini, hakim banding berbeda pendapat dengan jaksa. Meski ditemukan ciri-ciri mirip bekas sodomi di anus korban, menurut hakim, bukan berarti hal tersebut dilakukan Neil dan Ferdinant. "Sebab, korban juga mengatakan ada petugas kebersihan yang ikut melecehkan mereka secara seksual," begitu pertimbangan hakim.
Nah, pertimbangan hakim inilah yang menurut jaksa sumir. "Mereka tak mengakui sodomi oleh dua guru, tapi secara tersirat membenarkan pelakunya petugas kebersihan." Padahal, menurut Adi, kasus kekerasan seksual di JIS merupakan satu rangkaian kejadian.
Membaca kejanggalan putusan hakim pengadilan tinggi, Adi dan timnya bertekad bulat mengajukan permohonan kasasi. Apalagi, pada 28 Juli lalu, Mahkamah Agung pun mengeluarkan putusan yang menolak permohonan kasasi yang diajukan lima bekas petugas kebersihan JIS.
Majelis hakim kasasi yang dipimpin Sumardijatmo itu menguatkan putusan pengadilan tinggi yang menyatakan lima petugas kebersihan terbukti melakukan pelecehan seksual. Empat bekas petugas kebersihan, yakni Zainal Abidin, Syahrial, Agun Iskandar, dan Virgiawan Amin, divonis delapan tahun penjara. Sedangkan seorang lagi, Afrischa Setyani, dihukum tujuh tahun penjara.
Saut Irianto Radjagukguk, koordinator pengacara untuk Syahrial dkk, mengatakan masih mempelajari berkas putusan kasasi atas kliennya. Menurut Saut, berdasarkan logika hukum, dengan bebasnya dua guru JIS, kelima petugas kebersihan itu pun seharusnya bebas. "Kami berencana mengajukan permohonan peninjauan kembali," kata Saut.
Syailendra Persada, Mitra Tarigan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo