Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perasaan cemas menyergap keluarga Adang Daradjatun, pekan-pekan ini. Kegalauan keluarga mantan Wakil Kepala Kepolisian ini dilecut aksi penahanan 24 tersangka penerima cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu. Dalam perkara ini Nunun Nurbaetie, sang istri, terseret.
Kecemasan itu diungkapkan Ina Rahman, pengacara Nunun Nurbaetie, yang sempat mendengar keluhan Adang Daradjatun. Menurut Ina, Adang khawatir memanasnya perkembangan penyidikan kasus cek pelawat di Komisi Pemberantasan Korupsi merembet pada nasib istrinya. Kendati demikian, pihak keluarga, menurut Ina, pasrah. ”Jika harus dijemput paksa atau ada peningkatan status tersangka, kami siap,” katanya.
Kasus ini diungkap Agus Condro Prayitno pada Juli 2008. Nama Nunun Nurbaetie, 50 tahun, melekat sebagai pihak yang dianggap menggelontorkan 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar kepada anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Fakta itu diperkuat dengan kesaksian Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo, Direktur PT Wahana Esa Sejati, perusahaan milik Nunun.
Menurut Arie, Nununlah yang memerintahkannya membagikan tas berisi cek pelawat kepada sejumlah koordinator partai. Cek dibagikan sesaat setelah terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Senior Bank Indonesia di DPR. ”Sebagai uang ucapan terima kasih,” kata Arie di persidangan.
Hanya, KPK seperti kesulitan me—nyeret Nunun sebagai tersangka. Apalagi wanita pengusaha yang dikenal punya pergaulan di kalangan sosialita ini mengaku sakit ingatan. KPK juga gagal menghadirkan kesaksian Nunun di persidangan. Telah tiga kali dilakukan pemanggilan pengadilan, sebanyak itu pula ia mangkir. Belakangan ia diketahui telah terbang ke Singapura, sehari sebelum penetapan cekalnya ke luar negeri.
Ina memastikan hingga saat ini status kliennya masih sebagai saksi. Pernyataan Ina dibenarkan Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Khaidir Ramli. ”Sementara masih sebagai saksi,” katanya. Belum ditetapkannya Nunun sebagai tersangka, menurut Khaidir, karena pihak penyidik masih mengumpulkan bukti.
Menurut Khaidir, sementara polisi cukup dengan dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, KPK tidak. Karena di KPK tidak ada mekanisme penghentian perkara, jadi harus memiliki minimal tiga alat bukti. Atau dua alat bukti tapi penyidik memiliki keyakinan bisa menjerat tersangka.
Sumber Tempo menyebut, soal bukti buat Nunun lebih dari cukup. Selain keterangan saksi seperti Arie dan para terdakwa, juga keterangan bekas karyawannya, serta lokasi tempat pemberian uang yang dilakukan di kantor Nunun. Sumber itu membisikkan, soal penetapan status Nunun masalahnya hanya pada penyidik. ”Penyidik yang rata-rata polisi itu tak kunjung menyatakan berkas Nunun cukup bukti,” ujar sumber tersebut.
Dengan kondisi seperti ini, pimpinan KPK memang gamang untuk menjadikan Nunun tersangka. Namun, masih menurut sumber, berdasarkan ekspos terakhir di tingkat penyidik dan pimpinan, telah disepakati untuk menjadikan Nunun tersangka dalam satu minggu ke depan. ”Panggilan paksa atau penetapan tersangka, ya monggo,” kata Ina, yang mengaku mengapresiasi apa yang dilakukan KPK itu.
Pihak keluarga, kata dia, tak akan menghalangi langkah KPK. Hanya, menurut Ina, dalam kasus ini sebenarnya telah jelas siapa yang dimaksud pemberi cek. Berdasarkan keterangan Agus Condro dan beberapa tersangka lain, yang dimaksud pemberi tak lain adalah Miranda Swaray Goeltom, karena dialah yang memiliki motif. ”Mengapa bukan ini saja yang dikejar?” katanya.
Ina juga mengaku jengah dengan tudingan orang yang mempermasalahkan sakit dan ketidakhadiran Nunun. Sebab, ketidakhadiran pengusaha di bidang telekomunikasi itu sejauh ini tidak menghalangi proses hukum. ”Buktinya, para terdakwa bisa dihukum tanpa kehadirannya,” ujarnya. Ina berharap, kliennya—yang dipastikan tidak berada di Indonesia—tidak dijadikan komoditas pihak tertentu untuk mengalihkan perhatian.
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo